Kamis, 09 Februari 2017

Geliat Anti globalisasi dalam Pemilu Eropa

Geliat Anti globalisasi dalam Pemilu Eropa
Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                               KORAN SINDO, 08 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2017 adalah tahun yang penting bagi Benua Eropa. Pasalnya, tahun ini akan ada berbagai pemilihan umum yang akan menyoroti perseteruan antara politisi mapan (political establishment) dan politisi oportunis yang bergerak karena ketidakpuasan masyarakat.

Ada pemilihan presiden dan parlemen di Prancis, Hungaria, Slovenia, dan Jerman; pemilihan umum di Belanda, Norwegia, dan Republik Ceko; serta pemilu lokal di Portugal dan Irlandia. Ada tiga negara yang penting untuk diperhatikan karena akan memengaruhi arah perkembangan Eropa, yakni Jerman, Prancis, dan Belanda.

Prancis menjadi penting karena negara tersebut adalah salah satu pemegang hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB. Bayangkan apabila negara pemegang hak veto di DK PBB dikuasai pemerintahan yang sangat kanan dan populis. Saat ini sudah terjadi pada Amerika Serikat dan Inggris.

Jerman dan Belanda juga penting bagi Uni Eropa karena perekonomian mereka yang stabil dan besar di antara negara-negara anggota Eropa lain selain Inggris. Pemilihan umum di Eropa tahun ini menjadi menarik dibandingkan periode sebelumnya karena beberapa partai populis di negara-negara tersebut semakin meningkat perolehan kursinya.

Brexit dan Trump adalah fenomena yang telah menginspirasi partai kanan populis di Eropa untuk bergerak maju, tetapi sekaligus bisa mengubur inspirasi itu apabila belum ada dampak signifikan yang dihasilkan dari Brexit dan kebijakan proteksionis Trump dalam jangka waktu dekat. Belanda adalah negara yang akan mengadakan pemilu pada Maret.

Ipsos Mori, sebuah lembaga survei di Belanda, melaporkan awal bulan ini bahwa Party for Freedom (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders akan memenangkan kursi legislatif apabila pemilu diadakan pada saat survei dilakukan. Pemilu di Belanda akan membicarakan tema-tema tentang bagaimana mengurangi atau berhenti menolong negaranegara EU yang melemahkan euro seperti Rumania, Yunani, dan negara dengan perekonomian kecil lainnya.

Partai ini mungkin partai yang secara terang dan terbuka menentang keberadaan muslim di Eropa dan khususnya Belanda. Partainya telah membuat manifesto deislamisasi Belanda denganbeberapausulnya, antara lain menutup pusat peng-ungsian, menutup sekolah-sekolah muslim, menutup perbatasan dan melarang seluruh migran dari negara berpendudukmuslim tanpa kecuali, dan seruan-seruan provokasi lainnya.

Prancis adalah negara yang akan mengadakan pemilihan presiden pada 23 April 2017, dan akan dilanjutkan pada 7 Mei 2017 apabila tidak ada di antara para kandidat yang menang satu putaran dalam pemilihan pertama. Presiden Prancis saat ini François Hollande yang berasal dari Partai Sosialis sebenarnya masih punya jatah untuk maju dalam periode ke-2.

Hak ini terpaksa ia tangguhkan karena popularitasnya semakin menurun dengan semakin tingginya kasus-kasus terorisme yang terjadi belakangan ini dan dukungan Partai Sosialis atas kebijakan Uni Eropa yang mengizinkan pengungsi untuk masuk. Benoit Hamon yang telah memenangkan nominasi dalam Partai Sosialis akan menggantikan Hollande.

Kemungkinan Prancis akan mengikuti jejak Inggris dan Amerika dalam menerapkan kebijakan yang proteksionis dan antipendatang (baik pengungsi atau bukan) bisa menjadi kenyataan. Survei yang dilakukan oleh Kantar Sofres tahun lalu mengumumkan Marine Le Penn dari Front Nasional, partai yang Far-Right akan memenangkan putaran pertama, namun ia akan dikalahkan oleh Francois Fillon dari Partai Konservatif yang diprediksi akan memenangkan putaran kedua.

Emmanuel Macron dari Partai Tengah juga berpeluang untuk memenangkan putaran kedua apabila ia berhadapan dengan Fillon. Tema pokok yang menjadi materi kampanye dan pertanyaan masyarakat di Prancis adalah apakah nilai-nilai sekuler Prancis cocok dengan penduduk muslim di Prancis (Wall Street Journal, 16/11/2016). Marine Le Penn saat ini berada di atas angin Partai Konservatif dan Liberal berkat kampanyenya untuk menolak pengungsi dan globalisasi.

Sebaliknya, Partai Sosialis yang mendukung globalisasi dan pengungsi, semakin hari semakin turun popularitasnya. Pertanyaannya kemudian apakah partai yang berhaluan sosialis, konservatif, dan liberal akan bergerak ke tengah untuk mengimbangi suara Le Penn atau tetap pada prinsipnya.

Angela Merkel akan memasuki masa kepemimpinan ke- 4 sebagai kanselir Jerman apabila ia tidak mengundurkan diri. Jerman tidak memiliki batas periode kepemimpinan sebagai kanselir. Masyarakat Jerman masih mempercayai kepemimpinan Merkel. Survei mengenai popularitas dan elektabilitasnya tetap tertinggi, walaupun menurun dalam beberapa terakhir karena prinsipnya untuk tetap menerimapengungsidari Timur Tengah.

Popularitasnya saat ini telah sedikitnya menyelamatkan Jerman dari semakin menguatnya Partai Alternatif untuk Jerman (Alternative for Germany) yang dipimpin oleh Frauke Petry yang berhaluan populis kanan dan skeptis terhadap EU. Menurunnya popularitas Merkel menguntungkan buat kompetitor terdekatnya, Partai Sosial Demokrat yang dipimpin Martin Schulz.

German broadcaster ARD mengungkapkan hasil polling-nya minggu lalu yang menempatkan Schulz sebagai kandidat yang berpotensi menggantikan Merkel karena terus secara konsisten mendapat tambahan suara. Apabila kecenderungan ini terus berlanjut hingga pemilihan umum September nanti, posisi Schulz akan kuat.

Rangkaian pemilihan umum baik presiden maupun parlemen akan menjadi ujian bagi Masyarakat Uni Eropa apakah mereka dapat bertahan dalam menghadapi gelombang politisi oportunis yang menunggangi ketidakpuasan massal masyarakat terhadap struktur politik saat ini. EU dianggap sebagai lembaga supranasional yang terlalu mengintervensi politik dalam negeri masing-masing negara anggota.

Sama halnya dengan seruan yang dilontarkan oleh Trump, kelompok-kelompok antikemapanan menuding globalisasi menjadi sumber dari ketimpangan di dalam negeri. Nilai-nilai solidaritas yang menjadi dasar dari terbentuknya Masyarakat Uni Eropa dipertanyakan karena dibenturkan dengan fenomena menguatnya terorisme dan radikalisasi yang mengakibatkan beberapa negara rentan dengan serangan aksi-aksi kejahatan teroris.

Perubahan yang terjadi di Eropa dapat berdampak langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian kita. Perdagangan EU dan Indonesia saat ini masih berada di bawah perdagangan regional ASEANEU dan belum ada perjanjian bilateral langsung.

EU selama ini mendorong dalam kampanye perdagangannya menginginkan sebuah kerja sama yang saling menguntungkan dan bersama-sama menghilangkan efek negatif dari globalisasi dengan cara memastikan keuntungan yang didapatkan oleh negara-negara berkembang yang terlibat kerja sama dengan mereka.

Nilai-nilai ini mungkin akan menjadi terkompromikan apabila EU cenderung untuk mendorong proteksionisme untuk melindungi dampak negatif globalisasi bagi kepentingan dalam negeri mereka sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar