Potensi
Perubahan Konfigurasi Dukungan
Yohan Wahyu ; Litbang Kompas
|
KOMPAS, 10 Februari 2017
Meski
kecenderungan loyalitas pilihan terhadap tiga pasangan calon gubernur dan
wakil gubernur DKI Jakarta semakin menguat, masih terbuka celah yang
memungkinkan perubahan konfigurasi dukungan. Penguasaan pemilih yang masih
bimbang dan yang belum menentukan pilihan menjadi kunci keberhasilan bagi
pasangan calon di Pilkada DKI.
Hasil
survei Litbang Kompas menunjukkan, dalam dua bulan terakhir, sikap responden
terhadap para kandidat menunjukkan perubahan drastis. Survei terbaru, awal
Februari 2017, elektabilitas pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni
28,2 persen responden atau turun 8,9 persen dibandingkan dengan survei pada
Desember 2016. Sementara itu, jika pada survei Desember 2016 tingkat
elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 33
persen, kali ini menjadi 36,2 persen. Peningkatan elektabilitas yang
signifikan dialami pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dari 19,5 persen
menjadi 28,5 persen.
Dalam
survei ini juga terungkap bahwa pemilih yang sebelumnya masih belum
menentukan pilihan kali ini cenderung semakin yakin dalam menentukan siapa
calon pilihannya. Sebanyak 92,9 persen responden pemilih sudah menentukan
siapa yang akan dipilih. Dengan demikian, tersisa 7,1 persen responden
pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters).
Namun,
semakin kecilnya proporsi responden pemilih yang belum menentukan pilihan
tidak berarti menutup peluang perubahan bagi setiap calon. Pasalnya, dari
kelompok pemilih yang sudah menentukan pilihan, jika dibedah lebih lanjut,
terdapat dua kategori, yakni pemilih yang sudah kuat dan mantap pilihannya
(strong voters) dan pemilih yang masih berpeluang berubah pilihan atau dalam
kondisi mengambang (swing voters). Dari angka elektabilitas ketiga pasangan
calon, semuanya menyimpan potensi pemilih mengambang. Kategori pemilih
mengambang yang bisa berubah atau bisa tetap dengan pilihannya ini akan
menambah barisan pemilih yang sejak awal belum menentukan pilihannya.
Karakter
Dengan
menggabungkan kategori pemilih yang mengambang dan belum menentukan
pilihannya, didapat 28,7 persen pemilih. Di tengah adanya kristalisasi
dukungan dan pilihan inilah, penguasaan terhadap kelompok pemilih mengambang
dan belum menentukan pilihan menjadi kunci perubahan konfigurasi di hari-hari
terakhir menjelang pencoblosan.
Pertanyaannya,
siapa dan bagaimana karakteristik para pemilih yang mengambang dan belum
memilih pilihan tersebut? Keseluruhan kategori pemilih itu umumnya berasal
dari kelompok pemilih sosial ekonomi menengah atas dan berpendidikan tinggi
yang dihadapkan pada pergulatan pilihan: apakah lebih mengutamakan aspek
rasional atau aspek emosional dan sosiologis.
Jika
ditelusuri lebih lanjut, dari kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan
(7,1 persen pemilih), mayoritas berasal dari kelompok pemilih dengan latar
belakang sosial ekonomi menengah ke atas, berpendidikan tinggi, dan mengaku
pendukung PDI-P, Demokrat, Golkar, Gerindra, dan beberapa partai lain.
Kelompok ini antusias mengikuti isu-isu pilkada dan 42,1 persen di antaranya
mengikuti dan menonton penuh acara dua kali debat publik yang digelar KPU DKI
Jakarta.
Kelompok
itu cenderung akan menentukan pilihan hingga mendekati hari pencoblosan. Bagi
ketiga pasangan calon, kelompok ini menjadi peluang meningkatkan proporsi
dukungan.
Potensi
perebutan juga bisa berasal dari limpahan dukungan pemilih setiap pasangan
calon. Inilah pemilih mengambang yang berpotensi berubah pilihan atau setidaknya
masih ragu dengan pilihannya. Kategori pemilih ini ada di ketiga pasangan
calon. Pemilih mengambang dari pemilih pasangan Agus-Sylvi lebih banyak dari
kelas menengah atas dan sebagian besar mengaku sebagai pemilih PDI-P dan
Demokrat.
Hal
yang sama juga terjadi pada pemilih mengambang pasangan Basuki-Djarot dan
Anies-Sandi. Pada Basuki-Djarot, pemilih mengambang juga lebih banyak dari
kelas atas, berpendidikan atas, dan lebih banyak berlatar belakang pemilih
PDI-P.
Kelompok
pemilih mengambang pada pasangan Anies-Sandi juga berasal dari kelompok
menengah atas meskipun kelompok pemilih menengah-bawahnya relatif lebih
banyak dibandingkan dengan dua pasangan lain. Latar belakang pendidikan dari
pendidikan tinggi dan lebih banyak berlatar belakang pemilih Partai Gerindra,
salah satu partai pengusung utama pasangan ini.
Lima
hari tersisa menjelang pencoblosan, pertarungan ketiga pasangan calon akan
berada pada perebutan suara dari pemilih yang belum menentukan pilihan dan
saling merebut suara dari pemilih setiap pasangan calon yang mengambang. Jika
melihat karakteristik pemilih ini yang banyak dari kelas menengah atas,
pasangan Basuki-Djarot dan Anies-Sandi lebih berpeluang mencuri perhatian
kelompok ini. Namun, pasangan Agus-Sylvi yang banyak didukung kelas bawah
juga tetap berpeluang mendapat limpahan suara.
Sementara
dari kelompok pemilih mengambang dari setiap calon, pertarungan sengit
berpotensi terjadi antara pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Kedua pasangan
ini punya tingkat kerentanan perubahan pilihan lebih tinggi dibandingkan
dengan pemilih dari Basuki-Djarot. Tingkat loyalitas pemilih sudah mantap dan
tidak akan berubah dari Basuki-Djarot mencapai 85 persen. Sementara
Agus-Sylvi (62 persen) dan Anies-Sandi (77 persen).
Tentu
dengan karakter pemilih yang berpendidikan tinggi dan kelas sosial atas, akan
lebih memperhatikan isu-isu yang berkembang di sekitar perhelatan pilkada.
Debat publik terakhir Pilkada DKI Jakarta pada malam ini akan menjadi media
pertarungan setiap calon untuk merebut simpati kelompok pemilih mengambang
dan belum menentukan pilihan. Ibarat sirkuit, inilah lap terakhir yang harus
dilalui ketiga pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar