Mengontrol
Ulama?
Aboe Bakar Alhabsyi ; Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 08
Februari 2017
Kementerian
Agama (Kemenag) memberikan wacana untuk melakukan sertifikasi kepada para
ulama. Langkah ini didalihkan untuk menghindari adanya ceramah yang
mengandung hujatan dan menghindari sikap intoleran.
Karena
itu, menurut Menteri Agama, dirasa perlu dirumuskan kualifikasi atau
kompetensi dasar yang harus dimiliki para penceramah. Wacana ini terlihat
seperti testing the water, sebelum wacana sertifikasi terhadap ulama pernah
juga diwacanakan sertifikasi untuk para penceramah.
Pemberian
sertifikasi ini seolah sebagai upaya pemerintah untuk mengontrol agar tidak
ada kritik yang disampaikan kepada penguasa sehingga tidak ada lagi agitasi
yang dilakukan terhadap masyarakat. Wacana serupa sebenarnya pernah
dilontarkan BNPT. Menurut mereka perlu dilakukan sertifikasi terhadap para
ulama untuk mencegah terjadinya deradikalisasi.
Dengan
melakukan sertifikasi, negara akan dapat mengukur sejauh mana peran ulama
dalam menumbuhkan gerakan radikal. Ini dilakukan sebagai upaya antisipasi
pertumbuhan gerakan radikal di Indonesia. Bila ditelaah, apa yang disampaikan
oleh petinggi BNPT tersebut merupakan justifikasi bahwa sebenarnya selama ini
ulama memiliki peran dalam penumbuhan peran radikalisme yang berujung pada
tindakan terorisme.
Rencana
ini seolah telah menjustifikasi ulama memiliki saham dalam persoalan
terorisme di Indonesia. Pengajaran agama oleh para ulama kepada para
pengikutnya dianggap merupakan suatu main process lahirnya para “pengantin”
yang radikal dan siap membawa bom bunuh diri. Akhirnya, deduksi yang diambil
oleh pejabat BNPT ini adalah perlunya ada sertifikasi para ulama agar bisa
mereduksi gerakan radikal dan pada akhirnya dapat menanggulangi persoalan
terorisme di Indonesia.
Apabila
ditengok dalam sejarah, Islam telah masuk di Indonesia sejak abad ke-12.
Karena itu, sudah lebih dari sembilan abad ajaran agama Islam tumbuh dan
berkembang di Nusantara. Selama itu pula para penceramah agama Islam telah
membangun peradaban yang luar biasa, baik melalui khotbah di masjid, ceramah
di majelis taklim, pengajian di pesantren maupun tausiyah dalam berbagai
kegiatan ibadah keislaman.
Berbagai
kegiatan tersebut selama ini telah tumbuh dan berkembang sesuai kondisi
zaman. Ceramah, tausiyah, atau khotbah dalam konteks ajaran Islam adalah
media untuk mengedukasi umat. Ini adalah sarana untuk mengingatkan pemeluk
Islam agar senantiasa mengikuti ajarannya, termasuk menaati para pemimpin.
Apalagi,
untuk ceramah yang dilaksanakan dalam bagian dari ibadah, pastilah selalu
dijaga kesuciannya, baik dalam hal isi maupun cara penyampaiannya. Dengan
demikian, wacana untuk sertifikasi para penceramah seolah membuat tuduhan
bahwa mereka selama ini menjadi sumber masalah.
Atau
setidaknya, menimbulkan kesan bahwa ceramah agama ada yang halal dan tidak
halal sehingga perlu disertifikasi seperti produk pangan. Tentunya ini
berpotensi menimbulkan kegaduhan baru di Indonesia. Alasan bahwa sertifikasi
ini untuk meningkatkan kualifikasi penceramah ataupun ulama seolah
menyimpulkan bahwa penceramah saat ini tidak kompeten.
Atau
paling tidak, Kementerian Agama melihat banyak penceramah yang tidak layak
atau tidak memenuhi kualifikasi dasar. Pasti ini akan menimbulkan kegaduhan
pula, mengenai prasyarat atau standarisasi apa yang akan digunakan
kementerian dalam mengatur penceramah, termasuk siapa yang berhak melakukan
sertifikasi terhadap para penceramah tersebut.
Apakah
dalam hal ini kewenangan tersebut akan dipegang langsung oleh Kementerian
Agama? Jangan sampai hal ini menjadi persoalan baru yang membuat kegaduhan
yang tidak perlu. Salah satu tujuan sertifikasi ini adalah untuk mengurangi
sikap-sikap intoleran antarumat beragama.
Sebenarnya
ini adalah tuduhan yang cukup menyakitkan karena menganggap selama ini
ceramah-ceramah yang disampaikan para pemuka Islam cenderung intoleran
terhadumat agama lain. Dalam hal ini, seharusnya menteri agama memberikan
data-data yang menunjukkan bagaimana bentuk ceramah yang intoleran tersebut.
Selain
itu, seberapa banyak ceramah intoleran telah terjadi berikut pengaruhnya
terhadap umat. Jangan sampai landasan berpikir yang diambil sekadar
justifikasi belaka. Perlu dipahami, hak bicara adalah bagian dari hak asasi
manusia yang dilindungi oleh konstitusi kita. Melakukan sertifikasi
penceramah sama saja dengan membatasi hak orang untuk berbicara.
Ini
adalah bentuk pengekangan hak kebebasan berbicara yang diatur dalam Pasal 19
dan Pasal 28 UUD 1945. Apabila, Kemenag melakukan sertifikasi terhadap penceramah,
sama saja dengan melakukan pembatasan terhadap hak tersebut. Apabila
mengikuti pasal tersebut, seharusnya pemerintah dapat saja melakukan
pengaturan mengenai mekanisme penyampaian pikiran dalam sebuah undang-undang.
Jadi,
pengaturannya tidak dapat dilakukan dengan instrumen sekelas peraturan
menteri. Pada konteks lain, bila yang disertifikasi adalah penceramah untuk
kegiatan ibadah ini juga menabrak konstitusi. Kegiatan ceramah di masjid
dalam salat Jumat, salat Idulfitri, ataupun salat Iduladha adalah bagian dari
ibadah.
Apabila
Kemenag melakukan pembatasan orang yang bisa mengisi khotbah adalah mereka
yang telah disertifikasi, ini sama halnya dengan melakukan pembatasan
terhadap orang yang akan beribadah. Ulama yang memberikan ceramah atau tausiyah
dalam kerangka ajaran islam memiliki tautan yang erat dengan persoalan
ibadah. Memberikan prasyarat khusus kepada mereka dalam bentuk sertifikasi
sama halnya melakukan pengurangan hak dalam menjalankan ibadah.
Hak
untuk beragama atau menjalankan agama merupakan non-derogable rights, yaitu
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal ini
diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hak beragama
seperti ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk keadaan
perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Apabila
dalam keadaan perang saja tidak dapat dikurangi, apalagi dalam keadaan damai
seperti saat ini. Dengan demikian, pengurangan hak dalam menjalankan ibadah
adalah bentuk nyata dari pelanggaran konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Perlindungan terhadap kebebasan menjalankan ibadah secara utuh dan
menyeluruh juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Ceramah
oleh para ulama dalam ibadah seperti khotbah Jumat telah dilakukan selama
berabad-abad. Selama itu tidak pernah diberlakukan sertifikasi atau
semacamnya untuk penceramah. Namun, dapat dipastikan mereka telah memahami
bagaimana ceramah yang harus disampaikan saat salat Jumat.
Semisal
membaca pujian kepada Allah, menyampaikan salawat atas Nabi Muhammad SAW,
kemudian membaca satu atau sebagian ayat Alquran dan selalu memberikan wasiat
untuk melakukan ketakwaan. Itu adalah konten ceramah yang sudah 14 abad
dilakukan tanpa ada tudingan menyebabkan intoleransi ataupun semacamnya.
Karena
itu, memunculkan ide untuk melakukan sertifikasi para ulama ataupun
penceramah seolah mengingkari sejarah bahwa hal ini telah dilakukan tanpa
menimbulkan gangguan. Padahal selama ini ceramah keagamaan telah membangun
peradaban, menjaga nilai moral masyarakat, dan mengajak mereka untuk selalu
dalam kondisi yang religius.
Selain
itu, wacana sertifikasi ini seolah menuduh bahwa ceramah agama adalah bibit
dari sikap intoleransi yang timbul di Indonesia. Ini tentunya dapat
menimbulkan kegaduhan baru, misalkan saja menyebabkan pihak-pihak tertentu
merasa tersinggung atas kesimpulan tersebut. Lebih dalam lagi, ide ini dapat
melanggar hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat.
Belum
lagi dapat mengurangi hak masyarakat untuk menjalankan ibadah secara utuh dan
menyeluruh. Biarlah ulama tumbuh dan berkembang di hati masyarakat. Mereka
yang mengangkat dan mengakui keulamaan seseorang dengan secara kultural.
Sertifikasi bisa menjadi sebuah bentuk kontrol terhadap ulama, penceramah,
ataupun tokoh keagamaan yang membawa dampak rusaknya nilai proses budaya yang
selama ini sudah berlangsung.
Biarkanlah
para ulama membangun karakter bangsa ini melalui ceramahnya karena selama ini
peradaban dibangun di sana. Biarkah mereka menjadi pengikat moral masyarakat,
menjadi kontrol etika yang selalu hadir dan disayangi masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar