RUU
Pemilu dan Keterwakilan Perempuan
Fauzun Nihayah ; Tenaga Ahli Fraksi NasDem Bidang Hukum dan
Legislasi
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Februari 2017
BERUSAHA
mengakomodasi kepentingan secara komprehensif demi sebuah misi capaian ideal.
Itulah RUU Pemilu yang kini digodok intensif oleh Pansus DPR. Komitmennya
mendorong panja harus sering menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum
dalam rangka mencari masukan pakar dan lembaga terkait. Sebuah RUU Pemilu
yang ideal diharapkan mampu berlaku efektif untuk beberapa kali pemilu ke
depan. Tidak perlu lagi melakukan perubahan UU Pemilu akibat kekurangan yang
ada. Sebuah komitmen kinerja yang dapat dinilai siap meninggalkan pola lama:
tambal-sulam atau bongkar-pasang ketika hadapi pesta demokrasi per lima tahunan.
Komitmen
idealistik itu berimplikasi serius, banyak aspek yang harus dibenahi. Di
antara aspek yang kalah atraktifnya ialah keterwakilan perempuan, yang hingga
kini masih harus merangkak dan berjuang ekstra mencapai keterwakilan
proporsional.
Keterwakilan
perempuan dalam politik menjadi perbincangan yang menarik di tengah
pembahasan RUU Pemilu. Menariknya sejalan keyakinan bahwa keterwakilan
perempuan di politik akan mempermudah penyaluran aspirasi perempuan di Tanah
Air. Dinamika politik ini akan mendorong sebagian entitas perempuan masuk ke
panggung politik praktis dengan target jelas: masuk ke lembaga legislatif.
Akomodasi
kepentingan perempuan mendorong munculnya permintaan yang tinggi dan
berpotensi besar kepentingan itu diisi dengan penuh antusias. Korelasi ini
akan mengantarkan kebutuhan politik: keterwakilan perempuan dalam parlemen
harus riil, bukan semata-mata amanat UU tentang persentase alokasi perempuan
seperti yang kita saksikan selama ini.
Sesungguhnya,
cukup banyak upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi hasilnya belum sesuai
yang diharapkan. Catatan faktual menunjukkan proporsi anggota legislatif perempuan
yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30% pada Pemilu 2014.
Proporsi itu justru mengalami penurunan dari 18,2% pada 2009 menjadi 17,3% di
2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam
daftar pemilih dari parpol mengalami peningkatan dari 33,6% tahun 2009
menjadi 37% pada 2014.
Pada Pemilu
Legislatif 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan 97
kursi (17,32%) di DPR, 35 kursi (26,51%) di DPD, dan 16,14% di DPRD serta 14%
di DPRD kabupaten/kota.
Data
keterwakilan perempuan dalam panggung parlemen itu menjadi urgen dan sangat
rasional diperjuangkan untuk masuk ke UU Pemilu terbaru ini. Urgensinya jelas:
dimensi keadilan dan penguatan suasana batiniah yang pasti beda manakala
aspirasi perempuan diemban perempuan.
Sesungguhnya--secara
introspektif--ketika perempuan memasuki gelanggang politik (parlemen),
dirinya sadar bahwa pengorbanannya berat. Dalam menanggapi beratnya tantangan
perempuan dalam berpolitik, dukungan keluarga menjadi sesuatu yang sangat
mendasar.
Affirmative action
Penerapan affirmative
action terhadap perempuan dalam politik dan pemilu sesungguhnya telah
meningkatkan keterwakilan perempuan dari waktu ke waktu. Dari tiga kali
pemilu terakhir, keterwakilan perempuan terus meningkat seiring berlakunya
peraturan perundang-undangan yang menekankan perlunya affirmative action itu.
Jika kita
tengok RUU Pemilu kali ini, di sana tidak ada perubahan signifikan tentang
kebijakan afirmasi untuk kaum perempuan. Padahal, kelemahan mendasar dari UU
itu terkait kebijakan afirmasi karena tidak ada aturan operasional bagaimana
cara mengawal keterwakilan perempuan minimal 30% terwujud. Kebijakan
afirmasi tentang keterwakilan perempuan baru sebatas proses pencalonan yang
harus ditaati sesuai UU, bukan keterwakilannya itu sendiri.
Hal cukup menarik
kita cermati, dalam sistem pemilu yang lalu, secara statistik, menunjukkan
caleg yang terpilih di parlemen hampir 60% diisi mereka yang memiliki nomor
urut 1. Sementara sebagian besar perempuan ditempatkan pada nomor urut
rata-rata 3, 5, dan seterusnya. Itulah sebabnya, proporsi 30% keterwakilan
perempuan sulit tercapai. Seharusnya norma yang mengatur jumlah 30%
keterwakilan perempuan di parlemen harus implementatif dan operasional.
Karena itu, sistem yang dibuat memenuhi persentase itu.
Lalu bagaimana
mewujudkan prosentase keterwakilan perempuan? Ada beberapa pemikiran yang
layak jadi pertimbangan dalam pembahasan DIM RUU Pemilu saat ini. Pertama,
dukungan partai terhadap kelompok perempuan. Partai harus mengakomodasi
kepentingan perempuan dengan cara mengubah paradigma dan perilaku partai
menjadi lebih terbuka terhadap kelompok perempuan. Partai dituntut mencalonkan
perempuan, tetapi mencalonkan yang berkualitas.
Partai juga
ditantang mempertemukan signifikansi kehadiran perempuan dengan makin membaiknya
integritas dan kualitas. Kualitas perempuan bisa ditingkatkan dengan
mendorong perempuan hadir dalam struktur pengurus harian, serta terlibat
dalam setiap perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan internal partai.
Kedua,
dukungan partai terhadap regulasi. Partai harus menunjukkan dukungan
terhadap RUU Penyelenggaraan Pemilu, terutama beberapa pasal terkait
pengaturan keterlibatan perempuan. Misalnya, Pasal 143 ayat 2 huruf e dalam
RUU Penyelenggaraan Pemilu yang menegaskan parpol dapat menjadi peserta
pemilu setelah memenuhi syarat, salah satunya, menyertakan sekurang-kurangnya
30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat.
Ketiga,
dukungan dana taktis partai. Kebijakan partai terkait pendanaan politik juga
bisa memperkuat ketentuan 30% keterwakilan perempuan. Jika dilakukan dengan
cermat, regulasi pendanaan politik dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa
partai berbenah diri, termasuk memperbaiki sikap dan kebijakan internal
terhadap partisipasi perempuan. Secara komparatif, kita bisa lihat pemerintah
Prancis. Ia akan mengurangi jumlah dana subsidi kepada partai-partai yang
tidak memenuhi persyaratan kesetaraan gender sebagaimana tercantum di dalam
UU Pemilu. Ancaman legal ini terbukti efektif.
Pemerintah
Indonesia bisa meniru regulasi-regulasi semacam itu.
Sejauh ini
pemerintah, sesuai amanat UU, telah membantu pendanaan partai berdasarkan
perolehan suara yang diraih dalam pemilu. Namun, bagi partai yang berhasil
mengantarkan 30% keterwakilan perempuan di parlemen, pemerintah bisa
memberikan insentif tambahan.
Keempat,
perempuan dalam urutan pertama. Salah satu yang harus didukung dan diusulkan
dalam RUU pemilu ialah mendukung perempuan di nomor urut pertama di 30% dapil
dalam pencalegan Pemilu 2019. Tentunya dengan menempatkan perempuan yang
memiliki kapabilitas, komitmen dan tidak semata-mata memiliki modal besar.
Salah satu
strategi yang dapat dilakukan partai ialah dengan mendorong dan
mempertahankan penerapan affirmative action dengan kuota 30% keterwakilan
perempuan pada ranah politik, baik dalam kepengurusan parpol maupun dalam
penetapan bakal calon legislatif. Di samping itu, meski penetapan anggota DPR
sama dengan DPD, dalam arti dengan suara terbanyak, affirmative action yang
ditindaklanjuti dengan kebijakan zipper system tetap harus dipertahankan
dalam pengusulan RUU Penyelenggaraan Pemilu sekarang ini.
Dengan
demikian, RUU dan UU paket politik yang akan dipergunakan sebagai landasan
hukum pelaksanaan Pemilu 2019 tetap harus menerapkan affirmative action terhadap
keterwakilan perempuan.
Perubahan dan pembahasan RUU paket politik itu tentu saja tetap
memerlukan pengawasan dan pemantauan agar keterwakilan perempuan terjamin
realisasinya dengan baik dan berkeadilan. Kini kaum politik perempuan
ditantang, siapkah menyongsong peluang itu? Selanjutnya, tinggal kesiapan
perempuan sendiri dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar