Dinasti
Politik dan Banalitas Korupsi
Achmad Maulani ; Wakil Sekretaris Lakpesdam
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU); Peneliti Senior pada Lembaga Analisa Ekonomi Politik dan Kebijakan
Publik (Lanskap Indonesia)
|
KOMPAS, 08 Februari 2017
Artikel ini sudah dimuat di tempo.co pada tanggal 6 Februari 2017
Hampir
tak ada teladan baik dalam pengelolaan daerah yang dipimpin oleh dinasti
politik. Nyaris yang disuguhkan selalu banalitas korupsi dan pengkhianatan
atas mandat kekuasaan. Kasus mutakhir adalah penangkapan Bupati Klaten oleh
KPK atas dugaan jual-beli jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten.
Karena
potensi penyelewengan kekuasaan begitu besar pada hubungan kekerabatan dalam
jabatan publik, regulasi yang mengatur soal pengelolaan daerah berdasar
kekerabatan pun sempat muncul. Namun, usulan itu dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi atas nama hak asas manusia.
Kasus
penangkapan Bupati Klaten atas dugaan jual-beli jabatan sekali lagi
menegaskan banalitas korupsi oleh penguasa daerah. Praktik semacam inilah
yang sesungguhnya sangat memiskinkan rakyat karena sangat terkait dengan
seluruh kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Banyak calon dinasti
Dari
data yang dilansir Indonesia Corruption Watch (ICW), pada pilkada serentak
2017 kali ini ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang berasal dari
dinasti politik. Beberapa daerah tersebut antara lain Banten; Gorontalo; Musi
Banyuasin; Barito Kuala; Pringsewu, Lampung; Kota Batu; Landak, Kalbar;
Lampung Barat; Kota Cimahi; Kabupaten Mesuji; serta Maluku Tengah.
Studi
yang dilakukan Eric Chetwynd, Frances Chetwynd dan Bertram Spector (2003), Corruption and Poverty: A Review of Recent
Literature, menyediakan landasan teoretis yang kuat soal korelasi korupsi
dan kemiskinan. Menurut studi itu, korupsi memang tidak bisa langsung
menghasilkan kemiskinan. Namun, korupsi berkonsekuensi langsung terhadap
faktor-faktor tata kelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada akhirnya
melahirkan kemiskinan.
Persoalan
kemiskinan, pengangguran, serta kesenjangan saat ini masih menjadi masalah
utama bangsa. Angka kemiskinan yang masih bertengger tinggi, yakni 10,86
persen, jelas tak akan berubah signifikan di masa depan ketika banalitas
korupsi oleh pemimpinnya terus saja menggerogoti anggaran-anggaran daerah
yang dialokasikan untuk mengetaskan dari kemiskinan dan meminimalisasi jarak
kesenjangan.
Menciptakan distorsi
Banalitas
dan brutalisme korupsi yang dilakukan gurita para dinasti politik jelas akan
menciptakan distorsi bagi perekonomian, termasuk kerangka kebijakan serta
hukumnya yang mengakibatkan sekelompok masyarakat tertentu memiliki
keuntungan lebih dibandingkandengan kelompok masyarakat yang lain. Karena
itulah, dalam The Laws of Plato,filsuf besar itu mengatakan bahwa korupsi
tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga membusukkan peradaban.
Ilustrasi
berikut bisa menunjukkan betapa persoalan korupsi jual-beli jabatan telah
begitu menggurita dan nilainya sangat fantastis. Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN) menduga bahwa di hampir 90 persen daerah terjadi jual-beli jabatan.
Dalam banyak kasus, hal itu adalah dampak negatif pilkada untuk mengembalikan
modal yang telah dikeluarkan.
KASN
mencatat saat ini ada 441.000 jabatan pemimpin di republik ini. Itu artinya,
apabila 441.000 jabatan itu dikenai tarif seperti yang kita tahu dari kasus
Klaten, maka nilainya bisa mencapai Rp 35 triliun! Sungguh sangat
mencengangkan.
Ada
dua hal yang menjadi pemicu utama potensi korupsi yang dilakukan dinasti
politik. Pertama, persoalan utama dari dinasti politik adalah soal penguasaan
sumber daya dan dampaknya dapat melemahkan check and balance dalam
pemerintahan. Persoalan tersebut membuat dinasti dekat dengan korupsi,
ditambah dengan kewenangan mereka untuk menjadikan posisinya sebagai alat
untuk mengakses sumber daya ekonomi.
Kedua,
pola yang terbangun dalam dinasti politik saat ini membutuhkan dana besar
untuk merawat kekuasaan dan jaringan yang menjadi simpul-simpul politik
lainnya. Dalam istilah Robert Putnam (1976), inilah yang disebut ”aktor
bayang-bayang” dalam proses politik di daerah yang mengunci peran pemimpin
daerah dan menjadi embrio sumber korupsi.
Berkaca
pada beragam kasus jual-beli jabatan di sejumlah daerah dan imbasnya pada
buruknya pelayanan publik, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan;
regulasi, tata kelola pemerintahan yang baik dan inovatif, serta kepemimpinan
daerah yang transformasional.
Meski
persoalan regulasi saat ini sudah terkunci dengan keputusan Mahkamah
Konstitusi yang tidak melarang dinasti politik, hal tersebut bukan berarti
tak bisa diubah. Ke depan, dengan berbagai argumen yang kokoh dan data kuat,
saya kira DPR bisa membuat regulasi yang detail soal ini. Di luar langkah
konstitutif itu, langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan pendidikan
politik secara terus-menerus kepada warga agar selektif memilih pemimpin.
Tata kelola
Kedua
soal tata kelola. Dalam dinamika politik di aras lokal yang banyak
dipengaruhi oleh mutu kebijakan, desain kelembagaan, kapasitas, dan
integritas aktor, maka prinsip-prinsip dalam good governance (transparan,
akuntabel, responsif, partisipatif) dalam tata kelola pemerintahan adalah
sesuatu yang tak bisa ditawar.
Ketiga
kepemimpinan yang transformatif. Hampir pada seluruh kasus korupsi yang
dilakukan dalam konteks dinasti politik, pemimpin yang muncul adalah pemimpin
yang melanjutkan status quo.
Kepemimpinan
yang transformatif adalah kunci perubahan radikal dalam tata kelola dan
seluruh inovasi kebijakan daerah. Pemimpin yang kapabel, jujur,
berintegritas, visioner, serta selalu terbuka terhadap hal-hal baru merupakan
faktor utama dalam berinovasi dan tata kelola daerah.
Dari
situlah maka benar apa yang dikatakan Peter Drucker bahwa tidak ada negara
yang miskin dan terbelakang kecuali yang tak terkelola dengan baik. Pesan
kuatnya adalah bahwa kreasi pemimpin adalah determinan utama dalam gagasan
kemajuan dan gerak perkembangan suatu negara (daerah).
Model
kepemimpinan transformatif tak akan pernah dijumpai dalam model dinasti
politik yang korup dan bebal. Banalitas korupsi dalam jejaring yang sangat
sistematis itu jelas akan berakibat pada ketimpangan dan kesenjangan yang
sangat lebar antara golongan.
Pada
titik itulah sesungguhnya korelasi antara korupsi dan kemiskinan menemukan
simpulnya. Jika tak segera diantisipasi dengan regulasi dan hukum yang
betul-betul membuat jera, sebuah pembusukan peradaban sesungguhnya telah
terjadi.
Dampak
yang paling parah adalah kehancuran proses reformasi yang susah payah kita
bangun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar