Keindonesiaan,
Negara-Bangsa dan
Kepahitan
Kaum Sektarian
Max Regus ; Kandidat Doktor di the Graduate School of
Humanities,
Universitas Tilburg, Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Februari 2017
PENETAPAN
Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI), sebagai tersangka penodaan
Pancasila (30/1) bisa menjadi titik tolak strategis untuk merefleksikan
kembali makna keindonesiaan kita. Keberadaan kita sebagai satu kerangka
‘negara-bangsa’ dapat direnungkan kembali pada momentum ini. Sesuatu yang
tidak boleh hanya hidup dalam ruang imajinasi politik belaka. Hal itu mutlak
dilakukan karena orang seperti Rizieq Shihab ialah representasi dari
akumulasi kesadaran ideologis dan gerakan politik yang secara terbuka hendak
meniadakan keragaman sosial.
Permenungan
ini tidak hanya berhubungan dengan kerangka pikir keamanan semata, tetapi
juga bersentuhan dengan saling keterhubungan aspek-aspek sosial, politik,
kultural yang menjadi alasan kita menyebut diri kita sebagai bagian dari
keindonesiaan. Di sini, keindonesiaan, mesti dimaknai sebagai keterberian
politis hingga kita pada akhirnya bermuara pada satu kesimpulan bahwa
kerangka ideologis dan gerakan sektarian adalah negativitas terhadap
keindonesiaan.
Basis identitas
Pada dua
dekade terakhir, masa depan ‘negara-bangsa’ diyakini sudah tergusur oleh
kemunculan globalisasi ekonomi-politik dan transnasionalisasi sosial-budaya.
Kenichi Ohmae, melalui bukunya The End
of the Nation State: The Rise of Regional Economies (1995), sudah cukup
lama mengumandangkan kepercayaan semacam ini. Nasionalisme sebagai selimut
ideologis dan spiritualitas politik ‘negara-bangsa’ juga dianggap sedang
berhadapan dengan serangan yang sama.
Banyak yang
menganggap dua konsep ini telah menyempitkan sudut pandang komunitas nasional
terhadap kemeriahan lalu lintas sosial, politik, ekonomi dan kultural
berskala internasional. Bahkan, Dani Rodrik (2015), ekonom berdarah Turki dan
Guru Besar Ekonomi-Politik Internasional di the John F Kennedy School of
Government, Universitas Harvard, mengajukan pertanyaan kritis entahkah
‘negara-bangsa’ sebetulnya adalah musuh bagi terbentuknya kesetaraan global.
Sebegitu
gencarnya tuduhan terhadap dua konsep ini sebagai penghambat
internasionalisasi multiaspek kehidupan warga dunia, pada titik kejumudan
seperti sekarang ini, orang lantas kembali meniti jalan pulang menuju wawasan
dan wadah ‘negara-bangsa’. Tidak terkecuali untuk Indonesia, proses politik
dan kultural ini dilakukan untuk mengukuhkan ‘basis identitas’ mereka di
tengah amukan krisis global. Dengan arus seperti ini, bagaimanapun konsep
‘negara-bangsa’ tetap diminati dan bahkan kembali menjadi basis praktek
kehidupan sosial dan politik.
Dua sisi tantangan
Berbeda dengan
kebanyakan ‘negara-bangsa’ yang melihat internasionalisme dan globalisme
sebagai tantangan serius bagi keberadaan mereka, kita (Indonesia) sedang
menghadapi tambahan tantangan krusial. Secara kasat, kenyataan ini terlihat
pada hari-hari belakangan ketika secara telanjang kita bisa menyaksikan
bagaimana Keindonesiaan menghadapi serangan dari dalam dirinya sendiri.
Penyangkalan terhadap inti keberadaan Indonesia sebagai titik final
kesepahaman sosial dan kesepakatan politik justru dilancarkan sebagian
warganya sendiri.
Dua sisi
tantangan dapat dikemukakan di sini. Pertama, tidak terhindarkan, politik
lokal pada ranah desentralisasi menghadirkan tantangan bahkan ancaman
terhadap imaji, bangunan, dan praktik negara-bangsa. Tidak terbantahkan,
sesudah desentralisasi secara luas ‘dipercaya’ sebagai palu politik yang
dapat digunakan untuk mendobrak dinding kesenjangan ekonomi antarwilayah
sebagai warisan Orde Baru, sekarang kebijakan politik ambisius ini justru
dicurigai sebagai salah satu musabab krisis Keindonesiaan.
Catatan kritis
Marcus Mietzner, Pakar Indonesia di Australian National University, Canberra
(2014), yang melihat desentralisasi sebagai variabel yang dapat digunakan
untuk mengukur kokohnya keindonesiaan penting untuk diperhatikan.
Kedua,
desentralisasi, pada sisi lain, juga (justru) seolah menjadi ‘berkah’ bagi
kekuatan-kekuatan sektarian radikal baik yang berbasiskan jaringan keagamaan
maupun entitas lain, untuk memuluskan target-target politik parsial mereka.
Pemandangan sosial-politik yang ingar-bingarnya begitu mengganggu kenyamanan
keseharian hidup bersama dan fondasi keindonesiaan pada titik terdalamnya. Di
sini, bukan hal yang mudah untuk menjalankan apa yang digagaskan Saskia
Schafer, pengajar di Freie University, Berlin (2015) dengan mendorong
‘negosiasi’ paham sekularisme di tengah maraknya ideologi sektarian di
kantong-kantong sosial dan politik. Hal itu menjadi sulit ketika ‘politik
lokal’ justru membuka peluang bagi ‘pembenihan’ bibit-bibit sektarianisme.
Kepahitan kaum sektarian
Pemerintah
sebagai sentrum utama penegakkan fundasi Indonesia sebagai negara-bangsa
memang harus menunjukkan fungsi substansialnya. Sesuatu yang memiliki dasar
konstitusional sahih. Tanggung jawab yang seharusnya tidak boleh dikalahkan
naluri-naluri sempit dan parsial. Keteguhan kita (negara, pemerintah) dalam
merawat Keindonesiaan dan menjaga simbol-simbol ‘negara-bangsa’ seperti
Pancasila mesti disertai keberanian untuk memberikan pelajaran paling pahit
bagi kaum sektarian.
Bagaimanapun, langkah-langkah seperti itu mesti dipandang sebagai
cara untuk mengingatkan semua elemen Keindonesiaan untuk ‘bersikap tunduk’
pada keberadaan ‘negara-bangsa’ sebagai rumah bersama yang terbuka dan adil
bagi semua warga. Sekurangnya, hal ini akan mengembalikan kita pada satu
kesadaran bahwa keindonesiaan ialah ungkapan paling murni dari ‘kerelaan’
untuk ‘menyangkal’ identitas sektarian. Ini niscaya dijadikan sebagai
tanggung jawab bersama dalam kerangka merawat ‘negara-bangsa’ Indonesia
sebagai finalitas pencaharian politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar