Rabu, 08 Februari 2017

Politik Kemungkinan

Politik Kemungkinan
Asep Salahudin ;  Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jabar
                                                     KOMPAS, 08 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperti digambarkanJohn D Caputo, manusia adalah open-endedness, selalu berada dalam banyak kemungkinan. Bergerak dari satu kemungkinan menuju kemungkinan lain, bahkan tidak menutup kemungkinan yang dianggap mustahil pun bisa menjadi kenyataan.

Sering kali apa yang kita cari tidak ditemukan dan yang tidak dicari malah menghampiri di luar prediksi. Yang diburu habis-habisan kian menjauhi, dan tatkala diam sediam-diamnya, apa yang kita kejar dengan sendirinya datang tak terduga.

Manusia tidak sepenuhnya baik, juga tidak selamanya menggambarkan konsep diri yang jahat. Pada praktiknya bandul kebaikan, sebagaimana keburukan, saling menggeser bahkan sering kali bertukar tempat tanpa terlebih dahulu permisi atau dipersilakan. Ada banyak pengalaman konkret yang menggambarkan orang yang semula baik-baik, tetapi ketika menjadi pejabat berubah wujud menjadi korup sekorup-korupnya, atau sebaliknya setelah turun dari kursi beralih peran menjadi resi.

Manusia berdiri dalam kutub tarik-menarik antara menjadi malaikat dan godaan jatuh menjadi setan.Antara langit agung kudus ketuhanan dan terperosok dalam limbo negatif kebinatangan. Yang ilahi dan yang hewani menjadi bagian yang melekat dalam tubuh sekaligus jiwa manusia. Epos penyaliban Nabi Isaatau hikayat miraj Nabi Muhammad adalah sebagian dari penggalan riwayat kenabian yang berupaya memberikan ruang bagi hadirnya ”jiwa” spiritual dan lepasnya ”tubuh” kedagingan.

Saya kira karya sastra bikinan Attar, penyair abad ke-12, Musyawarah Burung, masih relevan direnungkan dan berhasil membuat sebuah alegori tentang pertempuran tak kenal henti antara tarik-menarik ini. Kemungkinan mencapai gunung Qaf, tempat di mana Raja Burung yang bernama Simugh bersinggasana dan tak sedikit juga satwayang terjerembap di jalan menyimpang karena tak mampu mengendalikan nafsunya, terperangkap dalam gelap, terperosok pesona kekuasaan dan godaan kebendaan, dan tak paham arah jalan keluar.

Maka, pada titik ini kehadiran agama dan etika menjadi dipandang penting, minimal keduanya hadir sebagai interupsi moral ketika seseorang terpelanting dalam kekhilafan.Kelahiran agama selalu dimulai dari kondisi kebatinan manusia yang ambigu, moralitas banal, dan situasi politik yang penuh kepura-puraan.

Pertobatan dan permaafan menjadi pintu agar manusia kembali menemukan optimisme dan kediriannya yang telah tercemar. Istigasah dan upacara ritus lainnya yang boleh dihadiri siapa pun juga—tanpa melihat iman, apalagi asal-usul ormasnya—adalah ekspresi kedaifan manusia dan harapan datangnya kebaikan dari Tuhan.

Pluralitas

Walaupun lahir dengan banyak kemungkinan, tetapi satu hal yang semestinya tetap disadari adalah kenyataan bahwa jati diri manusia senantiasa dirumuskan oleh kehadiran yang lain. Bagaimana memosisikan yang ”lain” (liyan) itu? Jawaban dari pertanyaan ontologis inilah yang sejatinya dapat menyelamatkan ruang bersama dan atau mencelakakan semuanya. Sengketa dan pertemanan berawal dari pertanyaan ini.

Kemungkinan selamat ketika pertemuan dengan ”liyan” dipandang sebagai perjumpaan eksistensial, bukan artifisial. Bahwa orang lain bukan sekadar hadir sebagai ornamen pelengkap penderitayang tanpa makna, tetapi justru kehadirannya adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi kita.

Pendasaran diri (dan bangsa) bukan karena identitas etnik, agama, atau budaya, melainkan semata-mata karena kesamaan dan kesetaraan kita sebagai manusia. Ada bersama yang lain bukan sesuatu yang bersifat kesementaraan dan aksidental, melainkan sebuah panggilan abadi yang menjadi keniscayaan.

Dalam idiom Sumpah Pemuda yang digelorakan pada 1928, ruang kebersamaan itu bernama satu tanah air, yakni ”Indonesia”. Kita membutuhkan kebersamaan dalam keindonesiaan agar kita bisa masuk dalam kedirian yang paling dalam.

Pluralitas bukan harus diingkari atau diseragamkan, apalagi ditertibkan dengan jalan kekerasan, tetapi sebagai sebuah panggilan ilahi untuk bersama-sama mewujudkan keadilan dan kebaikan bersama. Maka, sikap toleran menjadi prasyarat mutlak yang semestinya dimiliki setiap kita. Toleran sebagai sikap mental dan etika kebaikan dalam rangka mewujudkan perserikatan yang otentik, perkauman yang solid, dan kebinekaan yang dinamis dan produktif. Toleran sebagai sikap melucuti watak-watak merasa benar dan menang sendiri. Bahkan, Ricoeur menahbiskan toleransi sebagai keutamaan spiritual, tangga menuju sikap juhud (asketis). Sebab, dengan toleransi seseorang tengah berupaya mengekang dirinya dari godaan merasa benar sendiri, sok kuasa, dan pengekangan hasrat mendesakkan keinginannya kepada yang lain.

Sebagaimana intoleransi sebagai bentuk penyangkalan fakta keragaman, ia harus ditampik karena tiga alasan. Pertama, menjadi lahan subur bagi tersemainya sikap curigadan kebencian. Kedua, menjadi sumbu pendek bagi mencuatnya gelaran konflik. Ketiga, dapat merugikan semua pihak. Intoleransi ketika menjadi kekerasan, maka hanya akan melahirkan situasi ”yang kalah jadi abu dan yang menang jadi arang”.

Kebinekaan

Maka, menjadi tepat kalauyang jadi semboyan bangsa kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Walau beragam, tetapi satu tujuan, satu visi, dan satu kebangsaan dan kemanusiaan. Kebinekaan menjadi halaman muka yang memberikan gambaran kepada dunia luar dan dunia dalam betapa kayanya kita sebagai bangsa. Betapa bangsa yang diproklamasikan kaum pergerakan pada 1945 sesungguhnya ditancapkan di atas hamparan keragaman.

Dalam kebinekaan tersembul sebuah cita-cita bangsa yang luhur bahwa kita harus melepaskan diri dari ikatan-ikatan pra-politik (diskriminatif, partisan, eksklusif) menuju politik (terbuka, demokratis, rasional, inklusif, non-diskriminatif, setara, dan akuntabel). Kebinekaan mengandung sekaligus memberikan sebuah makna tersembunyi tentang keharusan mengembangkan etos musyawarah dan mufakat, menjunjung hikmah kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan.

Kebinekaan yang membawa imperatif moralnya

 berupakewajibanmengembangkan sikap moderasi bukan saja di ruang politik dan budaya, melainkan juga dalam penghayatan keagamaan. Suatu bentuk moderasi yang dapat menjadipertahanan bangsa sehingga kita tak jatuh dalam kutub ekstrem, baik ”kiri” (komunisme) ataupun ”kanan” (islamisme), menjadi obligasi moral yang kuat sehingga kitatidak terjebak dalam tarikan kaum puritan yang selalu melihat persoalan secara hitam-putih dengan fantasi metafisiknya yang sering kali bersifat ahistoris dan tertutup.

Sayang, Indonesia yang telah berdiri kokoh diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa harus tercabik-cabik karena urusan pemilihan kepala daerah yang bersifat sementara. Kita hari ini seharusnya malu dengan kaum pergerakan yang membebaskan Nusantara dari sekapan kaum kolonial dengan kepala yang lapang, terbuka, dan penuh cinta kasih, tiba-tibapetakeindonesiaan harus robek dengan sentimen partisan etnik-keagamaan yang dangkal. Kita harus tetap mengupayakan kemungkinan Indonesiayang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar