Geliat
Anti globalisasi dalam Pemilu Eropa
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 08
Februari 2017
Tahun
2017 adalah tahun yang penting bagi Benua Eropa. Pasalnya, tahun ini akan ada
berbagai pemilihan umum yang akan menyoroti perseteruan antara politisi mapan
(political establishment) dan
politisi oportunis yang bergerak karena ketidakpuasan masyarakat.
Ada
pemilihan presiden dan parlemen di Prancis, Hungaria, Slovenia, dan Jerman;
pemilihan umum di Belanda, Norwegia, dan Republik Ceko; serta pemilu lokal di
Portugal dan Irlandia. Ada tiga negara yang penting untuk diperhatikan karena
akan memengaruhi arah perkembangan Eropa, yakni Jerman, Prancis, dan Belanda.
Prancis
menjadi penting karena negara tersebut adalah salah satu pemegang hak veto di
Dewan Keamanan (DK) PBB. Bayangkan apabila negara pemegang hak veto di DK PBB
dikuasai pemerintahan yang sangat kanan dan populis. Saat ini sudah terjadi
pada Amerika Serikat dan Inggris.
Jerman
dan Belanda juga penting bagi Uni Eropa karena perekonomian mereka yang
stabil dan besar di antara negara-negara anggota Eropa lain selain Inggris.
Pemilihan umum di Eropa tahun ini menjadi menarik dibandingkan periode
sebelumnya karena beberapa partai populis di negara-negara tersebut semakin
meningkat perolehan kursinya.
Brexit
dan Trump adalah fenomena yang telah menginspirasi partai kanan populis di
Eropa untuk bergerak maju, tetapi sekaligus bisa mengubur inspirasi itu
apabila belum ada dampak signifikan yang dihasilkan dari Brexit dan kebijakan
proteksionis Trump dalam jangka waktu dekat. Belanda adalah negara yang akan
mengadakan pemilu pada Maret.
Ipsos
Mori, sebuah lembaga survei di Belanda, melaporkan awal bulan ini bahwa Party
for Freedom (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders akan memenangkan kursi
legislatif apabila pemilu diadakan pada saat survei dilakukan. Pemilu di
Belanda akan membicarakan tema-tema tentang bagaimana mengurangi atau
berhenti menolong negaranegara EU yang melemahkan euro seperti Rumania,
Yunani, dan negara dengan perekonomian kecil lainnya.
Partai
ini mungkin partai yang secara terang dan terbuka menentang keberadaan muslim
di Eropa dan khususnya Belanda. Partainya telah membuat manifesto
deislamisasi Belanda denganbeberapausulnya, antara lain menutup pusat
peng-ungsian, menutup sekolah-sekolah muslim, menutup perbatasan dan melarang
seluruh migran dari negara berpendudukmuslim tanpa kecuali, dan seruan-seruan
provokasi lainnya.
Prancis
adalah negara yang akan mengadakan pemilihan presiden pada 23 April 2017, dan
akan dilanjutkan pada 7 Mei 2017 apabila tidak ada di antara para kandidat
yang menang satu putaran dalam pemilihan pertama. Presiden Prancis saat ini
François Hollande yang berasal dari Partai Sosialis sebenarnya masih punya
jatah untuk maju dalam periode ke-2.
Hak
ini terpaksa ia tangguhkan karena popularitasnya semakin menurun dengan
semakin tingginya kasus-kasus terorisme yang terjadi belakangan ini dan
dukungan Partai Sosialis atas kebijakan Uni Eropa yang mengizinkan pengungsi
untuk masuk. Benoit Hamon yang telah memenangkan nominasi dalam Partai
Sosialis akan menggantikan Hollande.
Kemungkinan
Prancis akan mengikuti jejak Inggris dan Amerika dalam menerapkan kebijakan
yang proteksionis dan antipendatang (baik pengungsi atau bukan) bisa menjadi
kenyataan. Survei yang dilakukan oleh Kantar Sofres tahun lalu mengumumkan
Marine Le Penn dari Front Nasional, partai yang Far-Right akan memenangkan
putaran pertama, namun ia akan dikalahkan oleh Francois Fillon dari Partai
Konservatif yang diprediksi akan memenangkan putaran kedua.
Emmanuel
Macron dari Partai Tengah juga berpeluang untuk memenangkan putaran kedua
apabila ia berhadapan dengan Fillon. Tema pokok yang menjadi materi kampanye
dan pertanyaan masyarakat di Prancis adalah apakah nilai-nilai sekuler
Prancis cocok dengan penduduk muslim di Prancis (Wall Street Journal,
16/11/2016). Marine Le Penn saat ini berada di atas angin Partai Konservatif
dan Liberal berkat kampanyenya untuk menolak pengungsi dan globalisasi.
Sebaliknya,
Partai Sosialis yang mendukung globalisasi dan pengungsi, semakin hari
semakin turun popularitasnya. Pertanyaannya kemudian apakah partai yang
berhaluan sosialis, konservatif, dan liberal akan bergerak ke tengah untuk
mengimbangi suara Le Penn atau tetap pada prinsipnya.
Angela
Merkel akan memasuki masa kepemimpinan ke- 4 sebagai kanselir Jerman apabila
ia tidak mengundurkan diri. Jerman tidak memiliki batas periode kepemimpinan
sebagai kanselir. Masyarakat Jerman masih mempercayai kepemimpinan Merkel.
Survei mengenai popularitas dan elektabilitasnya tetap tertinggi, walaupun
menurun dalam beberapa terakhir karena prinsipnya untuk tetap
menerimapengungsidari Timur Tengah.
Popularitasnya
saat ini telah sedikitnya menyelamatkan Jerman dari semakin menguatnya Partai
Alternatif untuk Jerman (Alternative for Germany) yang dipimpin oleh Frauke
Petry yang berhaluan populis kanan dan skeptis terhadap EU. Menurunnya
popularitas Merkel menguntungkan buat kompetitor terdekatnya, Partai Sosial
Demokrat yang dipimpin Martin Schulz.
German
broadcaster ARD mengungkapkan hasil polling-nya minggu lalu yang menempatkan
Schulz sebagai kandidat yang berpotensi menggantikan Merkel karena terus
secara konsisten mendapat tambahan suara. Apabila kecenderungan ini terus
berlanjut hingga pemilihan umum September nanti, posisi Schulz akan kuat.
Rangkaian
pemilihan umum baik presiden maupun parlemen akan menjadi ujian bagi
Masyarakat Uni Eropa apakah mereka dapat bertahan dalam menghadapi gelombang
politisi oportunis yang menunggangi ketidakpuasan massal masyarakat terhadap
struktur politik saat ini. EU dianggap sebagai lembaga supranasional yang
terlalu mengintervensi politik dalam negeri masing-masing negara anggota.
Sama
halnya dengan seruan yang dilontarkan oleh Trump, kelompok-kelompok
antikemapanan menuding globalisasi menjadi sumber dari ketimpangan di dalam
negeri. Nilai-nilai solidaritas yang menjadi dasar dari terbentuknya
Masyarakat Uni Eropa dipertanyakan karena dibenturkan dengan fenomena
menguatnya terorisme dan radikalisasi yang mengakibatkan beberapa negara rentan
dengan serangan aksi-aksi kejahatan teroris.
Perubahan
yang terjadi di Eropa dapat berdampak langsung dan tidak langsung terhadap
perekonomian kita. Perdagangan EU dan Indonesia saat ini masih berada di
bawah perdagangan regional ASEANEU dan belum ada perjanjian bilateral
langsung.
EU
selama ini mendorong dalam kampanye perdagangannya menginginkan sebuah kerja
sama yang saling menguntungkan dan bersama-sama menghilangkan efek negatif
dari globalisasi dengan cara memastikan keuntungan yang didapatkan oleh
negara-negara berkembang yang terlibat kerja sama dengan mereka.
Nilai-nilai
ini mungkin akan menjadi terkompromikan apabila EU cenderung untuk mendorong
proteksionisme untuk melindungi dampak negatif globalisasi bagi kepentingan
dalam negeri mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar