Bersikap
Adil pada Rizieq dan Ahok
Iding Rosyidin ; Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 09
Februari 2017
Pilkada
DKI Jakarta yang akan diselenggarakan pada 15 Februari 2017 agaknya tidak
pernah sepi dari berita-berita panas yang menyertainya.
Kompetisi
politik antara tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta, Agus
Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-DJarot
Saepul Hidayat, dan Anies Rasyid Baswedan- Sandiaga Uno, menghadirkan aroma
panas. Yang menarik, aroma panas tersebut bukan hanya terkait dengan para
calon, tetapi juga dengan tokoh-tokoh lain.
Kini
ada dua tokoh yang sekarang sedang ramai diperbincangkan publik jelang
gelaran pilkada, yaitu Habib Rizieq dan Ahok. Keduanya kini menjadi pusat
perhatian, bukan hanya publik Jakarta, atau Indonesia, melainkan juga publik
dunia. Rizieq kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jabar atas
dugaan penistaan terhadap dasar negara Pancasila. Sementara Ahok sudah lebih
dahulu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama terkait
pidatonya di Kepulauan Seribu, bahkan kini sudah menjalani proses hukum di pengadilan.
Boleh Benci, asal Adil
Namun,
ada satu hal yang sangat memprihatinkan terkait sikap publik terhadap Rizieq
dan Ahok, yakni kebencian yang mendalam sehingga mereka mengabaikan nalar
sehat. Kelompok anti-Ahok misalnya menyimpan kebencian yang sangat kuat
terhadap gubernur Jakarta nonaktif tersebut sehingga apa pun yang terucap
dari mulutnya, dan yang terlihat dari tindak tanduknya, dipandang sebagai
sesuatu yang buruk atau salah. Sejumlah prestasi Ahok selama memimpin Ibu
kota pun, bagi kelompok ini, sama sekali tidak berarti.
Demikian
pula sebaliknya. Kelompok anti-Rizieq yang boleh dikatakan merupakan para
pendukung Ahok melakukan hal yang sama kepada Rizieq. Segala yang terpancar
dari Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut dianggap sebagai sesuatu
yang tidak berguna, bahkan membahayakan dan berpotensi memecah belah bangsa
Indonesia.
Torehan-torehan
Rizieq dan FPI yang oleh sebagian kalangan dianggap positif, bagi kelompok
yang anti ini, dipandang sebagai sesuatu yang tidak berharga sama sekali.
Belakangan serangan-serangan terhadap Rizieq kian tak terkendali. Sesuatu
yang masih belum jelas kebenarannya atau setidaknya masih dalam proses
penyelidikan dijadikan amunisi serangan oleh kalangan anti-Rizieq. Beredar
luas chat-nya di media-media sosial bersama seorang perempuan yang mengandung
pornografi, bahkan ada yang disertai video rekaman. Penyebaran itu dilakukan
secara gencar yang tentu bisa digunakan untuk menyerang Rizieq.
Hal
yang sama juga kerap dilakukan kelompok anti-Ahok. Berbagai hoax yang
disebarkan di media-media sosial terkait Ahok luar biasa kejam. Gambar-gambar
editan yang dikaitkan dengan Ahok, misalnya kepalanya diganti dengan hewan
tertentu, tidak terhitung jumlahnya. Serangan-serangan tak beretika semacam
ini, baik terhadap Rizieq maupun Ahok, menunjukkan bahwa kita bersikap
semena-mena terhadap orang lain, terutama yang dibenci. Dalam perspektif
agama (Islam), kebencian, meskipun sudah sangat mendalam, tidak boleh
dijadikan landasan untuk bersikap tidak adil.
Tuhan
menegaskan bahwa sekali pun kita sangat benci pada sebuah sekelompok atau
seseorang, tetapi itu tidak boleh membuat kita bersikap tidak adil kepada
mereka (al-Maal-Maidah: 8). Dalam sejumlahkitab tafsir disebutkan, meski kita
berada di medan perang di mana kita menganggap musuh sebagai kelompok yang
sangat dibenci, kita tetap diminta bersikap adil.
Antara
lain dengan cara menghormati musuh misalnya memberi kesempatan untuk bersiap,
menghentikan serangan saat musuh menyerah, dan sebagainya. Demikianlah yang seharusnya
dilakukan, baik terhadap Rizieq maupunAhok. Orang boleh benci kepada Rizieq
dan Ahok karena rasa benci itu sifat manusiawi.
Tidak
ada seorang pun di dunia ini yang terlepas dari perasaan benci. Meski
demikian, mereka tetap harus bersikap adil kepada keduanya. Adil terhadap
keduanya itu misalnya dengan cara memberikan keduanya hak-hak yang mesti
diterima: dihormati, diberi kesempatan untuk membela diri, tidak dilontarkan
fitnah kepada keduanya, dan sebagainya.
Dalam
konteks yang lebih luas, bersikap adil terhadap Rizieq dan Ahok bisa
dilakukan antara lain dengan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Mencoba melakukan intervensi misalnya dengan menggalang massa atau menggiring
opini publik terhadap proses hukum tidaklah adil, apalagi sampai
mengungkapkan kalimat-kalimat yang mengandung ancaman bila proses hukum tidak
sesuai dengan keinginannya.
Keras versus Keras
Apa
yang tersajikan di panggung politik Pikada DKI hari ini sesungguhnya
merupakan sebuah tontonan yang tidak edukatif. Ada pertunjukan kekerasan di
sana, bahkan kekerasan yang dibalas pula dengan kekerasan. Saling melaporkan,
saling mengejek, saling memfitnah, dan sebagainya kini seolah telah menjelma
menjadi menu harian.
Padahal,
selama kekerasan dibalas dengan kekerasan, hasil akhirnya tidak akan pernah
memuaskan. Ibarat cerita silat klasik yang selalu menyajikan tragedi saling
balas dendam yang kerapkali menjadi ruh cerita. Ketika seorang tokoh
terbunuh, dengan cara apa pun terbunuhnya, pasti keluarganya akan membalas
dendam. Saat mereka berhasil membunuh pelakunya, keluarga pelakunya juga
menuntut balas.
Demikian
seterusnya, saling dendam seolah menjadi mata rantai yang tidak bisa putus.
Permusuhan pun berlangsung abadi. Itulah yang terjadi jika kekerasan selalu
dibalas oleh kekerasan. Karena itu, para pendukung dua belah pihak, baik
Rizieq maupun Ahok, sebaiknya berusaha menahan diri untuk tidak terjebak
dalam labirin balas dendam yang tiada akhir.
Sebuah
pepatah dalam bahasa Inggris mengatakan, two wrongs don’t make a right, kalau
keras dibalas dengan keras, tidak akan ada solusi. Bahkan mungkin saja yang
akan terjadi adalah kekacauan (chaos). Sebagai anak bangsa tentu kita
berharap bahwa kecenderungan tersebut tidak terjadi di Indonesia.
Apalagi
politik (dukung-mendukung calon) sebenarnya adalah persoalan
duniawi-temporer. Suatu saat orangyangsekarangkitadukung habis-habisan atau
mati-matian mungkin suatu saat menjadi orang yang paling kita benci. Hal itu
bisa saja terjadi karena misalnya ia tidak konsisten dengan janjinya.
Dengan
demikian, sudah saatnya bagi kita semua untuk mengakhiri sikap kebencian yang
berlebihan terhadap siapa pun, baik terhadap Rizieq maupun Ahok. Jika pun
tidak bisa melepaskan kebencian itu, setidaknya kita bisa berlaku adil kepada
mereka berdua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar