Rabu, 08 Februari 2017

Dinasti Politik dan Banalitas Korupsi

Dinasti Politik dan Banalitas Korupsi
Achmad Maulani ;  Wakil Sekretaris Lakpesdam
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); Peneliti Senior pada Lembaga Analisa Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik (Lanskap Indonesia)
                                                     KOMPAS, 08 Februari 2017

Artikel ini sudah dimuat di tempo.co pada tanggal 6 Februari 2017
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

Hampir tak ada teladan baik dalam pengelolaan daerah yang dipimpin oleh dinasti politik. Nyaris yang disuguhkan selalu banalitas korupsi dan pengkhianatan atas mandat kekuasaan. Kasus mutakhir adalah penangkapan Bupati Klaten oleh KPK atas dugaan jual-beli jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten.

Karena potensi penyelewengan kekuasaan begitu besar pada hubungan kekerabatan dalam jabatan publik, regulasi yang mengatur soal pengelolaan daerah berdasar kekerabatan pun sempat muncul. Namun, usulan itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atas nama hak asas manusia.

Kasus penangkapan Bupati Klaten atas dugaan jual-beli jabatan sekali lagi menegaskan banalitas korupsi oleh penguasa daerah. Praktik semacam inilah yang sesungguhnya sangat memiskinkan rakyat karena sangat terkait dengan seluruh kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Banyak calon dinasti

Dari data yang dilansir Indonesia Corruption Watch (ICW), pada pilkada serentak 2017 kali ini ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang berasal dari dinasti politik. Beberapa daerah tersebut antara lain Banten; Gorontalo; Musi Banyuasin; Barito Kuala; Pringsewu, Lampung; Kota Batu; Landak, Kalbar; Lampung Barat; Kota Cimahi; Kabupaten Mesuji; serta Maluku Tengah.

Studi yang dilakukan Eric Chetwynd, Frances Chetwynd dan Bertram Spector (2003), Corruption and Poverty: A Review of Recent Literature, menyediakan landasan teoretis yang kuat soal korelasi korupsi dan kemiskinan. Menurut studi itu, korupsi memang tidak bisa langsung menghasilkan kemiskinan. Namun, korupsi berkonsekuensi langsung terhadap faktor-faktor tata kelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan.

Persoalan kemiskinan, pengangguran, serta kesenjangan saat ini masih menjadi masalah utama bangsa. Angka kemiskinan yang masih bertengger tinggi, yakni 10,86 persen, jelas tak akan berubah signifikan di masa depan ketika banalitas korupsi oleh pemimpinnya terus saja menggerogoti anggaran-anggaran daerah yang dialokasikan untuk mengetaskan dari kemiskinan dan meminimalisasi jarak kesenjangan.

Menciptakan distorsi

Banalitas dan brutalisme korupsi yang dilakukan gurita para dinasti politik jelas akan menciptakan distorsi bagi perekonomian, termasuk kerangka kebijakan serta hukumnya yang mengakibatkan sekelompok masyarakat tertentu memiliki keuntungan lebih dibandingkandengan kelompok masyarakat yang lain. Karena itulah, dalam The Laws of Plato,filsuf besar itu mengatakan bahwa korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga membusukkan peradaban.

Ilustrasi berikut bisa menunjukkan betapa persoalan korupsi jual-beli jabatan telah begitu menggurita dan nilainya sangat fantastis. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menduga bahwa di hampir 90 persen daerah terjadi jual-beli jabatan. Dalam banyak kasus, hal itu adalah dampak negatif pilkada untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

KASN mencatat saat ini ada 441.000 jabatan pemimpin di republik ini. Itu artinya, apabila 441.000 jabatan itu dikenai tarif seperti yang kita tahu dari kasus Klaten, maka nilainya bisa mencapai Rp 35 triliun! Sungguh sangat mencengangkan.

Ada dua hal yang menjadi pemicu utama potensi korupsi yang dilakukan dinasti politik. Pertama, persoalan utama dari dinasti politik adalah soal penguasaan sumber daya dan dampaknya dapat melemahkan check and balance dalam pemerintahan. Persoalan tersebut membuat dinasti dekat dengan korupsi, ditambah dengan kewenangan mereka untuk menjadikan posisinya sebagai alat untuk mengakses sumber daya ekonomi.

Kedua, pola yang terbangun dalam dinasti politik saat ini membutuhkan dana besar untuk merawat kekuasaan dan jaringan yang menjadi simpul-simpul politik lainnya. Dalam istilah Robert Putnam (1976), inilah yang disebut ”aktor bayang-bayang” dalam proses politik di daerah yang mengunci peran pemimpin daerah dan menjadi embrio sumber korupsi.

Berkaca pada beragam kasus jual-beli jabatan di sejumlah daerah dan imbasnya pada buruknya pelayanan publik, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan; regulasi, tata kelola pemerintahan yang baik dan inovatif, serta kepemimpinan daerah yang transformasional.

Meski persoalan regulasi saat ini sudah terkunci dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang tidak melarang dinasti politik, hal tersebut bukan berarti tak bisa diubah. Ke depan, dengan berbagai argumen yang kokoh dan data kuat, saya kira DPR bisa membuat regulasi yang detail soal ini. Di luar langkah konstitutif itu, langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan pendidikan politik secara terus-menerus kepada warga agar selektif memilih pemimpin.

Tata kelola

Kedua soal tata kelola. Dalam dinamika politik di aras lokal yang banyak dipengaruhi oleh mutu kebijakan, desain kelembagaan, kapasitas, dan integritas aktor, maka prinsip-prinsip dalam good governance (transparan, akuntabel, responsif, partisipatif) dalam tata kelola pemerintahan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar.

Ketiga kepemimpinan yang transformatif. Hampir pada seluruh kasus korupsi yang dilakukan dalam konteks dinasti politik, pemimpin yang muncul adalah pemimpin yang melanjutkan status quo.

Kepemimpinan yang transformatif adalah kunci perubahan radikal dalam tata kelola dan seluruh inovasi kebijakan daerah. Pemimpin yang kapabel, jujur, berintegritas, visioner, serta selalu terbuka terhadap hal-hal baru merupakan faktor utama dalam berinovasi dan tata kelola daerah.

Dari situlah maka benar apa yang dikatakan Peter Drucker bahwa tidak ada negara yang miskin dan terbelakang kecuali yang tak terkelola dengan baik. Pesan kuatnya adalah bahwa kreasi pemimpin adalah determinan utama dalam gagasan kemajuan dan gerak perkembangan suatu negara (daerah).

Model kepemimpinan transformatif tak akan pernah dijumpai dalam model dinasti politik yang korup dan bebal. Banalitas korupsi dalam jejaring yang sangat sistematis itu jelas akan berakibat pada ketimpangan dan kesenjangan yang sangat lebar antara golongan.

Pada titik itulah sesungguhnya korelasi antara korupsi dan kemiskinan menemukan simpulnya. Jika tak segera diantisipasi dengan regulasi dan hukum yang betul-betul membuat jera, sebuah pembusukan peradaban sesungguhnya telah terjadi.

Dampak yang paling parah adalah kehancuran proses reformasi yang susah payah kita bangun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar