Proyek
Gagal Paham
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 09
Februari 2017
Setiap
kali bepergian melalui bandara, kolega saya yang asal Minang sering melempar
jokes tentang gagal paham. Orang Minang, katanya, kalau berada di bandara
jalannya cepat-cepat. Mengapa? Sebab di bandara ada tulisan “baggage“. Anda
tahu, bagageh dalam bahasa Minang artinya bergegas. Jadi baginya itu petunjuk
agar ia mesti jalan cepat-cepat. Baggage tentu tidak sama dengan bagageh.
Tapi sebagai obrolan persahabatan, kepleset sedikit jadi ceria.
Anda
tahu, gagal paham berbeda dengan salah paham. Salah paham, menurut versi
online dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artinya salah dan keliru
dalam memahami pembicaraan, pernyataan, sikap orang lain (dan ini biasanya
menimbulkan reaksi bagi yang bersangkutan).
Kalau
gagal paham? Sayang KBBI belum membuat definisinya. Mungkin karena ini
kosakata yang tergolong baru. Tapi simpelnya begini. Kalau salah paham,
meluruskannya biasanya tidak begitu sulit. Kalau gagal paham, terkadang
meluruskannya sulit bukan main. Bukannya apa, ini menyangkut soal rasa dan logika.
Soal makna.
Gagal
paham ada yang dari tingkatan sederhana sampai yang serius. Kalau yang
sederhana, contohnya kasus salah ketik (typo error) ketika membalas pesan SMS
atau BlackBerry Messenger (masih ada lho yang pakai aplikasi ini), WhatsApp
atau Line. Saya punya banyak contohnya, tetapi tak usahlah dipaparkan di
sini. Hanya, catatan saya, meski hanya salah ketik, dampaknya bisa sangat
serius. Bayangkan kalau itu terjadi antara Anda dengan atasan atau dengan
mitra bisnis. Order yang sudah disepakati mungkin bisa batal.
Kalau
yang serius, misalnya, mereka yang gagal paham karena menganggap informasi
atau pengetahuan yang dimilikinya sudah benar.
Di
luar itu mereka anggap salah. Kasus gagal paham semacam ini sedang nge-tren
sekarang. Bahkan sampai saling tuding dan lapor ke polisi. Kita yang
mengikuti beritanya mulanya senyum-senyum, lalu jengkel, dan akhirnya dibuat
lelah. Menghabiskan energi. Masalah yang simpel sengaja diputar-putar dan
dibuat rumit.
Banyak Kasus
Di
negara kita ada banyak sekali kasus gagal paham. Saya mulai dengan yang
paling sepele. Pernah dengar heboh om telolet om? Sampai sekarang saya gagal
paham mengapa fenomena tersebut bisa mewabah di negara kita. Lalu yang
membuat saya kembali gagal paham adalah wacana untuk menertibkan klakson truk
yang telolet tadi. Untung akhirnya rencana itu batal.
Kasus
lain adalah soal naiknya biaya administrasi untuk SIM, STNK, dan BPKB yang
diumumkan menjelang tutup tahun 2016. Kenaikannya bisa mencapai dua atau tiga
kali lipat. Masyarakat kita yang gagal paham menganggap pajak kendaraan yang
harus mereka bayar bakal meningkat menjadi dua hingga tiga kali lipat. Jadi
kalau semula pajak kendaraannya, katakanlah, Rp500.000, setelah tanggal 6
Januari 2017 menjadi Rp1 juta atau bahkan lebih. Maka tak mengherankan kalau
menjelang tanggal tersebut, masyarakat kita berbondong-bondong menyerbu
kantor-kantor Samsat. Mereka ingin memanfaatkan peluang sebelum pajak
kendaraan bermotornya naik hingga dua kali lipat. Antrean pun mengular.
Berjam-jam waktu terbuang. Banyak kantor Samsat yang terpaksa buka hingga
malam hari. Padahal kenyataannya bukan begitu. Bukan pajak kendaraannya yang
naik, tapi hanya biaya administrasinya. Misalnya kalau semula Rp50.000
menjadi Rp100.000. Jadi sebetulnya hanya naik Rp50.000. Layakkah untuk
kenaikan sebesar itu kita harus antre seharian?
Kasus
gagal paham lainnya soal isu kebangkitan PKI. Saya sampai sekarang tidak
paham, mengapa masih ada orang yang menganggap isu ini relevan bagi kita.
Saya yang gagal paham atau mungkin kelompok ini yang gagal paham terhadap
perubahan kondisi geopolitik dunia atau sengaja membuat rakyat ini gagal
paham. Padahal yang membuat cerita paham-paham saja. Sebab di negara asalnya
sana, seperti di Uni Soviet dan Eropa Timur, komunisme sudah bangkrut karena
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Di
China memang ada partai komunis, tapi penerapan ideologinya sudah jauh
berbeda. Rakyat di sana kini lebih bebas berekspresi bila dibandingkan dengan
masa lalu—meski mungkin belum sebebas di negara kita (yang oleh sebagian
orang malah dianggap sudah kebablasan). Lalu China juga sudah membuka diri
terhadap masuknya pihak lain, termasuk investor asing. Dengan kebijakan
semacam itu, China kini menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di
dunia setelah Amerika Serikat.
Mungkin
satu-satunya negara yang masih menerapkan paham komunisme secara kaku adalah
Korea Utara.
Isu
gagal paham juga menimpa pejabat tertentu yang mengurus daging sapi dan
cabai. Kendati sudah melakukan berbagai upaya, kenyataannya harga dua
komoditas tersebut sampai sekarang memang masih tinggi.
Masyarakat
kita juga dianggap gagal paham dalam memahami fenomena tenaga kerja asing
(TKA), khususnya asal China. Mereka menelan begitu saja info bahwa jumlah TKA
China di Indonesia mencapai 10 juta. Bagaimana bisa? Belasan ribu sih
mungkin, tapi jutaan?
Pebisnis
kita juga kerap gagal paham ketika berhadapan dengan pemerintah daerah.
Contohnya di Palembang ada bioskop kelas premium. Jumlah penontonnya
terbatas. Di bioskop itu penonton bisa nonton film sambil rebahan. Sofanya
enak, dilengkapi bantal dan selimut. Setelah sekian lama beroperasi, bioskop
tersebut digerebek oleh wakil wali Kota Palembang dan petugas Satpol PP.
Alasannya, dengan konsep seperti itu, bioskop tersebut berpotensi untuk jadi
tempat mesum. Maka, untuk mencegah, Pemkot Palembang kemudian menyegel
bioskop tersebut dan memintanya mengubah konsep. Kalau Anda jadi pemilik
bioskop tentu pusing tujuh keliling. Mengapa dulu izinnya disetujui, sekarang
malah dilarang?
Generasi Gagal Paham
Mengapa
begitu banyak kasus gagal paham di negara kita? Ada banyak penjelasan. Namun
saya ingin melihatnya dari perspektif pendidik. Pertama, ini dampak dari
proses pendidikan kita yang mencetak generasi penghafal, bukan menalar.
Anak-anak kita dididik untuk mengejar nilai, bukan memahami. Kita dan
anak-anak kita dijejali tentang apa itu Bhinneka Tunggal Ika, tetapi bukan
diajak mengalaminya secara langsung.
Kedua,
kita dididik dengan budaya instan. Budaya mencari jalan pintas. Kita
dibesarkan dalam budaya lisan, bukan tulisan. Maka kita jadi tak terbiasa
membaca dan mencoba untuk secara kritis memahaminya.
Banyak
berita yang hanya kita baca judulnya, bukan isinya. Maka jadilah kita
generasi yang kerap gagal paham. Kita belum paham isinya, tetapi langsung
bereaksi. Kita tak mengerti maknanya, tetapi langsung mengikutinya.
Gagal
paham membuat situasi gampang memanas, membuat sekelompok orang ketiban
rezeki. Ya mereka yang menawarkan aneka proyek untuk menggagalkan
undang-undang, keputusan, bahkan untuk mengurangi popularitas seseorang dalam
ajang pilkada, merusak reputasinya, bahkan memenjarakannya. Ini sudah jadi
rahasia umum dan lihatlah, mereka seakan jadi pengangguran bermobil Hammer,
Jeep, dan sejenisnya. Tinggal dibungkus-bungkus seakan orang baik. Mereka
ahli memelintir karena khalayak mudah dibuat gagal paham. Semua itu kian
memuncak dalam kontestasi politik. Anda tahu, nature kompetisi memang begitu.
Ketegangan meningkat, tensi meninggi. Tapi kalau mau hidup damai hendaknya
kita jangan larut di dalamnya. Kalau tidak, kita jadi ikut-ikutan gagal
paham.
Maka,
menjelang hari pencoblosan, dengan suasana yang serbariuh dengan saling
tuding gagal paham, kita jadikan momen ini untuk membuat kita menjadi lebih
cerdas. Jangan lagi termakan oleh janji-janji atau pidato para elite. Apalagi
yang cuma jago membuat janji.
Ya,
mungkin mereka gagal paham terhadap maunya kita. Kita mau program yang
menjawab permasalahan, dikasih janji. Kita mau pemimpin yang banyak bekerja,
di sana malah ngomong melulu. Kita maunya pilkada damai, di sana malah
membuat rusuh. Jadi, menjelang pencoblosan, ayo kita pilih pemimpin yang
benar. Jangan pilih pemimpin yang gagal paham! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar