Pustakawan
dan Masyarakat Melek Digital
Dyah Safitri ; Dosen Manajemen Informasi dan Dokumen,
Program Pendidikan Vokasi, UI
|
KOMPAS, 10 Februari 2017
Saat
ini kita berada pada suatu era di mana informasi mengalir tanpa henti,
melewati batas negara, multi-layar, dan dapati diakses oleh semua orang. Ketika
masyarakat tidak siap dengan kemajuan itu, ekses negatif pun merebak. Kompas
(6/2/2017) mencatat bagaimana reproduksi informasi melalui peranti digital
dapat memicu konflik sosial di sejumlah tempat di Indonesia. Gara-garanya,
banyak masyarakat yang sekadar membagi tautan dan konten ke akun media sosial
tanpa mengecek kebenaran informasi yang disebarkannya.
Kondisi
tersebut menguak kembali kondisi literasi di Tanah Air yang masih memprihatinkan.
Melek digital (digital literacy) yang selalu dihubungkan dengan kemampuan
masyarakat membaca dan mengevaluasi informasi yang mereka peroleh.
Ketika
informasi tersebut benar dan bermanfaat mereka akan sukarela menyebarkan
melalui peranti digital. Kondisi melek digital juga kerap dihubungkan dengan
kemampuan literasi lain, yaitu melek media, melek internet, melek informasi,
dan melek media sosial. Dengan definisi seperti di atas, maka mewujudkan
masyarakat yang melek digital bukan upaya semudah membalik telapak tangan.
Apalagi, di awal tahun lalu saja sebuah universitas di Amerika Serikat
melakukan survei tentang literasi dan meletakkan Indonesia di posisi 61 dari
62 negara yang disurvei. Hanya satu
strip di atas salah satu negara Afrika, Botswana. Padahal, literasi selalu
dihubungkan dengan ekonomi berbasis pengetahuan sebagai tumpuan pertumbuhan
ekonomi masa depan.
Indikator
yang diukur adalah investasi negara pada pendidikan, jumlah buku di
perpustakaan, jumlah komputer di rumah tangga, hingga konsumsi masyarakat
pada surat kabar.
Seolah
berhadapan dengan tembok tebal, bagaimana kita dapat membangun masyarakat
melek digital di tengah kondisi literasi yang tidak mendukung seperti itu?
Tentu, tanggung jawab ini bukan hanya menjadi beban pemerintah, melainkan
juga masyarakat.
Upaya
sosialisasi terus-menerus tentang melek digital perlu dilakukan secara
berkala. Pada saat yang sama, upaya membangun kesadaran itu juga dilakukan
dengan menggarap segmen anak usia sekolah. Segmen anak usia sekolah menjadi
penting karena pada generasi milenial inilah perangkat teknologi baru
sekalipun langsung gampang diadaptasi. Generasi ini juga kerap dilabeli
sebagai generasi multi-layar karena hidup mereka berlangsung dari tatapan
layar yang bergonta-ganti dari televisi, ponsel cerdas, komputer, hingga
konsol permainan. Ketika kesadaran melek digital dibangun dari usia dini,
maka antisipasi terhadap dampak negatif perkembangan digital dapat terbangun
dari fondasinya.
Pustakawan berperan?
Melek
digital memang menjadi salah satu topik menonjol dalam perbincangan di dunia
ilmu informasi. Melek digital dan melek informasi kerap dihubungkan dengan
pembicaraan mengenai banjir informasi, pembelajaran sepanjang masa, manajemen
pengetahuan, dan tumbuhnya masyarakat informasi. McIntosh (2016) menyebut era
ini sebagai tantangan besar bagi pustakawan karena mereka tak hanya bertugas
menemukan, mengevaluasi, dan menyebarkan informasi. Mereka juga dituntut
untuk dapat terus bersanding dengan melek digital dan melek informasi.
Berbagai
upaya pemerintah untuk membangun literasi pada usia sekolah, seperti gerakan
15 menit membaca sebelum pelajaran, memang memberikan dampak positif. Namun,
langkah itu belum cukup. Sebab, di luar waktu itu, anak-anak juga akan tetap
berhubungan dengan peranti digital, entah itu melalui komputer dengan akses
internet atau ponsel cerdas. Kemungkinan akan terpapar informasi bohong,
tidak benar, hasutan, ataupun ujaran kebencian juga masih tinggi.
Pustakawan
sekolah atau guru pustakawan sebaiknya memberikan makna dengan lebih
menekankan kepada siswa bagaimana budaya melek digital dapat diterapkan
dengan mudah dan sederhana. Pustakawan harus menekankan kepada siswa untuk
tidak asal mengunyah informasi berbasis teks, gambar, dan video karena
informasi memang mudah diakses, tetapi pada saat yang sama punya potensi
negatif yang juga besar. Lalu, biasakan siswa untuk tetap kritis dan skeptis
menghadapi serbuan informasi. Sikap ini sangat penting karena siswa akan
mencari perimbangan informasi, melakukan cek dan cek ulang, serta dapat
melakukan swa-evaluasi apakah perlu menyebar informasi yang kebenarannya
dipertanyakan. Siswa juga dapat berperan aktif mencegah informasi tidak benar
beredar di tengah masyarakat setidaknya mulai dari anggota keluarganya.
Bisa dibangun
Dalam
konteks yang lebih luas, budaya melek digital dapat juga dibangun di tengah
masyarakat. Sebagai profesional informasi, pustakawan berada di garda
depan dalam membangun melek digital.
Pustakawan dapat menjadi jembatan pertukaran pengetahuan dari yang sudah
melek digital ataupun yang belum.
Masyarakat
dengan level melek digital yang bervariasi juga harus dapat difasilitasi oleh
pustakawan sehingga mereka dapat saling berbagi dan membangun program
kolaboratif. Setiap orang yang memiliki potensi dapat saling belajar dan
mengajar sehingga melek digital dapat diperkuat melalui komunitas masyarakat.
Perpustakaan
umum ataupun perpustakaan komunitas dapat melakukan penguatan dalam melek
digital karena digitalisasi memang membutuhkan budaya baru berupa keterbukaan,
kemanfaatan, inklusif, dan merasakan pengalaman menggunakan kemajuan
teknologi informasi.
Artinya,
ketika kita berhasil membangun kesadaran melek digital pada level siswa ataupun masyarakat, dampak
negatif berupa informasi bohong, hasutan, atau ujaran kebencian di multimedia
sekalipun dapat ditekan. Kita boleh berharap informasi negatif seperti itu
tak akan mendapat tempat suatu saat nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar