Ambang
Batas dalam Pemilu
Moh Mahfud MD ; Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah
Konstitusi Periode 2008-2013
|
KOMPAS, 10 Februari 2017
Apakah
rencana sebagian partai politik di DPR untuk memberlakukan sistem
proporsional tertutup dalam pemilihan umum legislatif tidak melawan putusan
Mahkamah Konstitusi? Apakah keinginan parpol-parpol untuk memberlakukan
threshold (ambang masuk, ambang batas) dalam pemilihan umum presiden dan wakil
presiden juga tidak bertentangan dengan putusan MK? Bukankah putusan MK
bersifat final dan mengikat?
Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang sering kita dengar terkait pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang kini
sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertanyaan-pertanyaan
itu wajar muncul karena dua hal. Pertama, berdasarkan Putusan MK Nomor
22-23/PUU-VI/2008, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 dan 2014 diberlakukan
sistem proporsional terbuka atau keterpilihan anggota legislatif berdasarkan
urutan suara terbanyak. Kedua,
berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
pada Pemilu 2019, pileg dan pemilu presiden dan wakil presiden
(pilpres) harus dilaksanakan secara serentak. Artinya, dilaksanakan pada hari
yang sama sehingga tidak diperlukan adanya threshold.
Pilihan terbuka
Sebenarnya,
jika dibaca secara cermat, putusan-putusan MK tersebut sama sekali tidak
menentukan apakah pemilu legislatif itu harus menggunakan sistem proporsional
terbuka atau tertutup. Begitu juga MK tidak menentukan apakah Pilpres 2019
harus memakai atau tidak memakai threshold. Menurut putusan MK, kedua hal
tersebut merupakan opened legal policy atau pilihan politik hukum yang
terbuka. Artinya, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU (legislatif) bebas untuk menentukan sendiri sebagai hak
legislasi.
Ketika
memutus berlakunya pemilu dengan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2009
melalui putusan No 22-23/PUU-VI/2008, sebenarnya bukan MK yang memberlakukan
sistem tersebut. Pada waktu itu yang memberlakukan adalah DPR dan pemerintah
sendiri melalui ketentuan Pasal 5 UU
Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pemilu legislatif
"dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka" Adapun MK hanya
mencoret prasyarat ambang batas yang dianggap tidak adil.
Pada
waktu itu UU No 10/2008 melalui Pasal 214, pada pokoknya, menentukan bahwa
anggota legislatif terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak secara
berurutan dari antara para calon anggota legislatif (caleg) yang meraih suara
"sekurang-kurangnya 30 persen" dari bilangan pemilih pembagi (BPP)
di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Jika
tidak ada yang mencapai lebih dari 30 persen atau ada lebih dari satu calon
yang mendapat lebih dari 30 persen dari BPP, keterpilihan anggota legislatif
ditentukan berdasarkan nomor urut dari yang terkecil. MK mencoret syarat 30
persen tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip "adil"
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Sungguh
tidak adil jika si Suparman yang hanya mendapat 350 suara menjadi anggota
legislatif terpilih karena dia berada di nomor urut pertama dan menyingkirkan
si Suparmin yang mendapat suara 70.000 yang berada di nomor urut ke-4 hanya karena jumlah 70.000 tersebut tidak mencapai 30
persen dari BPP yang, misalnya, sebesar 215.000 suara. Oleh sebab itu, MK
membatalkan syarat 30 persen tersebut tanpa membatalkan sistem pemilu yang
telah ditetapkan sendiri oleh lembaga legislatif.
Bagi
MK, sistem pemilu yang ditetapkan oleh lembaga legislatif-apakah sistem
proporsional atau sistem distrik-adalah konstitusional sepanjang tidak
dimanipulasi dengan syarat-sayarat yang tidak fair. Jadi, seumpama pun
lembaga legislatif menetapkan sistem proporsional tertutup tidaklah
bertentangan dengan konstitusi kita. MK tidak punya hak untuk membatalkan
pilihan sistem yang bersifat opened legal policy tersebut karena keduanya, di
mana pun di dunia, tak pernah dianggap inkonstitusional.
Pemilu serentak
Hal
yang sama berlaku pada putusan MK yang mewajibkan agar Pemilu (legislatif)
dan Pilpres 2019 dilakukan secara serentak. Dalam putusannya itu MK tidak
menentukan apakah pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus disertai dengan presidental threshold
atau tidak. MK hanya memutuskan Pemilu dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan
secara serentak (pada hari yang sama) sesuai dengan maksud yang sesungguhnya
(original intent) para pembentuk UUD. Meskipun begitu, penafsiran yang lebih
tepat dari original intent ini adalah tidak adanya presidental threshold sesuai
dengan perdebatan dan simulasi tentang adanya kotak-kotak suara ketika
pembentuk UUD memperdebatkan pasal-pasal tentang pemilihan umum.
Asumsi
utamanya jika pemilu (legislatif) dan pilpres dilaksanakan serentak, tentu
jumlah kursi di DPR atau dukungan suara yang dimiliki oleh parpol-parpol
peserta pemilu belum ada yang bisa dipergunakan untuk menentukan threshold.
Sebab, pemilu untuk merebut kursi DPR atau meraih dukungan tersebut masih
akan berlangsung. Akan tetapi, di dalam Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 ditentukan
juga bahwa: "Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan undang-undang".
Melalui
ketentuan inilah kemudian ada yang berpendirian pembentuk UU bisa menentukan
threshold berdasarkan hasil pemilu sebelumnya sebagai sayarat pengajuan
calon. Perolehan kursi pada pemilu sebelumnya dianggap sebagai bukti adanya
kepercayaan rakyat bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Pilihan yang lebih aman
Jadi,
putusan MK tentang sistem pemilu legislatif dan threshold dalam pilpres
merupakan pilihan politik hukum terbuka. Artinya, diserahkan kepada lembaga
legislatif untuk menetapkannya. Dalam
posisi yang seperti itulah di tengah-tengah masyarakat muncul pandangan yang
diklaim lebih obyektif dalam arti didiskusikan oleh pihak yang netral dari
kepentingan dan kelompok-kelompok politik yang kemudian menunjuk pilihan yang
dianggap lebih baik.
Hasil
kajian Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN), misalnya, menyimpulkan bahwa sistem proporsional terbuka dalam
pemilu legislatif dianggap lebih demokratis dan tidak mengecoh pemilih dan
para calon anggota legislatif itu sendiri. Sementara mengenai pilpres,
asosiasi tersebut lebih mendorong ditiadakannya threshold. Pengaturan pilpres
tanpa threshold di dalam UU Penyelenggaraan Pemilu, selain dinilai lebih
sesuai dengan original intent rumusan Pasal 6A Ayat (1) dan Ayat (2) UUD
1945, juga dipastikan lebih aman dari gugatan atau upaya penguji materi
(judicial review) ke Mahkamah Konstitusi oleh partai-partai peserta
pemilu.
Partai-partai
baru dan kecil akan langsung menerima isi UU tersebut karena merasa hak-hak
konstitusionalnya tidak dirampas. Sementara partai-partai besar juga tidak
akan mengajukan uji materi karena telah ikut membahas dan memutuskan isi UU
tersebut. Meskipun begitu, keputusan
pilihan politik hukumnya tetap terletak di tangan lembaga legislatif yang
kini sedang membahas RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum tersebut di
DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar