Bagaimana
Mencermati Survei Politik?
Ilham Khoiri ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 10 Februari 2017
Litbang
Kompas baru saja merilis survei tentang Pilkada DKI Jakarta, Kamis (9/2).
Reaksi publik terhadap hasil penelitian itu beragam, terutama seperti terbaca
di media sosial. Semua itu mengulik soal lama, bagaimana sebaiknya kita
mencermati survei perilaku pemilih?
Hasil
survei 26 Januari-3 Februari 2017 itu memperlihatkan dinamika elektabilitas
tiga pasangan calon gubernur (cagub)-calon wakil gubernur (cawagub) Pilkada
DKI Jakarta. Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni meraih dukungan 28,2
persen responden, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 36,2 persen,
dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno 28,5 persen. Sebanyak 7,1 persen responden belum
menentukan pilihan.
Atas
hasil itu, para pengguna internet (netizen) langsung melontarkan beragam
cuitan di Twitter. Pagi-pagi, aktivis politik Fadjroel Rachman, lewat akun
@fadjroeL, mengunggah grafis hasil survei tersebut disertai komentar,
"Survei Litbang @hariankompas makin menarik pertarungan
#PilkadaDKI2017."
Tak
berselang lama, pegiat media sosial, Wicaksono, mengunggah hal serupa pada
akun @ndorokakung. Ia mencatat, "Harap santai membaca hasil survei ini,
sebab bagiku surveiku, bagimu surveimu. Yekan?"
Kicauan
itu disambar kicauan lain. Sejumlah akun lantas menuntut penjelasan. Kenapa
elektabilitas pasangan cagub-cawagub itu naik, sementara pasangan ini turun?
Ada juga yang langsung main tuduh ini-itu.
Akun
@hariankompas menjelaskan metodologi survei ilmiah. Perbincangan topik itu
terus bermunculan. Agak siangan, sekitar pukul 10.00, jumlah obrolan
meningkat sehingga tagar #surveikompas dan Litbang Kompas sempat menjadi
salah satu topik tren (trending topics) di ranah Twitter Indonesia.
Sejak 1999
Sejak
kapan kita mengenal survei politik? Menurut Saiful Mujani, pendiri Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC), survei perilaku pemilih pertama kali
dilakukan The Asia Foundation dan International Foundation for Electoral
Systems (IFES) jelang Pemilu 1999. Ilmuwan dalam negeri lantas ambil alih
jelang Pilpres 2004.
Survei
adalah cara memperkirakan dan menjelaskan pilihan warga atas calon berbasis
sampel ilmiah. Survei mengungkap, kenapa calon dipilih atau tidak dipilih,
juga faktor penguat atau pelemah calon. Data ini penting untuk strategi kerja
calon dan timnya. Publik juga mendapat informasi berharga.
Namun,
saat kompetisi politik kian ketat, lembaga survei rentan dimanfaatkan untuk
merilis penelitian sesuai pesanan. Alih-alih memberikan informasi benar,
hasil survei jenis ini bisa menyesatkan.
Ingat
saja polemik hitung cepat pada Pilpres 2014. Tujuh lembaga mencatat
kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, tetapi empat lembaga
mengunggulkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Rekapitulasi Komisi Pemilihan
Umum (KPU) menunjukkan, Jokowi-Kalla memenangi pemilu.
Lantas,
bagaimana publik membedakan mana survei serius, mana yang asal-asalan?
"Lihat rekam jejak lembaga itu, kompetensi personelnya, lalu desain
pertanyaan serta metode pengumpulan dan pengolahan datanya. Kuncinya,
kredibilitas," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.
Harus kritis
Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini
berharap masyarakat jangan menerima bulat-bulat hasil survei. Kita harus
kritis, mengecek metodologi, dan aktor-aktor di balik survei. Koordinator
Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz
mendesak KPU serius melaksanakan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2015 yang
mengatur lembaga survei harus melaporkan metodologi, pendanaan, dan cara
mereka melakukan survei.
Komisioner
KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menuturkan, lembaga survei memang harus
mendaftar ke KPU di daerah kerjanya. Berdasarkan data KPU DKI Jakarta per 2
Februari 2017, misalnya, ada 32 lembaga yang mendaftar. Mereka mesti memenuhi
banyak syarat: independen, berbadan hukum, terang metodologinya, punya sumber
dana, dan berstruktur organisasi jelas.
Litbang
Kompas, yang juga mendaftar ke KPU DKI Jakarta dan telah menggelar dua kali
survei terkait pilkada di Ibu Kota, berupaya menjaga kredibilitas survei
dengan hati-hati memilih responden. Responden survei pertama (Desember 2016)
dan survei kedua diupayakan orang sama sehingga bisa memberikan gambaran
kesinambungan.
Manajer
Penelitian Litbang Kompas Ignatius Kristanto menjelaskan, akurasi survei
dijaga dengan mengecek data secara silang dan berlapis. Sebanyak 804
responden dalam survei kedua ini dipastikan benar diwawancarai petugas
lapangan. "Kompas tak terafiliasi dengan partai politik atau calon-calon
tertentu. Pendanaan survei ataupun hitung cepat dari internal Kompas,"
kata Kristanto.
Pada
Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama, selisih hitung cepat Litbang Kompas
dengan hasil KPU DKI Jakarta terpaut rata-rata 0,14 persen. Pada Pilpres
2014, selisih hitung cepat Litbang Kompas dengan hitungan resmi KPU terpaut
0,8 persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar