Politik
Kemungkinan
Asep Salahudin ; Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM
Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jabar
|
KOMPAS, 08 Februari 2017
Seperti
digambarkanJohn D Caputo, manusia adalah open-endedness,
selalu berada dalam banyak kemungkinan. Bergerak dari satu kemungkinan menuju
kemungkinan lain, bahkan tidak menutup kemungkinan yang dianggap mustahil pun
bisa menjadi kenyataan.
Sering
kali apa yang kita cari tidak ditemukan dan yang tidak dicari malah
menghampiri di luar prediksi. Yang diburu habis-habisan kian menjauhi, dan
tatkala diam sediam-diamnya, apa yang kita kejar dengan sendirinya datang tak
terduga.
Manusia
tidak sepenuhnya baik, juga tidak selamanya menggambarkan konsep diri yang
jahat. Pada praktiknya bandul kebaikan, sebagaimana keburukan, saling
menggeser bahkan sering kali bertukar tempat tanpa terlebih dahulu permisi
atau dipersilakan. Ada banyak pengalaman konkret yang menggambarkan orang
yang semula baik-baik, tetapi ketika menjadi pejabat berubah wujud menjadi
korup sekorup-korupnya, atau sebaliknya setelah turun dari kursi beralih
peran menjadi resi.
Manusia
berdiri dalam kutub tarik-menarik antara menjadi malaikat dan godaan jatuh
menjadi setan.Antara langit agung kudus ketuhanan dan terperosok dalam limbo
negatif kebinatangan. Yang ilahi dan yang hewani menjadi bagian yang melekat
dalam tubuh sekaligus jiwa manusia. Epos penyaliban Nabi Isaatau hikayat
miraj Nabi Muhammad adalah sebagian dari penggalan riwayat kenabian yang
berupaya memberikan ruang bagi hadirnya ”jiwa” spiritual dan lepasnya ”tubuh”
kedagingan.
Saya
kira karya sastra bikinan Attar, penyair abad ke-12, Musyawarah Burung, masih
relevan direnungkan dan berhasil membuat sebuah alegori tentang pertempuran
tak kenal henti antara tarik-menarik ini. Kemungkinan mencapai gunung Qaf,
tempat di mana Raja Burung yang bernama Simugh bersinggasana dan tak sedikit
juga satwayang terjerembap di jalan menyimpang karena tak mampu mengendalikan
nafsunya, terperangkap dalam gelap, terperosok pesona kekuasaan dan godaan
kebendaan, dan tak paham arah jalan keluar.
Maka,
pada titik ini kehadiran agama dan etika menjadi dipandang penting, minimal
keduanya hadir sebagai interupsi moral ketika seseorang terpelanting dalam
kekhilafan.Kelahiran agama selalu dimulai dari kondisi kebatinan manusia yang
ambigu, moralitas banal, dan situasi politik yang penuh kepura-puraan.
Pertobatan
dan permaafan menjadi pintu agar manusia kembali menemukan optimisme dan
kediriannya yang telah tercemar. Istigasah dan upacara ritus lainnya yang
boleh dihadiri siapa pun juga—tanpa melihat iman, apalagi asal-usul
ormasnya—adalah ekspresi kedaifan manusia dan harapan datangnya kebaikan dari
Tuhan.
Pluralitas
Walaupun
lahir dengan banyak kemungkinan, tetapi satu hal yang semestinya tetap disadari
adalah kenyataan bahwa jati diri manusia senantiasa dirumuskan oleh kehadiran
yang lain. Bagaimana memosisikan yang ”lain” (liyan) itu? Jawaban dari
pertanyaan ontologis inilah yang sejatinya dapat menyelamatkan ruang bersama
dan atau mencelakakan semuanya. Sengketa dan pertemanan berawal dari
pertanyaan ini.
Kemungkinan
selamat ketika pertemuan dengan ”liyan” dipandang sebagai perjumpaan
eksistensial, bukan artifisial. Bahwa orang lain bukan sekadar hadir sebagai
ornamen pelengkap penderitayang tanpa makna, tetapi justru kehadirannya
adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi kita.
Pendasaran
diri (dan bangsa) bukan karena identitas etnik, agama, atau budaya, melainkan
semata-mata karena kesamaan dan kesetaraan kita sebagai manusia. Ada bersama
yang lain bukan sesuatu yang bersifat kesementaraan dan aksidental, melainkan
sebuah panggilan abadi yang menjadi keniscayaan.
Dalam
idiom Sumpah Pemuda yang digelorakan pada 1928, ruang kebersamaan itu bernama
satu tanah air, yakni ”Indonesia”. Kita membutuhkan kebersamaan dalam
keindonesiaan agar kita bisa masuk dalam kedirian yang paling dalam.
Pluralitas
bukan harus diingkari atau diseragamkan, apalagi ditertibkan dengan jalan
kekerasan, tetapi sebagai sebuah panggilan ilahi untuk bersama-sama
mewujudkan keadilan dan kebaikan bersama. Maka, sikap toleran menjadi
prasyarat mutlak yang semestinya dimiliki setiap kita. Toleran sebagai sikap
mental dan etika kebaikan dalam rangka mewujudkan perserikatan yang otentik,
perkauman yang solid, dan kebinekaan yang dinamis dan produktif. Toleran
sebagai sikap melucuti watak-watak merasa benar dan menang sendiri. Bahkan,
Ricoeur menahbiskan toleransi sebagai keutamaan spiritual, tangga menuju
sikap juhud (asketis). Sebab, dengan toleransi seseorang tengah berupaya
mengekang dirinya dari godaan merasa benar sendiri, sok kuasa, dan
pengekangan hasrat mendesakkan keinginannya kepada yang lain.
Sebagaimana
intoleransi sebagai bentuk penyangkalan fakta keragaman, ia harus ditampik
karena tiga alasan. Pertama, menjadi lahan subur bagi tersemainya sikap
curigadan kebencian. Kedua, menjadi sumbu pendek bagi mencuatnya gelaran
konflik. Ketiga, dapat merugikan semua pihak. Intoleransi ketika menjadi
kekerasan, maka hanya akan melahirkan situasi ”yang kalah jadi abu dan yang
menang jadi arang”.
Kebinekaan
Maka,
menjadi tepat kalauyang jadi semboyan bangsa kita adalah Bhinneka Tunggal
Ika. Walau beragam, tetapi satu tujuan, satu visi, dan satu kebangsaan dan
kemanusiaan. Kebinekaan menjadi halaman muka yang memberikan gambaran kepada
dunia luar dan dunia dalam betapa kayanya kita sebagai bangsa. Betapa bangsa
yang diproklamasikan kaum pergerakan pada 1945 sesungguhnya ditancapkan di
atas hamparan keragaman.
Dalam
kebinekaan tersembul sebuah cita-cita bangsa yang luhur bahwa kita harus
melepaskan diri dari ikatan-ikatan pra-politik (diskriminatif, partisan,
eksklusif) menuju politik (terbuka, demokratis, rasional, inklusif,
non-diskriminatif, setara, dan akuntabel). Kebinekaan mengandung sekaligus
memberikan sebuah makna tersembunyi tentang keharusan mengembangkan etos
musyawarah dan mufakat, menjunjung hikmah kebijaksanaan dalam permusyaratan
perwakilan.
Kebinekaan yang membawa
imperatif moralnya
berupakewajibanmengembangkan sikap moderasi
bukan saja di ruang politik dan budaya, melainkan juga dalam penghayatan
keagamaan. Suatu bentuk moderasi yang dapat menjadipertahanan bangsa sehingga
kita tak jatuh dalam kutub ekstrem, baik ”kiri” (komunisme) ataupun ”kanan”
(islamisme), menjadi obligasi moral yang kuat sehingga kitatidak terjebak
dalam tarikan kaum puritan yang selalu melihat persoalan secara hitam-putih
dengan fantasi metafisiknya yang sering kali bersifat ahistoris dan tertutup.
Sayang,
Indonesia yang telah berdiri kokoh diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa harus
tercabik-cabik karena urusan pemilihan kepala daerah yang bersifat sementara.
Kita hari ini seharusnya malu dengan kaum pergerakan yang membebaskan
Nusantara dari sekapan kaum kolonial dengan kepala yang lapang, terbuka, dan
penuh cinta kasih, tiba-tibapetakeindonesiaan harus robek dengan sentimen
partisan etnik-keagamaan yang dangkal. Kita harus tetap mengupayakan
kemungkinan Indonesiayang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar