RUU
Pemilu dan
Kepatuhan
terhadap Mahkamah Konstitusi
Ramdansyah ;
Sekjen Partai Idaman
|
KORAN
SINDO, 08
Februari 2017
Rancangan
Undang-Undang (RUU) usulan pemerintah yang tengah dibahas Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI mengabaikan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Delegitimasi putusan MK dapat terjadi karena
ketidakpatuhan tidak berakibat sanksi. Ketidakpatuhan dengan memasukkan pasal
yang sudah dianulir MK hanya berujung putusan mutatis mutandis (otomatis) di
MK. Pengabaian putusan MK untuk dimasukkan dalam RUU Pemilu dapat terjadi
karena dua bentuk.
Pertama,
memasukkan kembali sejumlah pasal yang sudah dibatalkan normanya oleh MK.
Kedua, tidak memasukkan putusan MK dalam RUU yang diserahkan ke DPR. Padahal,
publik mencatat selama 2003-2016 tercatat 111 gugatan uji materi tentang
kepemiluan diajukan ke Mahkamah. Pengabaian dengan memasukkan kembali pasal
yang sudah dianulir MK terjadi pada lembaga survei.
Pasal
245 ayat (2) UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu Legislatif mencantumkan
pelarangan ini. Padahal, pencabutan larangan ini pernah diputus MK tiga tahun
sebelumnya dalam Putusan MK Nomor 09/PUU-VII/2009 terhadap UU Nomor 10/2008
tentang Pemilu Legislatif. Pada Pemilu 2014, pembuat UU mencoba memasukkan
kembali larangan ini di UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu Legislatif. Mereka
yang dirugikan mengajukan uji materi.
Hasilnya,
Putusan MK No. 24/PUUXII/ 2014 tanggal 3 April 2014 menyatakan larangan
tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. MK menilai terdapat persamaan prinsip dalam pengujian
walaupun redaksional pasalnya berbeda. Sayangnya, larangan kampanye ini
muncul kembali di Pasal 428 ayat (2) dan ayat (6) RUU Pemilu saat ini,
berikut pasal ancamannya di Pasal 483.
Pengabaian
putusan MK juga terjadi pada putusan tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Penulis pernah mengajukan uji materi terkait frasa “putusan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersifat final dan mengikat” dalam
Pasal 112 ayat (12) UU Nomor 15/2011.
Putusan
MK mengabulkan permohonan dan menyatakan frasa ini bertentangan dengan UUD
1945 selama tidak disamakan sebagai putusan final dan mengikat dari lembaga
peradilan pada umumnya. Alasannya, DKPP adalah perangkat internal
penyelenggara pemilu sehingga sejajar dengan pejabat tata usaha negara yang
dapat digugat putusannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sekali
lagi, norma yang sudah diputuskan MK melalui Putusan MK Nomor 31/PUUXI/ 2013
muncul kembali sama persis di Pasal 437 ayat (2) RUU Pemilu sekarang ini.
Pengabaian putusan MK cara kedua adalah dengan tidak dimasukkan putusan MK ke
dalam RUU yang diserahkan ke DPR. Contohnya Putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2011
di mana calon penyelenggara pemilu harus berjarak lima tahun, tetapi Pasal 14
huruf I RUU Pemilu hanya menyebutkan mengundurkan diri saja tanpa minimal
jarak lima tahun.
Dengan
aturan ini, anggota partai politik dapat mundur seketika dan mendaftar
menjadi penyelenggara pemilu. Kerugian demokrasi yang akan terjadi adalah
terjadi degradasi kemandirian penyelenggara. Celah inkonstitusional ini
seolah memperlihatkan adanya upaya delegitimasi Mahkamah.
Padahal,
keberadaan MK di Indonesia seperti halnya di Austria atau negaranegara
federal di Amerika, kedudukan dan fungsinya di atas pembuat UU. Bahkan, MK di
Jerman menjadi kekuasaan keempat, setelah legislatif, yudikatif, dan
eksekutif. Ketaatan terhadap lembaga penguji konstitusi tidak berlaku untuk
negara yang menganut superioritas parlemen.
Di
negara penganut Supremacy of Parliament
maka prinsip yang ada adalah parliament
can do no wrong. Negara menolak kehadiran Mahkamah Konstitusi.
Prinsipnya, parlemen dianggap sebagai wakil dari kedaulatan rakyat sehingga
ia menjadi satu-satunya lembaga yang membentuk UU serta memutuskan sah atau
tidaknya UU. Untuk Indonesia, prinsip ini tidak berlaku.
RUU Pemilu dan Partai Baru
MK
bukanlah positive legislator. Ia hanya berwenang dan bertindak sebagai
negative legislator (penghapus atau pembatal norma). Putusan MK wajib
ditindaklanjuti oleh positive legislator yakni DPR dan pemerintah. Pengabaian
putusan MK adalah pengabaian terhadap konstitusi. Mahfud MD mensinyalir
pengabaian ini terjadi karena dua hal.
Pertama,
pemerintah dan DPR sebagai lembaga legislatif yang membentuk UU adalah
lembaga politik yang sangat mungkin membuat UU atas dasar kepentingan politik
mereka sendiri. Kedua, pemerintah dan DPR sebagai lembaga politik dalam
faktanya berisi orang-orang yang bukan ahli hukum atau kurang bisa berpikir
menurut logika hukum.
Hari
ini pembuat UU sebagai lembaga politik berusaha untuk tidak membuat UU atas
dasar kepentingannya sendiri. DPR RI menjalankan perintah UU untuk
mengakomodasi aspirasi masyarakat. Pasal 96 ayat 1 dan ayat 2 UU No 12 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan
bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan ataupun tulisan dalam
penyiapan atau pembahasan rancangan UU.
Oleh
karena itu, partai politik baru seperti Partai Perindo, Partai Solidaritas
Indonesia, Partai Berkarya, dan Partai Idaman diminta Pansus DPR RI untuk
memberikan masukan terkait RUU Pemilu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU). Parpol-Parpol baru memiliki kepentingan terhadap substansi RUU
Pemilu.
Di
samping itu, parpol baru adalah lembaga yang dapat terkena kerugian
konstitusional langsung ketika UU Penyelenggaraan Pemilu disahkan. Pasal 190
dan 192 RUU Pemilu mensyaratkan parpol baru harus bergabung dengan parpol
peserta pemilu pada pemilu periode sebelumnya untuk mencalonkan calon
presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Padahal,
MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pembatalan pasal tersebut menjadi dasar pemilu legislatif dan pilpres
serentak pada 2019. MK sudah menafsirkan bahwa pemilu serentak mengabaikan ambang
batas presiden.
Dengan
demikian, parpol baru ketika lolos verifikasi maka KPU punya hak dan
kesempatan yang sama dalam Pemilihan Presiden 2019 Keberadaan MK tidak di
berada di ruang hampa, tetapi di ranah politik riil. Putusan MK yang bersifat
final dan mengikat harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial yang
belum tentu sejalan dengan MK.
Padahal,
putusan MK tak perlu lembaga eksekusi. Sejak putusan MK diberitakan dalam
lembaran negara, putusan MK sudah menjadi UU. Pemerintah atau DPR ketika mengajukan
RUU Pemilu tentunya wajib mengakomodasi putusan MK tersebut. Partai-partai
baru juga memiliki asa terhadap RUU Pemilu.
Kesamaan
dan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Asa lainnya adalah berharap bahwa
DPR RI yang dilengkapi dengan ahli-ahli dapat menutup celah-celah
inkonstitusional yang rawan gugatan kembali di MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar