Pembangunan
Pulau-Pulau Kecil
Rokhmin Dahuri ;
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB
|
KORAN
SINDO, 08
Februari 2017
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau. Filipina
dengan jumlah pulau 7.100 menempati peringkat kedua terbesar di dunia
(Arroyo, 2012).
Pulau
kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (200.000
ha) beserta kesatuan ekosistemnya (UU Nomor 1/ 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Atas dasar definisi tersebut, sekitar
90% dari seluruh pulau milik Indonesia berupa pulau kecil.
Selain
lima pulau besar utama, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua;
pulau-pulau besar lainnya antara lain adalah Sabang, Simeleu, Nias, Mentawai,
Batam, Bintan, Natuna, Enggano, Bangka, Belitung, Madura, Bali, Lombok,
Sumbawa, Timor, Lembata, Rote, Buton, Ternate, Tidore, Buru, Seram, Waigeo,
dan Biak.
Sebelum
berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada September 1999,
pemerintah kurang peduli dengan pulau-pulau kecil. Namun, sejak adanya KKP,
khususnya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir,
Pulau-Pulau Kecil, dan Kelautan; dilakukanlah pendataan pulau-pulau kecil
yang meliputi luasnya, potensi pembangunan (sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan), kependudukan, kegiatan ekonomi yang ada, dan berbagai aspek
lainnya.
Sejak
tahun 2000 KKP menyusun naskah akademis RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau- Pulau Kecil. Karena melibatkan begitu banyak instansi, baru pada 2007
DPR akhirnya menyetujui UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 1/2014.
Dengan
anggaran terbatas KKP bekerja sama dengan Kementerian lain, lembaga
nonkementerian, dan pemerintah daerah. Kerja sama ini mulai membangun
infrastruktur dan fasilitas pembangunan serta menyusun dan
mengimplementasikan rencana pengelolaan pembangunan sejumlah pulau kecil.
KKP
juga sangat aktif mengajak investor nasional maupun internasional (asing)
untuk membangun, berinvestasi, dan melakukan usaha ekonomi di pulau-pulau
kecil secara produktif, inklusif, dan ramah lingkungan. Hasilnya, pada 2012
Pemerintah RI melalui KKP dan Kementerian Luar Negeri berhasil mendaftarkan
13.466 pulau berikut namanya ke PBB, tepatnya United Nations Group of Experts
on Geographic Names (UNGEGN), dan baru 2014 PBB mengesahkan seluruh pulau
yang didaftarkan oleh Indonesia tersebut.
Dengan
demikian, hingga kini jumlah pulau yang belum resmi memiliki nama sekitar
4.038 lagi. Selama 2017 ini pemerintah menargetkan untuk mendaftarkan 1.106
pulau lagi ke PBB. Akan tetapi, di balik kerja keras pemerintah untuk membangun
pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang lebih maju, sejahtera, nyaman, dan
aman, jujur saja harus dikatakan perkembangannya boleh dibilang sangat
lambat.
Betapa
tidak, sampai sekarang baru 6.000 pulau (34%) yang sudah berpenghuni, dan
dari tahun 2000 sampai sekarang baru 54 pulau kecil yang telah dikembangkan
oleh swasta yang sebagian besar untuk pariwisata bahari, dan sebagian kecil
untuk perkebunan, pertambangan, dan penampungan (storage) minyak bumi.
Dari
54 pulau itu, investor 33 pulau dari luar negeri, dan investor di 21 pulau
lainnya dari dalam negeri (nasional). Sebenarnya, ketika KKP mengeluarkan
kebijakan diizinkannya investor nasional maupun asing untuk berinvestasi dan
mengembangkan ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia pada medio 2001,
sejumlah investor dari Kuwait, Qatar, Jepang, dan Taiwan menyatakan minat.
Sayang,
saat itu beberapa LSM dan tokoh nasional menolak kebijakan tersebut.
Akibatnya, sejumlah investor asing dan nasional yang bonafide mengurungkan
minat investasinya. Rupanya reaksi sejumlah LSM dan tokoh nasional serupa
terkait optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang terjadi sekitar 16
tahun lalu sekarang terulang kembali ketika di awal tahun ini Menko Maritim
dan Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan rencana kebijakannya untuk
mengundang pihak asing berinvestasi di pulaupulau kecil Indonesia.
Urgensi Pembangunan Pulau
Kecil
Sedikitnya
ada empat alasan utama bagi bangsa Indonesia untuk segera mendayagunakan
pulau-pulau kecil. Pertama, dari sekitar 17.504 pulau yang kita miliki, baru
sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
pembangunan.
Itu
pun pola pembangunannya sebagian besar kurang produktif dan tidak mengikuti
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Hasilnya, hampir semua pulau kecil yang berpenghuni dan/atau sudah ada
kegiatan pembangunan (ekonomi) di sana tetap saja tidak maju. Kebanyakan
penduduknya hidup miskin dan kualitas lingkungan hidupnya buruk.
Umumnya
penduduk yang menghuni pulaupulau kecil dari Sabang sampai Merauke dan dari
Miangas sampai Rote adalah para lansia, anak-anak, dan kelompok usia kerja
yang kurang terdidik dan produktif. Orang-orang pintar dan berpendidikan
tinggi yang terlahir di pulau kecil seperti Prof Adrianus Moy, Prof Herman
Johanes, Prof Laode Kamaludin, Dr Yasona Laoly, dan Ir Saleh Husin kebanyakan
hijrah ke Jakarta atau Pulau Jawa.
Padahal,
potensi pembangunan (ekonomi) yang terdapat di pulau-pulau kecil luar biasa
besar. Kedua, dengan membangun pulau-pulau kecil secara produktif, inovatif,
inklusif, dan ramah lingkungan. Berarti kita mengembangkan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa dan tersebar secara proporsional di
seluruh wilayah NKRI. Jutaan lapangan kerja baru bakal tersedia dan
kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Bila kita mampu membangun rata-rata
100 pulau baru dalam satu tahun, pertumbuhan ekonomi nasional yang sejak 2015
hanya sekitar 5% per tahun diperkirakan bisa meningkat sampai 7% per tahun.
Dengan
demikian, masalah utama bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan
serta rendahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) bakal dapat
diatasi. Demikian juga halnya dengan masalah disparitas pembangunan
antarwilayah yang sangat timpang, khususnya Jawa vs luar Jawa secara otomatis
akan terkoreksi.
Sebab,
dengan tersebarnya pusatpusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di
pulau-pulau kecil diyakini bakal mengurangi laju urbanisasi dari luar Jawa ke
Jawa. Ketiga, dengan membangun pulau-pulau kecil, terutama 111 pulau terluar
(terdepan) secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan sebagai
pusat pertumbuhan dan kesejahteraan baru berarti kita membangun semacam sabuk
kemakmuran (prosperity belt).
Wilayah-wilayah
pulau-pulau kecil terdepan yang maju dan makmur secara otomatis akan menjadi
semacam sabuk pengaman (security belt) yang turut memperkokoh dan menegakkan
kedaulatan NKRI. Keempat, pemanfaatan pulau- pulau kecil oleh investor asing
maupun nasional, seperti untuk pariwisata, pertambangan, perkebunan,
perikanan, dan penampungan minyak bumi sejak masa Orde Baru sampai sebelum
adanya KKP hanya kecil sekali memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat
lokal.
Lebih
dari itu, acap kali menimbulkan kerusakan lingkungan, memarginalkan
masyarakat lokal, dan mengancam kedaulatan NKRI. Karena itu, kita harus
menempatkan kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI di atas segalanya dalam
proses pembangunan pulau-pulau kecil, terutama ketika melibatkan investor
asing.
Kita
harus berpedoman pada UU Nomor 27/ 2007 jo UU Nomor 1/2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dan peraturan
perundangundangan lainnya yang relevan di dalam membangun dan mengundang
investor ke pulau-pulau kecil.
Pedoman Pembangunan dan
Investasi
Tantangan
dalam membangun pulau-pulau kecil untuk kemajuan, kesejahteraan, dan
kedaulatan bangsa adalah bagaimana kita meramu dan mengimplementasikan paket
kebijakan supaya para investor (nasional atau asing) yang bonafide mau
menanamkan modalnya dan mengembangkan usaha ekonomi, dan pada saat yang sama
kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI pun bisa ditegakkan.
Kepentingan
nasional itu antara lain berupa manfaat ekonomi bagi negara dan rakyat,
kelestarian lingkungan, dan alih teknologi. Investor dan pengusaha itu sangat
penting dalam membangun ekonomi wilayah, termasuk pulau-pulau kecil.
Pasalnya, fungsi utama anggaran pemerintah (APBN/APBD) di seluruh negara di
dunia adalah untuk pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (kesehatan,
pendidikan, dan agama), peraturan dan perundang-undangan, dan kelembagaan.
Untuk
mengembangkan usaha ekonomi, menggerakkan bisnis, dan modal kerja (working
capital) di suatu wilayah atau negara adalah merupakan peran para investor,
pengusaha, dan entrepreneur. Bagi para investor, tentu mereka ingin
investasinya aman dan menghasilkan untung secara berkelanjutan. Sesuai dengan
UU Nomor 1/2014 di atas, kepentingan nasional, kedaulatan NKRI, dan
kepentingan investor, maka pembangunan dan investasi pulau-pulau kecil oleh
swasta nasional maupun asing seyogianya mengikuti pedoman (guidelines)
sebagai berikut.
Pertama,
baik swasta nasional maupun asing tidak boleh memiliki pulau, tetapi
diizinkan memiliki hak guna usaha (HGU) di pulau tersebut untuk jangka waktu
35 - 50 tahun, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan Pemerintah RI dengan
pihak investor. Sebaiknya investasi dan bisnis swasta (baik nasional maupun
asing) ditempatkan di pulau-pulau kecil yang tidak ada penduduknya.
Kedua,
sedikitnya 40 persen dari total luas daratan pulau harus dialokasikan untuk
kawasan lindung (protected area) seperti garis sempadan pantai (set back
zone), hutan lindung, dan ruang terbuka hijau. Luas daratan sisanya, maksimal
60% dari total luas daratan pulau, boleh dikembangkan untuk kawasan
pembangunan (usaha ekonomi), seperti pariwisata, properti dan bangunan,
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industri yang ramah
lingkungan.
Ketiga,
semua kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis di pulau-pulau kecil harus
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah disusun oleh pemerintah
daerah dan disetujui pemerintah pusat, didahului dengan studi analisis
mengenai dampak lingkungan (amdal),
building
code (bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tingginya pohon tertinggi yang
ada di pulau termaksud), menggunakan energi terbarukan (energi solar, angin,
arus laut, dan lainnya), usahakan tidak membuang limbah maupun emisi gas
rumah kaca dengan menerapkan teknologi 3 R (reduce, reuse, dan recycle), dan
mitigasi serta adaptasi terhadap bencana alam.
Keempat,
dalam memanfaatkan wilayah perairan sekitar pulau harus mengikuti prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan dan semua ketentuan peraturan perundangun
dangan RI yang relevan. Kelima, selain royalti dan pajak, pihak investor juga
harus menyimpan dana jaminan (deposit money) di kas negara selama masa HGU.
Besaran
dana jaminan per pulau di AS itu berkisar antara USD100 juta sampai USD1
miliar, bergantung pada luas pulau dan potensi pembangunan (ekonominya).
Bayangkan, bila kita mampu menarik investor untuk 100 pulau setiap tahun,
maka kita dapat dana segar antara USD10 miliar-100 miliar (Rp130 triliun-
1.300 triliun) per tahun. Keenam, tenaga kerja asing hanya boleh di
bidang-bidang yang belum mampu dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia, dan
jumlah tenaga kerja asing maksimal 10% dari total tenaga kerja yang dibutuhkan.
Gaji
atau upah karyawan harus yang bisa menyejahterakan diri dan keluarganya.
Ketujuh, untuk menjamin keamanan dan kedaulatan NKRI, Pemerintah RI bisa
menempatkan polisi dan/ atau tentara di pulau yang investornya dari luar
negeri. Kedelapan, harus ada alih teknologi dari pihak asing kepada tenaga
kerja Indonesia, dari swasta nasional kepada masyarakat lokal.
Kesembilan
, seperti di Mauritius, Maldives, AS, beberapa negara di Karibia dan Pasifik
Selatan yang berhasil mengelola pulau-pulau kecilnya bisa juga diterapkan
konsep One Island, One Company. Artinya perencanaan, investasi dan bisnis,
pemasaran, dan pengelolaan satu pulau diserahkan kepada satu perusahaan
dengan mengikuti kedelapan persyaratan di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar