Melawan
Hoax, Membangun Gerakan Literasi
Djasarmen Purba ; Anggota DPD RI Asal Provinsi Kepri
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Februari 2017
MEREBAKNYA
pemberitaan palsu (hoax) melalui jejaring media sosial dinilai sudah mencapai
tingkat mengkhawatirkan, bahkan mulai mengancam keutuhan bangsa. Itu menjadi
salah satu isu penting dalam peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari tahun
ini. Menurut Kamus Merriam Webster, hoax adalah (1) sebuah perbuatan yang
bertujuan mengelabui atau membohongi, dan (2) menjadikan sesuatu sebagai
kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja. Celakanya,
berbagai berita hoax disajikan lebih mengedepankan hasutan, kebencian, dan
kebohongan publik tanpa merujuk pada data dan realitas sebenarnya.
Sayangnya,
tidak sedikit media daring yang terjebak berita hoax, bahkan ada yang sengaja
menebarkan hoax sebagai tujuan politik. Dewan Pers mencatat saat ini ada
43.300 media daring di RI. Pada 2014 hanya 254 media yang terverifikasi di
Dewan Pers. Pada 2015, jumlahnya menyusut tinggal sekitar 180 media.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika,
terdapat sekitar 800 ribu situs yang memproduksi berita hoax di internet.
Data Subdirektorat Cyber Crime Polda Metro Jaya, saat ini sekitar 300 konten
media sosial menyebarkan berita hoax. Konten-konten hoax itu kebanyakan
diproduksi para buzzer politik yang tidak jarang menggunakan nama menyerupai
media yang terverifikasi.
Media mainstream
Menurut
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, gejala maraknya berita hoax di RI mulai
ramai terjadi saat Pileg dan Pilpres 2014. Saat itu banyak pemimpin media
yang membuat parpol, dan banyak parpol yang membuat media, atau media yang
kemudian berpihak pada satu parpoi atau calon presiden/kepala daerah.
Masuknya kepentingan politik di dalam media membuat berita-berita di media
arus utama (mainstream) memiliki berbagai versi tentang satu peristiwa.
Misalnya satu media mengatakan ekonomi Indonesia membaik, sementara media
lain mengatakan ekonomi terpuruk meskipun wartawan dari kedua media itu
melakukan peliputan peristiwa dan fakta yang serupa.
Pemberitaan
yang berbeda-beda dan cenderung mengikuti selera dan pesanan pemiliknya
membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media-media arus utama
mengalami penurunan. Turunnya tingkat kepercayaan terhadap media arus utama
dan keinginan masyarakat mencari berita-berita alternatif, dimanfaatkan
segelintir pihak dengan membuat berita palsu untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi.
Kabarnya
pendapatan para produsen berita hoax mencapai Rp25 juta-Rp35 juta/bulan, yang
bersumber dari setiap orang yang mengklik berita itu. Semakin banyak klik,
semakin banyak uang yang diperoleh.
Modus
para pembuat berita hoax ialah mengambil berita dari media lain (umumnya
media-media arus utama), kemudian mengubah judul, isi, dan disebarkan ke
grup-grup pertemanan di media sosial (Facebook, Twitter, Whatsapp, Path,
dll), lalu menjadi viral di media sosial. Di luar para pembuat berita hoax
yang dimotivasi mendapatkan keuntungan dari klik pembaca beritanya, terdapat
produsen lain berita hoax, yakni para buzzer politik. Kelompok ini digunakan
politisi, umumnya saat pileg, atau pilkada dan pilpres. Buzzer ialah orang
yang sengaja dibayar untuk menaikkan citra seseorang atau menjatuhkan citra
orang lain, dengan menyebar berita-berita bohong melalui jejaring media
sosial. Produsen terakhir dari berita hoax ialah media abal-abal, dan
kebanyakan media daring. Menurunnya kepercayaan terhadap media arus utama
mendorong munculnya beragam media abal-abal. Berita-berita dari media jenis
ini cukup banyak dibagikan ‘penghuni’ media sosial.
Dalam
upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada media arus utama, serta
meredam gelombang berita hoax, pada peringatan Hari Pers Nasional, Dewan Pers
mulai menerapkan standar kompetensi wartawan, dan pemberian barcode kepada
media-media yang sudah terverifikasi. Standar kompetensi diberikan kepada
wartawan setelah melewati ujian pemahaman dasar, pemahaman tentang peralatan,
penguasaan teknologi, jurnalistik, dan etika yang dilakukan perguruan tinggi,
organisasi wartawan, media besar, dan lembaga pendidikan. Kebijakan itu
bertujuan agar wartawan lebih profesional.
Sementara
itu, pemberian barcode kode QR yang bisa difoto—bertujuan memudahkan
masyarakat mengetahui apakah situs berita atau media yang dibacanya telah
terverifikasi di Dewan Pers atau belum. Kode QR terkoneksi dengan data di
Dewan Pers yang dapat menjelaskan nomor verifikasi, penanggung jawab, alamat
redaksi, nomor telepon, nomor faksimile, dan surel. Dengan demikian, orang
yang dirugikan pemberitaan media yang bersangkutan bisa mengadu langsung ke
Dewan Pers.
Literasi
Langkah
yang ditempuh Dewan Pers untuk meredam gelombang berita hoax patut
diapresiasi meskipun kebijakan itu baru menyangkut produsen berita (media),
belum menyentuh konsumennya (pembaca/masyarakat). Sebagaimana diketahui,
derasnya gelombang hoax disebabkan rendahnya tingkat literasi berita pengguna
media sosial di Indonesia. Pengguna media sosial Indonesia merupakan salah
satu masyarakat yang berkembang tanpa melewati tahapan literasi. Menurut
Fisher (1993) literasi merupakan kegiatan membaca-berpikir-menulis.
Masyarakat yang tingkat literasinya rendah merupakan tempat yang sempurna
bagi perkembangan berita-berita hoax. Penelitian The World's Most Literate
Nations (WMLN) tentang tingkat literasi dunia 2016 menempatkan Indonesia pada
urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia berada satu tingkat di
atas Botswana, negara kecil di Benua Afrika yang berpenduduk 2,1 juta jiwa.
Meskipun
tingkat literasi rendah, kecerewetan masyarakat Indonesia di media sosial
merupakan yang tertinggi di dunia. Sepanjang 2016 lalu jumlah kicauan
pengguna Twitter Indonesia mencapai 4,1 miliar. Jumlah itu akan meningkat
tajam jika ditambahkan dengan rilis status di linimasa Facebook dan jepretan
di Instagram, Path, dan Google+. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jaringan
Internet Indonesia (APJII) pada 2016 jumlah netizen Indonesia ialah 132,7
juta jiwa atau 51,1% dari total penduduk Indonesia.
Bahkan,
pengguna Facebook Indonesia menempati peringkat keempat, setelah India
(195,16 juta pengguna), AS (191,3 juta) dan Brasil (90,11 juta). Dari 132,7
juta jiwa netizen Indonesia, sebagian besar aktivit mereka berbagi informasi
(129,3 juta pelaku), diikuti aktivitas berdagang (125,5 juta pelaku), dan
sosialisasi kebijakan pemerintah (119,9 juta pelaku).
Bisa
dibayangkan, bila setengah dari informasi yang dibagikan 129,3 juta netizen
Indonesia ialah berbagi berita bohong. Maka, wajar belakangan ini ada kekhawatiran
terhadap rusaknya sendi-sendi kehidupan bangsa akibat masifnya penyebaran
berita hoax di media sosial. Berdasarkan realitas itu, pemerintah dan Dewan
Pers harus memelopori gerakan literasi yang masif yakni gerakan membaca,
menulis yang diimbangi dengan membangun kerangka berpikir kritis dan logis
untuk membentengi masyarakat dari terpaan tsunami berita hoax. Gerakan
literasi bukan hanya milik pemerintah, melainkan juga seluruh komponen
masyarakat Indonesia, terutama Pers nasional, dengan salah satu tujuannya
ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar