Bertutur
di Ujung Jempol
Gufran A Ibrahim ; Kepala Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa; Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun,
Ternate
|
KOMPAS, 08 Februari 2017
Dua
tabiat baru, berkata bohong (hoax) dan berujar dengan kebencian (hate
speech)—yang tengah dipraktikkan sebagian (besar) penggandrung media sosial,
netizen—kini telah menjadi ”wabah” buruk bahasa. Serangan kabar bohong dan
ujaran kebencian tidak hanya berasal dari dan tertuju kepada individu atau
kelompok, tetapi juga telah menjadi ”alat perang” politik dan ideologi
antarbangsa, antarnegara.
Dalam
kontestasi memilih pemimpin, misalnya, para pendukung atau penggembira pun
tidak bisa menghindar dan kemudian terjebak ke dalam cara-cara melawan ketegangan
dengan menyebar berita bohong dan ujaran kebencian.
Dua
keculasan berbahasa ini telah mencipta ketegangan relasi antarwarga. Bahkan,
secara simptomatik telah melahirkan ”insomnia sosial” yang membuat orang
cemas dan bisa jadi mengambil tindakan pribadi yang tak nalar, tak adab,
karena terhasut kebohongan dan kebencian.
Buruk pikir, buruk tutur
Sejauh
ini sudah ada upaya aparatus negara, pemerintah, dengan instrumen kekuasaan
yang dimilikinya, mengambil upaya penting; mulai dari sekadar mengimbau hingga
menggunakan instrumen hukum untuk menghentikan praktik buruk bahasa ini.
Pula, ada inisiatif sekelompok warga terdidik—yang masih waras—yang bergerak
dari aras nalar sehat, melalui gerakan melawan kebohongan (anti hoax), dengan
semangat agar manusia kekinian yang konon modern-terdidik tetap terjaga akal
sehat dan keluhungan budi bahasanya. Ikhtiar yang dilakukan pemerintah, dan
juga penjaga akal sehat, adalah mendorong perlunya suatu kepandaian
pengolahan informasi yang berseliweran di media sosial secara cerdas,
beradab, dan bertanggung jawab melalui literasi media. Satu jalan penting
mengatasi tabiat buruk berbahasa.
Lepas
dari semua analisis mengenai relasi antara penyebar(-an) berita bohong dan
ujaran kebencian dengan intrik, motif, kecakapan sosial, kematangan
psikokognitif, kualitas keterdidikan, perkembangan pengetahuan, dan derajat
keadaban suatu bangsa, bertutur sesungguhnya berkaitan dengan alam pikir.
Dalam Language and Mind (2006), Noam Chomsky—peneroka teori gramatika
transformasional, yang kini lebih banyak menulis tema-tema politik dan
perubahan kultur global—menyebut, ”Bahasa adalah cermin pikiran, sebagai
produk budaya, bahasa merefleksikan pikiran”. Apabila mengikuti pandangan
ini, apa yang ada dalam benak individu dan masyarakat akan tecermin dalam
tindak tuturnya. Lalu, apa yang sedang beroperasi dalam alam pikir para
penyebar kebohongan dan kebencian?
Sejalan
dengan relasi bahasa dan pikiran, Chomsky menyebut, ada dua potensi
berbahasa, yaitu sediaan pengetahuan tentang semesta sistem bahasa yang
dimiliki dan penggunaan nyata dari kebisaan dan kebiasaan bertutur manusia.
Secara neurolinguistis, dua potensi ini terangkum apik dalam angulargyrus,
bagian dari otak manusia yang merupakan ”pusat (ber-)bahasa”. Pada saat
setiap orang bertutur, terjadi proses transformasi dari struktur batin (deep
structure), yaitu simpanan tata asal tutur yang secara semantik mengandung
motif, niat, dan intensi ke struktur lahir (surface structure), yaitu tata
laku tuturan yang terbaca-terdengar.
Kalau
demikian, tata laku bertutur—termasuk menyebar kabar bohong dan menebar
kebencian—sesungguhnya adalah proses di mana mekanisme ”pemindahan” alam
pikir, maksud, dan niat dalam struktur batin menjadi kode-kode bahasa dalam
maujud struktur lahir sebagaimana yang tampil dalam berita bohong dan ujaran
kebencian. Jika ada buruk maksud, buruk niat, dan buruk intensi dalam alam
pikir, akan tampil diksi dan tata tutur yang secara semantik merujuk ke
keburukan pula.
Cuitan
saling serang antar-penyebar kebohongan dan kebencian, dengan menggunakan
kata-kata yang tak beradab, defisit budi-bahasa, telah menjadi ”bahasa buruk
rupa” penyuka media sosial. Cuitan bahasa buruk rupa telah menumpulkan nalar
penghormatan pada kemanusiaan karena bertegur dalam ketegangan relasi saling
memburukkan. Dunia telah (berubah) jadi begitu dikotomis: kamu jelek, aku
yang paling baik; kamu salah, aku yang paling benar. Kebenaran telah
dimonopoli, dimanipulasi, dan dibajak dengan kerendahan adab bertutur. Ini
sungguh sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan pemajuan keadaban karena
sebagian besar penyuka media sosial—yang berbohong dan membenci itu—adalah
orang-orang terdidik. Lebih menyedihkan lagi, penyuka media sosial ini adalah
kaum urban dan selapis generasi yang konon katanya, untuk Indonesia, mengisi
slot bonus demografi yang akan menjadi penanggung jawab kemajuan bangsa ini.
Siapa
yang menyangka, suatu saat, sebagian manusia abad ini tidak lagi bertutur
dengan mulutnya—meminjam sebutan Indra Tranggono (”Mulutmu, Panggungmu”,
Kompas, 6/2/2017)—tetapi dengan dua jempol, dua ibu jari! Simak saja
kelincahan yang begitu manipulatif plus kecerdasan kinestetik para penyuka
media sosial memainkan dua jempol mereka saat berkomunikasi: bertutur dengan
jempol dalam kesenyapan.
Tak
ada satu orang pun yang mendengar tuturan itu karena secara akustis tak ada
suara, kecuali bunyi ketukan di gawai. Namun, dari dua jempol yang ”bertutur
senyap” itu, tebaran serta perlipatan gerak kabar bohong dan ujaran kebencian
menderas-bandang bagai air bah dalam hitungan detik-menit, membikin
ruang-ruang publik menjadi gaduh. Jempol yang ”bertutur” telah membikin jagat
maya menjadi sumpek karena tabrakan prasangka buruk, pikiran buruk, saling
hujat, saling negasi, dan saling enyah. Kelisanan dengan segala peranti wicara
telah tergantikan oleh dua jempol yang justru telah menderaskan kegaduhan,
tidak hanya ke ruang publik, tetapi juga ke dalam alam pikir setiap orang.
Menjaga kata, merawat kita
Berita
bohong dan ujaran kebencian yang menderas dari ”tutur senyap” dua jempol di
media sosial telah membikin alam pikir penyuka media sosial bersekat; dan
kesekatan itu sedang menenggelamkan entitas ke-”kita”-an dalam pemaksaan
nafsu ke-”kami”-an. Kelancangan bertutur, pengabaian akal sehat, telah
menjebak penyuka media sosial kehilangan kendali keculasan jempolnya lalu
berujar kasar, menghukum dan menghakimi sesiapa yang dibenci. Dari ujung
kebencian itu, bertumpahan kata-kata buruk yang merendahkan kemanusiaan,
mendorong kekerasan verbal, dan kekerasan verbal adalah ”kejahatan kata”.
Kelancangan
bertutur dengan jempol dalam menimpali berita bohong dan ujaran kebencian
telah meminakkan kebohongan dan kebencian. Jika penyuka media sosial tidak
menjaga jempolnya dari ketergelinciran menuliskan kata-kata buruk, berita
bohong, dan ujaran kebencian yang semakin menjadi-jadi, ini akan meretakkan
bangunan kebangsaan kita.
Untuk
itu, satu cara penting dari berliterasi media adalah para penyuka media
sosial harus belajar menjaga kata-kata; menahan jempol untuk tidak segera
menimpali berita bohong dan membalas kebencian dengan kebencian baru. Dengan
menjaga kata, tepatnya menjaga jempol dari godaan untuk menumpahkan kata-kata
buruk, sesungguhnya kita sedang merawat kerekatan kita sebagai bangsa yang
bineka ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar