Pidato
Politik SBY di Dies Natalis Partai Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono ; Ketua Umum Partai Demokrat
|
DETIKNEWS, 07 Februari 2017
Para pemimpin
dan Kader Demokrat yang saya cintai, Hadirin sekalian yang saya hormati,
Alhamdulillah, Partai Demokrat, partai kita, genap berusia 15 tahun.
Meskipun muda
dalam usia, Partai Demokrat kaya dengan pengalaman. Kaya dengan dinamika dan
romantika, pasang dan surut, serta tantangan dan peluang.
Bulan
September 2016 yang lalu, ulang tahun Partai Demokrat kita peringati secara
sederhana. Karenanya, hari ini, saya akan menyampaikan pidato politik dalam
rangka Rapimnas sekaligus pidato dies natalis partai kita.
Tema besar
pidato saya adalah Indonesia Untuk Semua. Indonesia For All. Dan saya akan
soroti tiga topik penting, yaitu keadilan, kebhinnekaan dan kebebasan.
Justice, diversity and freedom. Ketiga isu ini amat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketiga isu ini sekarang juga sedang
menjadi perhatian publik yang luas.
Saudara-saudara,
Kita tahu,
keadilan, kebhinnekaan dan kebebasan mudah diucapkan, tetapi tidak mudah
untuk diwujudkan. Dulu, ketika membahas dasar-dasar Indonesia Merdeka, para
pendiri republik memberikan perhatian sangat khusus atas tiga isu ini.
Konstitusi kita, UUD 1945, juga memberikan tempat yang terhormat terhadap
keadilan, kebhinnekaan dan kebebasan.
Negara
memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar agar keadilan tegak,
kebhinnekaan diwujudkan, dan kebebasan dijamin serta diberi ruang yang cukup.
Namun, sejak Indonesia berdiri, dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain,
dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain, tidak selalu mudah mewujudkan
3 hal besar ini. Selalu saja ada tantangan dan permasalahannya.
Sehingga, jika
dalam pidato ini saya mengangkat keresahan banyak kalangan tentang wajah
keadilan dan kebebasan, dan dalam batas-batas tertentu juga kebhinnekaan
kita, tidak berarti begitu saja saya menyalahkan negara dan pemerintah. Tidak
berarti pemerintah alpa dan menyimpang.
Yang saya
sampaikan ini anggaplah sebuah wake up call, atau peringatan dini. Wake up
call kepada para penyelenggara negara, dan juga kepada kita semua. Kita mesti
peduli, bertanggung jawab dan melakukan sesuatu untuk kebaikan bangsa kita.
Para Kader
Demokrat yang saya banggakan, Hadirin sekalian yang saya muliakan, Mari kita
sekarang bicara tentang keadilan.
Konstitusi
menegaskan bahwa Indonesia yang kita tuju bukanlah hanya Indonesia yang
merdeka, bersatu dan berdaulat, tetapi juga Indonesia yang adil dan makmur.
Kata-kata adil dan makmur mesti diletakkan dalam satu kebulatan, satu nafas
dan satu jiwa. Tak ada artinya jika Indonesia makmur, tetapi tidak adil. Kita
ingin agar semua rakyat Indonesia makmur. Makmur bersama, dan bukan makmur
sendiri-sendiri.
Saudara-saudara,
Di awal abad
ke 21 ini, muncul kesadaran yang bersifat global bahwa kemiskinan dan
ketimpangan sedunia harus dihentikan. Masih banyaknya kaum miskin, termasuk
yang sangat miskin, disertai ketimpangan yang semakin dalam, membuat dunia
menjadi tidak adil dan juga tidak aman.
Kita saksikan
banyak terjadi konflik, kekerasan dan gangguan keamanan, karena banyak yang
merasa kalah, tersisih dan ditinggalkan. Mereka mencari keadilan dengan cara
dan pilihannya sendiri-sendiri. Tren dunia abad 21 memang ditandai oleh
kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin menganga.
Separuh
kekayaan dunia dimiliki oleh orang-orang kaya yang jumlahnya hanya sekitar 1%
saja. Sementara, separuh sisanya harus dibagi oleh 99% penduduk bumi yang
lain. Di Indonesia, potret kita juga kurang memberikan harapan. Total
kekayaan 150 orang terkaya, setara dengan APBN kita. Bahkan, harta orang
Indonesia yang paling kaya jumlahnya 3 kali APBD Jakarta, 8,5 kali APBD Jawa
Timur, dan 95 kali APBD Maluku Utara.
Menjadi kaya
tentulah bukan kejahatan atau dosa. Asalkan, kekayaan itu diperoleh secara
halal, tidak lalai membayar pajak, dan rajin berbagi dengan yang tidak mampu.
Tetapi, bagaimanapun negara bersalah dan berdosa jika tidak memikirkan, tidak
membantu dan tidak meningkatkan taraf hidup rakyat miskin. Inilah esensi dari
keadilan sosial-ekonomi yang harus kita tegakkan.
Negara tidak
boleh asyik dan terlena dengan hukum-hukum pasar dan ajaran kapitalisme
semata. Ingat, pasar bebas, ajaran neolib dan kapitalisme yang fundamental
tidak peka dan tidak peduli terhadap mereka yang tersisih dan tertinggal.
Negara tidak boleh hanya mengikuti kepentingan perusahaan bisnis
multinasional dan liberalisasi perdagangan bebas, tanpa memikirkan dampak
negatifnya bagi rakyat.
Melepas
harga-harga kebutuhan pokok mengikuti harga pasar semata, tanpa memperhatikan
daya beli rakyat, bukanlah pilihan yang bijak. Ini tak berarti kita masuk ke
perangkap ekonomi komando atau ekonomi yang sosialistik-komunistik. Tidak
berarti pula pemerintah harus selalu menetapkan dan mengendalikan harga-harga.
Saya tahu hal
itu bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi yang harus efisien. Namun,
bagi negara berkembang atau emerging market, di mana pendapatan per kapita
dan daya beli rakyat masih rendah, diperlukan keseimbangan antara mekanisme
pasar dan peran pemerintah yang proporsional. Pemerintah tak boleh
menyerahkan segalanya ke mekanisme pasar bebas. Intervensi pemerintah yang
positif, proporsional dan diperlukan (necessary) tetaplah harus dilakukan.
Bergabung ke
aliansi kerja sama ekonomi yang ditawarkan negara-negara besar haruslah
berhati-hati. Pemerintah harus cermat jika harus bergabung dalam kerja sama
ekonomi yang mengikat dan terstruktur ketat, seperti Trans-Pacific
Partnership (TPP). Sebab, kalau kita gegabah, tidak siap dan salah perhitungan,
Indonesia akan sangat dirugikan.
Negara tentu
memerlukan investasi jangka panjang. Namun, investasi itu bukanlah
infrastruktur fisik semata. Investasikan pula sumber daya manusianya (human
capital), agar negara kita makin berdaya saing, makin maju dan makin unggul
di masa depan.
Porsi
pembangunan untuk infrastruktur juga harus berimbang dengan pembangunan
manusia. Biaya pembangunan infrastruktur tepat jika kita padukan dari sumber
swasta, BUMN dan APBN. Dengan demikian, APBN dan APBD dapat kita gunakan
untuk sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, pengentasan kemiskinan dan
pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang lain.
Pembengkakan
utang negara yang sangat besar untuk kepentingan jangka pendek, termasuk
infrastruktur, sebaiknya dihindari. Jumlah utang yang naik secara tajam akan
meningkatkan beban rakyat di masa depan. Menjaga fiskal yang sehat dan
pruden, termasuk mengurangi beban subsidi adalah langkah yang positif. Namun,
jika terjadi lonjakan harga dan membuat golongan ekonomi lemah terpukul, pemerintah
wajib membantunya secara tepat dan adil.
Kebijakan tax
amnesty guna mendayagunakan uang yang diparkir di luar negeri atau 'disimpan
di bawah bantal', dapat kita setujui dan dukung. Namun, tetaplah berorientasi
pada tujuan dan sasaran awal. Menggeser sasaran kepada rakyat biasa disertai
komunikasi yang tidak baik, membuat masyarakat takut, merasa dikejar-kejar
dan tidak tenteram tinggal di negerinya sendiri. Isu ini juga berkaitan
dengan keadilan.
Saya
berpendapat sasaran utama tax amnesty haruslah 100, 200, 500 atau 1000
orang-orang terkaya Indonesia. Disamping pemerintah mendapatkan 'fee
pemutihan', barangkali masih ada dana yang dapat digunakan untuk menggerakkan
ekonomi nasional.
Saudara-saudara,
Adalah tidak
bermoral, kalau di tengah gedung-gedung megah dan gemerlapannya kemewahan,
jutaan rakyat tidurnya tidak nyenyak lantaran tidak cukup makan. Artinya,
kesenjangan yang makin menjadi-jadi tidak bisa diterima di negara Pancasila,
yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Kita ketahui,
banyak sekali teori, strategi dan kebijakan pembangunan yang dianut oleh
bangsa-bangsa. Namun, bagi Indonesia, yang penting janganlah kita pernah
meninggalkan paradigma pembangunan yang adil. Pembangunan yang tetap berpihak
dan berorientasi kepada manusia dan lingkungannya.
Yang menjadi
sasaran bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial (social
inclusion) dan terjaganya lingkungan dan sumber-sumber kehidupan. Inilah yang
disebut dengan 'Sustainable Growth with Equity' yang kini dianut oleh banyak
negara di dunia.
Hadirin
sekalian,
Di samping
keadilan sosial-ekonomi, kita juga menghadapi tantangan keadilan yang lain,
yaitu keadilan dalam hukum. Negara kita adalah negara hukum, demikian yang
terkandung dalam konstitusi kita. Hukumlah yang harus menjadi panglima, bukan
politik. Apalagi kekuasaan.
Dewasa ini
rakyat sedang mengamati praktik penegakan hukum di seluruh tanah air. Ada
nuansa, bahkan testimoni, bahwa dalam penegakan hukum masih saja ada yang
tebang pilih. Rakyat juga merasakan, bahkan mengetahui, ada pula intervensi
dari pihak-pihak yang tidak berhak.
Di era
keterbukaan dan transparansi sekarang ini, open, digital, and transparant
society, cerita-cerita di belakang layar seperti itu telah menjadi rahasia
umum.
Masyarakat
kita memang cenderung diam. Sebagian bahkan takut. Tetapi, jangan salah,
sesungguhnya mereka tahu. Cara pandang yang menganggap rakyat serba lemah dan
pasti tidak tahu amat berbahaya. Sebab, manakala orang-orang yang lemah mulai
bersatu, persatuan itu akan menjelma sebagai kekuatan. People's power.
Sejumlah kasus
besar berkategori terang, yang menurut rakyat pasti diproses secara hukum,
nampaknya masih mengendap entah di mana. Sementara, kasus-kasus yang jauh
lebih tidak signifikan menjadi prioritas. Terpulang siapa yang diperkarakan.
Rakyat
merasakan betapa bersemangatnya penegak hukum menangani kasus 'menyebarkan
kebencian' atau 'tindakan tidak menyenangkan' terhadap penguasa. Sebaliknya,
jika yang menjadi korban atau yang pencari keadilan bukan dari lingkar
kekuasaan, jalannya tidak selalu mudah. Saya juga melihat respons negara dan
penegak hukum yang datar ketika ada indikasi terjadinya penyadapan ilegal
yang bermotifkan politik. Di penghujung tahun 2016 yang lalu, negara, dalam
hal ini penegak hukum, telah menangkap sejumlah aktivis politik.
Mereka dituduh
melakukan makar. Tentu ini jenis kejahatan yang serius. Jika memang terbukti
melakukan tindakan makar, hukum harus ditegakkan dengan tegas. Saya pribadi,
tidak pernah setuju dengan penjatuhan Presiden ditengah jalan tanpa alasan
yang dibenarkan oleh konstitusi. Saat ini rakyat tengah mengikuti penegakan
hukumnya. Rakyat akan menjadi saksi sejarah ketika mereka-mereka yang dituduh
melakukan makar tersebut diadili.
Saudara
sekalian,
Tahun-tahun
terakhir ini, media sosial juga menjadi sorotan publik. Jika ada seorang yang
statement-nya dinilai tidak menyenangkan penguasa atau kolega penguasa,
langsung dihajar oleh 'the invisible group'. Sebuah kekuatan yang tidak
kentara. Saya adalah salah satu korban dari 'the invisible group' yang
bekerja bagaikan mesin penghancur itu. Kata-kata yang digunakanpun tak kuasa
untuk saya utarakan, karena bisa merusak jiwa yang mendengarnya, apalagi
anak-anak kita.
Nilai-nilai
luhur tentang kesantunan, tata krama dan etika yang sering kita
bangga-banggakan, sepertinya tinggal kenangan. Atau telah masuk museum
sejarah yang sepi pengunjung. Banyak pihak yang sebenarnya tidak bersalah,
'innocent', ikut menjadi korban. Kita sedih, karena media sosial yang
seharusnya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, sering didominasi oleh
kalangan yang kurang beradab (uncivilized).
Karenanya saya
mendukung penuh langkah-langkah Presiden Jokowi dan pemerintahan, untuk
mengatur dan menertibkan penyimpangan di media sosial ini. Dengan catatan,
penertibannya dapat dipertanggungjawabkan secara konstitusional dan
dilaksanakan secara adil. Jangan tebang pilih dan jangan kelewat batas.
Saya
mengingatkan, ada 3 hal penting yang berkaitan dengan hak hukum warga negara.
Pertama, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di muka hukum. Kedua,
setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan dan
martabatnya. Dan yang ketiga, setiap orang berhak bebas dan mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Demikian esensi
dari konstitusi kita. Equality before the law.
Para Kader
Demokrat yang saya cintai, Hadirin sekalian yang saya hormati, Sekarang saya
akan bicara tentang kebhinnekaan.
Ada 2
pertanyaan kritis yang mengusik pikiran saya. Ke satu, benarkah kebhinnekaan
kita terancam saat ini, sebagaimana yang gencar disuarakan oleh sebagian
kalangan? Sedangkan yang kedua, masih relevankah kita bicara kebhinnekaan,
setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka?
Menjawab
pertanyaan ke-satu dengan tegas saya katakan tidak. Saat ini tidak ada
ancaman yang serius terhadap kebhinnekaan kita. Namun, ada benih-benih yang
bisa mengganggu kebhinnekaan, ini jika tidak kita cegah dan kelola dengan
baik. Terhadap pertanyaan kedua, jawaban saya adalah ya. Benar. Berbicara
tentang kebhinnekaan tetap dan selalu relevan. Menjaga dan merawat
kebhinnekaan boleh dikata menjadi 'never ending goal'.
Dari
perspektif sejarah, menjadi bangsa yang rukun, harmonis dan toleran adalah
bagian dari nation building. Kebhinnekaan kita bukanlah sekedar perbedaan
identitas dari segi agama, etnis, suku bangsa dan asal daerah. Lebih dari itu.
Bangsa kita juga majemuk dari segi budaya, bahasa, adat dan nilai-nilai lokal
yang lain. Kita juga beragam dalam aliran paham, cara pandang, status sosial
dan pilihan politik dalam kepartaian.
Masih segar
dalam ingatan kita ketika Indonesia mengalami konflik komunal yang berdarah.
Benturan horisontal itu terjadi di Sampit, Poso, Ambon dan Maluku Utara.
Perlu diketahui, untuk mengatasi dan mengakhiri konflik komunal itu
diperlukan waktu 5 tahun. Itupun masih dilanjutkan dengan proses rekonsiliasi
dan trust building, yang juga memerlukan waktu yang panjang.
Pesan yang
ingin saya sampaikan adalah janganlah kita bermain-main dengan kebhinnekaan
ini. Kalau memang tidak ada ancaman, janganlah dihembus-hembuskan dan
dimanipulasi secara politik, sehingga akhirnya benar-benar menjadi masalah.
Kita harus sungguh berhati-hati. Bermain air basah, bermain api terbakar.
Saya sungguh merasakan dan mengetahui, karena sebagai Menko Polkam, dulu saya
ikut menangani dan menyelesaikan konflik-konflik horisontal itu.
Yang penting,
bagaimana kita bisa menjaga dan merawat kebhinnekaan itu sekarang dan ke
depan. Saya berpendapat, ada 2 kata kunci jika kita ingin sukses menjaga
kebhinnekaan. Yang pertama adalah toleransi, dan yang kedua tenggang rasa.
Toleransi
berarti menghormati perbedaan. Toleransi juga berarti kita bisa mengerti, dan
tidak cepat tersinggung atau marah, jika mendengar atau mengetahui sesuatu
yang tidak 'pas'.
Sementara,
tenggang rasa adalah kemampuan dan kesediaan untuk mengendalikan diri. Kita
mesti mencegah tutur kata dan perbuatan yang bisa melukai, menyinggung,
memperolok, dan merendahkan keyakinan saudara kita yang berbeda identitas.
Karenanya, toleransi ini harus senantiasa dipasangkan dengan tenggang rasa.
Apalagi kita
mengetahui bahwa toleransi selalu memiliki batas. Tolerance has its
boundaries. Kalau mengharapkan orang lain toleran terhadap dirinya, dia juga
harus bertenggang rasa terhadap yang lain. Yang menyuburkan kerukunan dan
toleransi dalam kehidupan masyarakat yang majemuk adalah cinta dan kasih
sayang. Juga rasa kebangsaan dan persaudaraan kita. Sedangkan yang merusak
kedamaian, kerukunan dan persaudaraan adalah kebencian (hatred) dan rasa
permusuhan.
Semua agama
dan kearifan lokal mengajarkan cinta dan kasih sayang, dan bukan kebencian
dan permusuhan. Mari taburkan kasih sayang, jangan saling membenci dan mari
hormati semua agama di negeri ini. Singkirkan jauh-jauh dari bumi Indonesia
yang disebut Islamophobia, Kristenophobia, atau phobi-phobi terhadap agama
manapun. Negara tidak boleh membangun kebencian terhadap agama manapun.
Inilah keindahan negara Pancasila, Negara yang Berketuhanan.
Berkaitan
dengan respons negara, utamanya penegak hukum, pasca rangkaian aksi damai di
penghujung tahun 2016 yang lalu haruslah tetap terukur, tepat, bijak dan
tidak melebihi kepatutannya. Jangan sampai dibaca negara menjadikan rakyat
dan umat islam sebagai musuhnya.
Mari taburkan
kasih sayang, jangan saling membenci dan mari hormati semua etnis dan suku
bangsa di negeri ini. Di Indonesia, tak perlu ada kebencian terhadap kaum
diaspora dari manapun. Mereka semua adalah bangsa kita, bangsa Indonesia.
Bukan bangsa Tiongkok, bukan bangsa Arab, bukan bangsa India, dan lain-lain.
Tentu, mereka perlu menunjukkan kesetiaan dan keIndonesiaannya. Semua harus
membangun budaya yang inklusif, bukan yang eksklusif. Pembauran harus
bertumpu pada rasa dan semangat kebangsaan. Tak boleh digantikan dengan
pengelompokan atas dasar etnis dan status sosial.
Marilah kita
kukuhkan persaudaraan, kemitraan dan kerja sama lintas partai politik.
Pemilihan umum, termasuk pilkada memang keras. Namun, tidak berarti di antara
partai politik harus memelihara permusuhan yang permanen. Seolah harus
mewariskan permusuhan kepada generasi-generasi berikutnya.
Ada saatnya
kita berkompetisi, ada saatnya pula kita berkolaborasi. Itulah indahnya jiwa
Pancasila dalam demokrasi kita.
Saudara-saudara,
Di penghujung
tahun 2016 yang lalu bangsa kita kembali diuji. Situasi sosial dan politik
memanas, dipicu oleh perkataan saudara Basuki Tjahaja Purnama yang dinilai
melakukan penistaan terhadap agama Islam. Dari isu yang sebenarnya cukup
sederhana, akibat pengelolaan awal yang tidak tepat, akhirnya berkembang
menjadi isu yang rumit dan sensitif.
Saya tetap
berpendapat bahwa kasus hukum Saudara Basuki bukanlah isu kebhinnekaan, bukan
isu SARA dan juga bukan isu NKRI. Namun, dalam perkembangannya seperti ada
politisasi dan penggeseran dari isu aslinya. Akibatnya, hubungan antar
identitas tertentu menjadi tegang. Masyarakat justru bercuriga, jangan-jangan
ada pihak tertentu yang ingin membenturkan satu identitas dengan identitas
yang lain.
Saya
berpendapat, ketegangan sosial-politik itu harus segera diakhiri. Jangan
justru dipelihara, apalagi dibesar-besarkan. Marilah kita petik hikmah dan
pelajaran yang berharga dari peristiwa tersebut. Sebagai bangsa yang majemuk,
marilah kita benar-benar pandai bertoleransi dan bertenggang rasa. Setelah
itu, marilah kita lanjutkan perjalanan kita. Melangkah ke depan. Move on.
Masih banyak tugas dan pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan bersama di
masa depan.
Marilah kita
hormati proses penegakan hukum atas saudara Basuki yang kini tengah
berlangsung. Berikan ruang kepada penegak hukum untuk menegakkan keadilan.
Putusan apapun mesti kita hormati. Bebaskan segala intervensi dari pihak
manapun.
Pengerahan
kekuatan massa dalam jumlah yang amat besar, dari pihak manapun, barangkali
sudah saatnya diakhiri. Gerakan massa yang berhadap-hadapan, bisa menimbulkan
benturan fisik dan kekerasan yang tidak kita kehendaki.
Dengan niat
baik saya ingin mengingatkan, janganlah dibiarkan terjadinya benturan
horisontal di masyarakat kita. Sekecil apapun. Dulu, konflik komunal di
Sampit, Poso dan Ambon, awalnya juga kecil. Di tingkat dunia, perang saudara
yang terjadi di Suriah dulunya juga terbatas pada konflik antara penguasa
dengan oposisi. Kemudian situasi makin memburuk ketika ISIS melibatkan diri
dengan ideologi, agenda dan tujuannya sendiri. Sekarang Suriah menjadi negara
yang porak poranda. Suriah kini juga menjadi salah satu titik ledak bagi
terjadinya peperangan besar di dunia.
Mungkin saya
dituduh hanya menakut-nakuti. Melebih-lebihkan. Tidak, saudara-saudara. Saya
ikut memiliki dan sangat mencintai negeri ini.
Masih
berkaitan dengan situasi sosial dan keamanan saat ini, janganlah dibiarkan
pihak ketiga memancing di air keruh. Jangan sampai pula negara tidak adil dan
berat sebelah. Jangan dibiarkan kaum radikal dan ekstrim tampil karena merasa
terpanggil, dan kemudian mengambil alih keadaan. Dari kelompok manapun. Sudah
sangat sering saya mendengar kata-kata 'negara harus hadir'. Sekaranglah
saatnya negara benar-benar hadir. Hadir dan bertindak tepat, adil dan bijak.
Para Kader
Demokrat dan hadirin yang saya hormati, Ijinkan saya kini berbicara tentang
kebebasan.
Dari
pengalaman bangsa-bangsa di dunia, hubungan antara penguasa dengan rakyat
tidak selalu mudah. Lazimnya, pihak yang berkuasa kurang senang jika rakyat eksesif
dalam menggunakan kebebasannya. Alasan yang sering dipakai adalah negara
tidak akan stabil jika politik gaduh. Tanpa stabilitas politik, ekonomi tidak
bisa dibangun. Dan, tanpa pembangunan ekonomi rakyat tak akan sejahtera.
Di Indonesia,
pandangan dan mitos seperti ini pernah hidup dan menjadi anutan kita. Saya
berpendapat, jika dilihat dalam tingkatannya yang serba ekstrim pandangan
demikian tidaklah salah. Tetapi, dalam realitasnya, rakyat tidak selalu
anarkis dalam menyampaikan perasaan, aspirasi dan harapannya. Membungkam dan
melarang rakyat untuk menyampaikan kritik dan protesnya, dengan alasan demi
stabilitas politik, menurut saya terlalu berlebihan.
Tujuh puluh
satu tahun yang lalu, ketika bangsa kita tengah mempersiapkan kemerdekaannya,
para pendiri republik berdebat. Ketika dilontarkan gagasan bahwa Indonesia
yang hendak didirikan adalah Negara Kebangsaan, semuanya setuju. Tetapi,
perbedaan pendapat muncul ketika draft dan desain awal konstitusi mulai
disusun. Pasalnya, kekuasaan yang diberikan kepada negara dianggap terlalu
besar. Sebaliknya, ruang kebebasan dan hak rakyat dianggap terlalu sempit.
Sebagian perancang kemerdekaan khawatir jika Indonesia mengarah dan menjadi
Negara Kekuasaan. Negara Polisi (Police State).
Sejarah
menakdirkan, UUD 1945, memang memberikan kekuasaan yang besar kepada negara,
termasuk kepada Presiden. Hak rakyat yang negara harus melindungi dan
mewujudkannya nampak dibatasi. Baru setelah reformasi berskala besar terjadi
sejak tahun 1998, hak rakyat tersebut diberikan ruang yang besar. Hal ini
ditandai dengan dicantumkannya 10 pasal hak-hak asasi manusia, yang
hakikatnya mengadopsi pasal-pasal The Universal Declaration of Human Rights.
Saudara-saudara,
Marilah
sekarang kita melihat dengan jujur potret kebebasan kita. Apakah kita merasa
bahwa akhir-akhir ini negara menggunakan kekuasaannya secara berlebihan. Yang
artinya rakyat dikekang dan dibatasi dalam menggunakan hak politiknya dan
dalam melindungi hak-hak asasinya.
Kalau
jawabannya 'ya', maka Indonesia tercinta harus berhati-hati. Mengapa? Karena,
sejarah telah memberikan pelajaran penting ketika negara sangat menekankan
stabilitas politik dan kewibawaan pemimpin secara berlebihan. Apalagi jika
dibarengi dengan opresi terhadap hak dan kebebasan warga negara. Sejarah pula
yang menunjukkan bahwa rezim demikian tidak bisa bertahan, tidak survive dan
bahkan sering harus berakhir secara dramatis. Koreksi besar pernah terjadi di
akhir era demokrasi terpimpin tahun 60-an dulu. Juga di penghujung era
demokrasi otoritarian pada tahun 90-an.
Ketika saya
mengemban tugas memimpin Indonesia, dengan dukungan penuh Partai Demokrat,
saya juga menghadapi politik yang sering panas dan gaduh. Parlemen, pers,
kaum pengamat dan kalangan LSM sangat kritis bahkan sinis terhadap saya dan
pemerintahan yang saya pimpin. Unjuk rasa kerap terjadi, termasuk pula adanya
Gerakan Cabut Mandat SBY yang jiwanya seperti makar, meskipun penglihatan
saya belum berkategori makar. Kewibawaan dan kehormatan saya sering diserang
dan dilecehkan secara vulgar.
Dalam kondisi
dan situasi politik seperti itulah dulu saya mendapatkan godaan. Sebuah
godaan politik yang menggiurkan. Sambil menyalahkan saya karena sebagai
Presiden saya dianggap 'terlalu demokratis' dan 'terlalu baik', sejumlah
pihak menyarankan agar saya lebih tegas dan bertindak keras. Kata mereka,
demokrasi tak cocok untuk Indonesia. Rakyat tak boleh diberi ruang politik
terlalu lebar, karena politik akan gaduh dan negara tidak stabil. Elit
politik, pemilik modal dan pemimpin media massa kalau menyerang penguasa
mesti digembosi dan dibikin diam. Mereka pasti punya kelemahan dan bahkan
kesalahan. Kalau pebisnis punya urusan dan menentang pemerintah, hidupnya
akan susah. Usut saja pajaknya, pasti mereka ketakutan. Mintakan para penegak
hukum untuk mencari-cari kesalahan orang yang 'tidak kooperatif' itu, pasti
ketemu. Kalau secara hukum tidak terbukti bersalah, paling tidak secara
sosial dan politik nama baiknya akan rusak. Jangan sia-siakan 'power' atau
kekuasaan yang dimiliki penguasa.
Menurut
mereka, represi dan pembatasan hak-hak rakyat untuk mengamankan kepentingan
nasional adalah sah. Tidak salah. Jika saya menggunakan emosi saya,
sepertinya apa yang dikatakan kawan-kawan itu benar.
Tetapi, ketika
saya pikirkan baik-baik, hati dan pikiran saya berkata lain, bukan itu posisi
dan cara yang akan saya pilih dan jalankan sebagai Presiden. Rationale dan
logika yang saya gunakan sederhana. Jika kegaduhan dan serangan-serangan
politik itu benar-benar membuat ekonomi lumpuh dan pemerintah tidak bisa
bekerja, barangkali saya menerima saran mereka. Tetapi, yang saya alami lain.
Pemerintah tetap dapat bekerja dan tetap dapat menjalankan kebijakan serta
program-programnya. Sementara itu, selama sepuluh tahun ekonomi nasional
tumbuh baik. Lantas mengapa saya harus berubah menjadi pemimpin yang represif
dan otoriter?
Justru,
barangkali saya harus berterima kasih kepada yang sangat kritis dan sinis
dulu, meskipun kini semuanya berubah menjadi pendiam. Karena jasa merekalah
pemerintahan yang saya pimpin tidak jatuh, dan saya bisa mengakhiri tugas
saya tanpa halangan.
Saudara-saudara,
saya senang mempelajari sejarah.
Di seluruh
dunia banyak pemimpin yang akhirnya menjadi tiran dan diktator. Sebenarnya,
mereka tidak dilahirkan demikian. Tetapi dalam perjalanan waktu, keadaanlah
yang menjadikan seseorang menjadi tiran dan diktator itu. Apalagi, kalau sang
pemimpin tersebut mulai takut kehilangan kekuasaan.
John Steinbeck
pernah mengatakan 'Power does not corrupt. Fear corrupt, perhaps the fear of
a loss of power'. Terjemahan bebasnya adalah, 'Sebenarnya kekuasaan itu tidak
korup. Ketakutanlah yang membuat penguasa korup. Barangkali karena ia takut
akan kehilangan kekuasaannya'.
Kala itu saya
bersumpah untuk tidak tergoda menjadi pemimpin yang otoriter dan represif.
Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Swt mengabulkan permintaan saya. Tetapi
sepertinya Sang Pencipta tidak memberikannya begitu saja. Tidak gratisan. Hal
itu harus saya tebus dengan kesabaran dan ketegaran saya bersama keluarga.
Kami harus sabar dan tegar menghadapi serangan politik, fitnah dan pembunuhan
karakter. Termasuk olok-olok dan penghinaan terhadap pribadi saya.
Hadirin
sekalian yang saya hormati,
Di banyak
negara berkembang, termasuk di Indonesia, dulu juga hidup sebuah mitos,
intinya kita harus memilih. Memilih ekonomi, atau demokrasi. Memilih
keamanan, atau kebebasan. Security or liberty. Tidak bisa dua-duanya. Kalau
mau dicapai dua-duanya negara akan gagal. Begitu kata para penganjur
'stabilitas demi pembangunan ekonomi'.
Mitos itu
sebenarnya telah kita patahkan. Ternyata bangsa Indonesia bisa menghadirkan
dua-duanya. Tidak harus memilih lagi. Pasca krisis 1998 dan disusul gerakan
reformasi nasional, Indonesia bisa membuktikan bahwa akhirnya ekonomi dan
demokrasi dapat kita wujudkan secara bersama. Memang awalnya politik amat
gaduh dan tidak stabil. Namun, setelah bangsa kita bisa melakukan
konsolidasi, situasinya menjadi tenang dan normal kembali. Sebagai contoh,
dalam 10 tahun masa kepresidenan saya, kita bisa mewujudkan dua-duanya.
Ekonomi kita tumbuh dengan baik dan demokrasi juga mekar dan berkembang.
Namun,
saudara-saudara, tidak berarti demokrasi yang kita anut dan jalankan ini
sudah sempurna. Belum. Jalan menuju demokrasi yang kuat, stabil, berkualitas
dan berkeadaban masih panjang. Kita masih harus mendidik diri kita sendiri.
Penggunaan hak
dan kebebasan yang melampaui batas tentu bukan pilihan kita. Baik deklarasi
hak-hak asasi manusia yang bersifat universal maupun konstitusi kita sendiri,
UUD 1945, juga melakukan pembatasan dan pengaturannya. Dan negara punya
otoritas untuk menghadirkan demokrasi yang teduh dan tertib.
Dengan semua
yang saya sampaikan tadi tidak berarti saya adalah orang yang mudah pesimis.
Tidak. Saya tetap optimis terhadap masa depan Indonesia. Dengan
pikiran-pikiran korektif saya tadi, tidak berarti saya tidak lagi mempercayai
pemimpin dan pemerintah kita. Tidak. Saya, dan tentunya Partai Demokrat,
tetap mendukung dan memberi kesempatan kepada Presiden Jokowi dengan
pemerintahannya untuk menuntaskan masa bhaktinya hingga selesai.
Hadirin yang
saya hormati,
Para kader
Demokrat yang saya cintai, Izinkan saya sekarang bicara tentang tantangan
yang dihadapi Partai Demokrat, dan langkah perjuangan kita ke depan.
Sebagai
penggagas berdirinya Partai Demokrat, dan yang jatuh bangun bersama partai
ini, saya bisa merasakan apa yang para kader rasakan saat ini. Dari interaksi
saya dengan pengurus partai, termasuk dengan para Ketua DPD Demokrat seluruh
Indonesia, saya mencatat ada 2 hal besar yang ada dalam diri para kader.
Pertama, saya
mengetahui hati para kader sakit, luka dan juga marah. Kenapa? Ya karena tak
ada angin tak ada hujan Demokrat difitnah menggerakkan Aksi Damai 4 November
2016 yang lalu. Sebaliknya, kedua, saya justru melihat bangkitnya semangat
dan tekad para kader Partai Demokrat yang luar biasa. Makin dihantam, makin
bersatu dan makin kuat kita.
Para Kader,
Meskipun
situasi politik tengah menghangat, dan kitapun tengah dijadikan sasaran
tembak, jangan sampai kita kendur dalam komitmen dan misi besar kita. Jangan
sampai kita menjauh dan melupakan rakyat, pemilik kedaulatan yang sejati.
Andaikan kita bisa memilih, pilih disukai rakyat atau penguasa, tentu kita
memilih dua-duanya. Tetapi kalau dua-duanya tidak bisa, yang penting kita
tetap bersama rakyat.
Ingat, dalam
Kongres Surabaya tahun 2015 yang lalu, kita mengangkat semboyan 'untuk
rakyat, Demokrat peduli, serap aspirasi dan beri solusi'. Semboyan ini harus
tetap hidup dan benar-benar kita wujudkan.
Komitmen dan
langkah kita tidak muluk-muluk. Sederhana saja. Ketika sebagian besar rakyat
mengalami kesulitan hidup akibat ekonomi negara yang melemah, Demokrat harus
berbuat sesuatu yang bisa meringankan beban mereka. Ketika rakyat sedang
resah karena melihat keadilan dan kebebasan di negeri ini tengah menjauh,
Demokrat harus berani menyampaikannya kepada negara. Jangan diam. Jangan
hanya cari selamat untuk diri kita sendiri.
Melalui mimbar
ini, saya ingin tegaskan lagi sikap politik Demokrat dalam Kongres Surabaya 2
tahun lalu.
Partai
Demokrat tetap konsisten untuk mendukung Presiden Jokowi beserta
pemerintahannya guna menuntaskan masa bhaktinya. Tidak ada niat sekecilpun,
apalagi tindakan, untuk menjatuhkan pemerintahan di tengah jalan. Tiga sikap
politik Partai Demokrat dalam hubungannya dengan pemerintah, juga tetap kita
pertahankan.
Pertama,
pejabat eksekutif, baik Gubernur, Bupati, dan Walikota dari Demokrat, ataupun
wakil-wakilnya, wajib loyal dan mendukung penuh Presiden Jokowi. Kedua,
Partai Demokrat mendukung penuh setiap keputusan Presiden dan kebijakan
pemerintah yang tepat dan benar, serta pro-rakyat. Ketiga, Partai Demokrat
akan mengkritisi dan mengoreksi keputusan Presiden dan kebijakan pemerintah
yang keliru dan tidak tepat, serta bertentangan dengan kehendak rakyat.
Sementara itu,
Partai Demokrat konsisten untuk tetap berada di luar pemerintahan, seraya
menjalankan peran dan tugas 'social and political control'. Partai Demokrat
memilih untuk menjaga kemerdekaan dan kemandiriannya, terlebih ketika tidak
banyak yang mau dan berani bersuara, baik di parlemen maupun di arena publik.
Memang
sepertinya kita merasa sendiri dan tidak punya teman. Ada yang mengatakan
kini Partai Demokrat dikucilkan ataupun tidak dianggap. Tetapi hal itu
bukanlah sebuah aib. Partai kita bukan partai terlarang. Menjadi partai dan
kader yang 'di sini senang, di sana senang', bukanlah pilihan kita. Kita
harus punya warna. Kita harus memiliki karakter. Kalau DNA Partai Demokrat
adalah demokrasi, ekonomi dan keberpihakan kepada rakyat kecil, ya itulah
darah kita. Baik ketika sedang berada di kekuasaan maupun tidak, itu pula
jati diri dan platform partai kita.
Kita tak punya
bakat menjadi bunglon ataupun oportunis. Kita harus menjadi kesatria. Ketika
kita kalah dalam Pemilu 2014 yang lalu, kita bisa menerima kekalahan itu.
Kita kasih karpet merah kepada pemimpin dan pemerintahan yang baru. Jika
Partai Demokrat sangat menyuarakan persamaan (equality) dan keadilan sosial,
tidak berarti Demokrat menjadi partai sosialis atau partai kiri. Demokrat
akan tetap menjadi 'partai tengah', partai nasionalis-religius, dan partai
yang mencintai keberagaman.
Sikap
xenophobic dan ultra-nasionalistik bukan pilihan Demokrat. Segaris dengan
yang pernah diucapkan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, nasionalisme
yang dianut Demokrat adalah nasionalisme yang bergandengan dengan
bangsa-bangsa sedunia.
Partai Demokrat
mendambakan kehidupan masyarakat Indonesia yang religius. Peran agama, agama
manapun, amat penting untuk membangun akhlak dan budi pekerti manusia
Indonesia. Negara harus menghormati agama, agama manapun, dan memberikan
ruang dan tempatnya yang mulia. Bukan sebaliknya, memusuhi dan membencinya.
Indonesia memang bukan Negara Agama, tetapi Negara yang Berketuhanan.
Para Kader
yang saya banggakan,
Saat ini kita
sedang berjuang untuk menyukseskan Pilkada yang secara serentak dilaksanakan
di tanah air. Alhamdulillah, prestasi Partai Demokrat dalam pilkada serentak
tahun 2015 baik. Capaian kita waktu itu di atas target yang kita tetapkan.
Bahkan dalam 5 pilkada susulan, semuanya dimenangkan oleh kader atau kandidat
yang kita usung. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas jerih payah dan usaha keras saudara semua.
Saya berharap,
pilkada serentak tahun 2017 ini kita lebih sukses lagi. Kita memiliki
kader-kader yang berintegritas, handal dan cakap untuk mengemban tugas
sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota jika mereka mendapatkan mandat dari
rakyat. Insya Allah, dengan kerja keras dan pertolongan Tuhan kita bisa.
Partai Demokrat Bisa.
Berkaitan
dengan pemungutan suara yang tinggal 8 hari lagi, saya mendengar para kader
khawatir jika terjadi banyak kecurangan. Masyarakatpun juga cemas jika uang
bermain dalam pilkada ini. Hantu money politics. Mudah-mudahan politik uang
yang melanggar undang-undang dan merusak demokrasi itu tidak terjadi.
Saya menyadari
bahwa Partai Demokrat tidak memiliki sumber pendanaan yang melimpah.
Karenanya saya terharu, ketika para kader menghidupkan budaya kenclengan,
atau iuran sukarela, baik dalam bentuk uang tunai maupun atribut kampanye.
Meskipun barangkali jumlahnya masih terbatas, saya bangga dan sungguh
menghargai cara-cara mulia seperti itu. Saya juga membaca kekhawatiran para
kader di seluruh tanah air kalau-kalau aparat negara, utamanya TNI, Polri dan
Badan Intelijen Negara tidak netral.
Memang saya
juga mendengar berita-berita yang kurang sedap. Mudah-mudahan berita itu
tidak benar. Tetapi, kalau sampai TNI, Polri dan BIN tidak netral, sayalah
orang yang paling sedih. Sebagaimana saudara ketahui, saya adalah salah satu
pelaku utama reformasi TNI & Polri. Agenda penting dari reformasi adalah
berhentinya TNI & Polri dari politik praktis, atau politik kekuasaan.
Sejarah
mencatat, dulu ABRI merupakan bagian dan sekaligus pelaku aktif dari politik
yang partisan. ABRI hanya berpihak kepada satu partai politik dan penguasa
negara. Akibat perilaku politik seperti itu, bangsa kita, termasuk TNI &
Polri, membayarnya dengan harga yang mahal. Rakyat amat marah. Dan ketika
terjadi krisis politik yang hebat, TNI & Polri dipaksa oleh sejarah untuk
menghentikan peran sosial politiknya. Termasuk menghentikan
ketidak-netralannya dalam pemilihan umum. Semoga, mimpi buruk dan kekeliruan
itu tidak terjadi lagi. Keledaipun tak akan terjatuh dua kali karena
tersandung oleh batu yang sama.
Sebagai
seorang purnawirawan senior, dan selaku mantan Presiden, saya tidak ingin
TNI, Polri dan BIN bertindak salah serta mengkhianati sumpahnya sebagai
bhayangkari negara. Selama 10 tahun saya ikut memimpin dan membangun TNI
& Polri, hingga pada kapabilitas dan posturnya yang membanggakan sekarang
ini. TNI & Polri kini menjadi kekuatan pertahanan dan keamanan negara
yang handal dan profesional, serta dibanggakan rakyat.
Karenanya,
para petinggi TNI, Polri dan BIN, janganlah tergoda oleh kekuasaan sesaat.
Jangan merusak sendi-sendi keprajuritan dan kepolisian yang luhur. Jangan
mendidik dan mengajari hal-hal yang tidak benar kepada prajurit. Netrallah
dalam setiap pemilu nasional dan juga pilkada. Pengalaman tidak baik yang
saya alami pada pemilihan Presiden tahun 2004 yang lalu, janganlah terjadi
lagi.
Kembali pada
situasi politik saat ini, saya ingatkan bahwa netralitas dalam pilkada tidak
otomatis terwujud hanya dengan seruan seperti yang saya sampaikan ini.
Karenanya, saya instruksikan kepada semua kader dan simpatisan Demokrat untuk
aktif menjadi mata dan telinga, untuk mencegah segala bentuk kecurangan. Saya
senang karena telah disiapkan satuan-satuan tugas anti kecurangan. Cegah dan
lawanlah segala kecurangan dengan pengetahuan yang mendalam tentang
jenis-jenis kecurangan, baik manual maupun digital.
Ajak pula
saudara-saudara kita di seluruh tanah air, untuk ikut menjaga pilkada ini
agar tetap jujur dan adil. Jika para kader mengetahui terjadinya kecurangan
termasuk ketidaknetralan TNI, Polri dan BIN, segeralah melaporkan kepada
Bawaslu dan jajaran penegak hukum. Beritahu pers dan media massa atas
kecurangan itu, dan sebarkan pula melalui media sosial. Yang penting
beritanya benar dan akurat, dan tentunya bukan fitnah dan 'hoax'. Jika
pelanggaran dan kecurangan yang terjadi sangat serius segera laporkan kepada
Dewan Pimpinan Pusat, untuk bersama-sama mencari keadilan lebih lanjut.
Masih
berkaitan dengan pemilu, kita juga mendengar mulai ada yang berbicara tentang
Pemilu 2019, termasuk siapa-siapa yang akan dinominasi sebagai calon
Presiden. Saya tegaskan, belum saatnya Demokrat membicarakan hal itu.
Benar-benar terlalu dini jika kita membicarakan siapa calon Presiden dari
Partai Demokrat. Menurut pendapat saya, tidak baik pula jika para
penyelenggara negara mengaitkan segala sesuatunya dengan pemilu 2019
mendatang. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh bangsa ini,
terutama pemerintah, untuk 3 tahun ke depan. Jangan lukai hati rakyat seolah
kita ini hanya memikirkan kekuasaan.
Para Kader
Demokrat yang saya banggakan,
Di bagian
akhir pidato ini, saya ingin menyampaikan hal penting berkaitan dengan
permainan politik yang sangat merugikan partai kita.
Sejak bulan
Oktober 2016 yang lalu, kita merasakan hempasan angin dan bahkan badai yang
amat kuat terhadap SBY dan Partai Demokrat. Sebagaimana para kader ketahui,
tiba-tiba Partai Demokrat difitnah menggerakkan Aksi Damai 4 November 2016.
Sayapun dituduh mendanai dan menunggangi aksi damai tersebut. Di samping
fitnah kepada kita, tuduhan itu juga sebuah penghinaan kepada jutaaan rakyat
di tanah air, yang secara spontan dan ikhlas melaksanakan aksi-aksi damai
tersebut.
Yang lebih
keterlaluan lagi, tiba-tiba sebuah pemberitaan di media sosial dan diviralkan
ke mana-mana, menuduh saya berada di belakang rencana pemboman Istana
Merdeka. Tanpa beban dan tidak kesatria, penyebar hoax atau fitnah itu
menggunakan sarana informasi publik, yang semestinya diawasi dan bukan
dibiarkan oleh pemeritah.
Yang juga
bagai halilintar di siang bolong adalah tuduhan kepada saya seolah berada di
belakang gerakan makar. Secara pengecut pula diedarkan selebaran-selebaran
'hoax', tanpa identitas siapa pembuatnya.
Terus terang
saya merasa terhina dan direndahkan oleh para mastermind, pembisik dan juru
fitnah tersebut. Dalam perjalanan hidup saya, hampir 30 tahun saya mengabdi
di lingkungan TNI untuk menjaga tegaknya sang Merah Putih, dengan tebusan
jiwa dan raga. Hampir 15 tahun saya bertugas di pemerintahan, baik sebagai
Menteri maupun Presiden, yang bekerja untuk kebaikan dan kemajuan bangsa dan
negara kita. Betapa nasty-nya mereka yang tidak bertanggung jawab itu
memfitnah saya seolah hendak merusak negara.
Yang paling
baru, kemarin, rumah saya di Kompleks Kuningan digeruduk oleh massa, yang
konon sudah diprovokasi dan diagitasi di Kawasan Pramuka Cibubur. Jambore
adalah ajang kegiatan yang edukatif, sementara Kawasan Pramuka Cibubur adalah
kawasan netral politik.
Sangat
menyedihkan jika forum dan kawasan terhormat itu dikotori oleh tangan-tangan
hitam yang melakukan agitasi dan propaganda (agitprop) untuk menghancurkan
lawan-lawan politiknya. Para mahasiswa calon-calon pemimpin masa depan itu dicekoki
dengan provokasi bahwa SBY adalah perusak negara dan karenanya harus
ditangkap. Naudzubillah. Siapa yang merusak negara? Sulit dimengerti jika
pihak-pihak kekuasaan tidak mengetahui. Saya pesimis jika kasus unjuk rasa
dan geruduk yang melanggar hukum tersebut diusut dan dituntaskan oleh penegak
hukum.
Terhadap semua
serangan dan fitnah itu, saya mengajak saudara semua untuk tetap kuat, tegar
dan sabar. Namun, kita harus berikhtiar dan berjuang untuk mengembalikan
kehormatan dan harga diri kita. Sebagaimana yang telah saya sampaikan
sebelumnya, memang tak selalu mudah untuk mendapatkan keadilan. Tetapi saya
yakin cepat atau lambat kebenaran dan keadilan akan datang. Yang benar akan
benar, yang salah akan salah.
Saya mengajak
para kader untuk tidak ikut-ikutan menyebarkan fitnah, apapun kesulitan dan
permasalahan berat yang kita hadapi. Mari kita jawab fitnah dengan kebenaran.
Janganlah kita ikut-ikutan menjadi pengecut yang beraninya menyebarkan fitnah
di belakang. Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menangis dan tidak akan
menjadi negara yang maju dan beradab, jika diisi oleh kaum pengecut dan tidak
kesatria. Generasi mendatang juga tidak akan menjadi generasi unggul dan
berkepribadian mulia, jika dirusak para pembohong, dan mereka yang jiwanya penuh
prasangka, dendam serta kebencian. Mari kita selamatkan masa depan negeri ini
dari praktik-praktik buruk yang akhir-akhir ini hidup dengan suburnya. Insya
Allah kita bisa.
Hadirin
sekalian yang saya hormati, menutup pidato ini, izinkanlah saya selaku
pemimpin Partai Demokrat, memohon doa restu seluruh rakyat Indonesia. Semoga
Partai Demokrat bisa ikut mewujudkan aspirasi dan harapan rakyat, menuju masa
depan Indonesia yang gemilang. Dengan senang hati Partai Demokrat bersedia
dan sungguh ingin mendengar aspirasi Bapak-Ibu sekalian, rakyat Indonesia.
Perjalanan
pengabdian Partai Demokrat kepada bangsa dan negara masih panjang. Kami juga
terus berbenah dan membangun diri, agar menjadi partai politik yang
berkarakter dan berkualitas, kontributif terhadap negaranya, dan tetap dekat
dengan rakyat.
Sekian. Terima kasih atas perhatian dan kesabaran Bapak Ibu
sekalian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar