Pimpinan
dan Masa Depan Pertamina
Komaidi Notonegoro ; Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
|
TEMPO.CO, 08 Februari 2017
Pemberhentian
Direktur dan Wakil Direktur Utama Pertamina secara terhormat melalui Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa pada 3 Februari 2017 mengejutkan sejumlah
pihak, internal maupun eksternal. Selain mendadak, pemberhentian itu
dilakukan ketika pimpinan Pertamina tersebut justru mampu membawa badan usaha
milik negara kebanggaan Indonesia ini mencatatkan kinerja yang sangat baik.
Pertamina
dapat membukukan laba yang tidak hanya positif, tapi juga meningkat
signifikan di tengah penurunan harga minyak. Sampai kuartal ketiga 2016,
perolehan laba dilaporkan sebesar US$ 2,83 miliar, tumbuh 209,3 persen dari
tahun sebelumnya. Laba tersebut melampaui perolehan laba perusahaan minyak
negara Malaysia, Petronas, yang turun hingga 48,6 persen.
Dalam
lingkup korporasi, pergantian pimpinan merupakan hal biasa. Pemegang saham
berwenang penuh mengganti pimpinan perusahaan jika dinilai tidak sesuai lagi
dengan perkembangan, dinamika, dan arah kebijakan perusahaan. Karena itu,
meski terkesan mendadak, pemberhentian itu kemungkinan telah melalui
pertimbangan pemerintah sebagai pemegang saham.
Pemerintah
menyampaikan bahwa pemberhentian itu dilakukan karena adanya masalah
kepemimpinan. Nomenklatur baru pada struktur Pertamina, yaitu keberadaan
Wakil Direktur Utama yang efektif sejak 20 Oktober 2016, disebut sebagai
sumber permasalahan.
Keberadaan
wakil itu dimaksudkan untuk mengakomodasi tugas Pertamina yang semakin besar.
Pertamina akan melaksanakan sejumlah tugas besar, seperti pembangunan
megaproyek dengan nilai investasi tidak kurang dari Rp 700 triliun,
penambahan kapasitas dan revitalisasi kilang, sebagai pelaksana public service
obligation (PSO), mewujudkan BBM satu harga, melaksanakan program penghiliran, melaksanakan program holding
BUMN migas, dan ekspansi usaha ke luar negeri.
Meskipun
memiliki tujuan positif, dalam perkembangannya, posisi wakil itu dinilai
memicu permasalahan kepemimpinan. Dewan Komisaris Pertamina, yang mengusulkan
nomenklatur tersebut, menilai sistem Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama
tidak tepat, memicu masalah kepemimpinan akut, dan berpotensi mengancam
kestabilan internal Pertamina. Hal ini kemudian menjadi dasar Dewan Komisaris
mengusulkan penghapusan posisi wakil tersebut.
Keputusan
pemberhentian direktur utama dan wakilnya tersebut hendaknya dihormati dan
polemik yang ada segera diakhiri. Akan jauh lebih produktif jika para pihak,
khususnya internal Pertamina, kembali berfokus mencapai target-target
perusahaan.
Dalam
jangka pendek, paling lambat 30 hari sejak keputusan diambil, fokus dan tugas
utama pemegang saham adalah mencari dan menetapkan Direktur Utama Pertamina
definitif. Namun menemukan figur yang tepat untuk memimpin perusahaan negara
dengan pendapatan sekitar 60-65 persen dari total penerimaan APBN (ketika
harga minyak tinggi) ini bukanlah perkara mudah. Pertamina tidak hanya
memerlukan figur CEO terbaik, tapi juga memerlukan figur CEO plus. Pemimpin
Pertamina harus memiliki kemampuan
komunikasi lintas sektor yang baik, termasuk dengan DPR sebagai salah satu
mitra kerjanya.
Kebutuhan
figur CEO plus juga diperlukan untuk mencapai target yang tidak ringan.
Target itu, di antaranya, adalah melakukan efisiensi di segala lini,
peningkatan kinerja operasi, memastikan realisasi investasi tepat waktu dan
sasaran, serta menyiapkan sumber daya manusia yang andal.
Tahun
ini, Pertamina menaikkan target produksi, baik untuk minyak, gas, maupun panas
bumi. Target produksi migas naik menjadi 669 barel setara minyak per hari,
terdistribusi atas 333 ribu barel minyak per hari dan 2,08 bscfd gas. Adapun
target kapasitas panas bumi meningkat dari 512 megawatt menjadi 617 megawatt.
Pertamina juga menetapkan lima prioritas strategis yang terukur sampai 2025,
yang meliputi pengembangan sektor hulu, efisiensi di semua lini, peningkatan
kapasitas kilang dan petrokimia, pengembangan infrastruktur dan pemasaran,
serta perbaikan struktur keuangan.
Target
kinerja operasi untuk tahun 2025 juga telah ditetapkan yang, di antaranya,
adalah produksi minyak dan gas menjadi 1,81 juta barel setara minyak per
hari, kapasitas panas bumi menjadi 2.267 GW, kapasitas kilang menjadi 2 juta
barel per hari, jumlah SPBU menjadi 8.150 unit, dan stok operasional BBM
menjadi sekitar 30 hari.
Maka,
tugas Pertamina tahun ini dan tahun-tahun mendatang tidaklah mudah. Prioritas
strategis dan target kinerja operasi yang ditetapkan tersebut mustahil dapat
dijalankan jika Pertamina tidak dihindarkan dari kegaduhan internal maupun
eksternal. Pertamina perlu diberi ruang yang cukup agar target tersebut dapat
direalisasikan. Meskipun relatif sulit dihindari, intervensi politik kepada
Pertamina harus diminimalkan.
Sebagai
pemegang saham, pemerintah harus tegas dan jelas memisahkan mana yang menjadi
wilayah kewenangan, fungsi, dan tugas korporasi (Pertamina) dan pemerintah.
Jika pemisahan tersebut tidak dapat dilakukan, visi Pertamina untuk "Menjadi Perusahaan Energi Nasional
Kelas Dunia" akan sulit untuk direalisasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar