Pilkada
DKI Pantulan Pilpres 2019?
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 10
Februari 2017
Apakah
Pilkada DKI Jakarta 2017 sejatinya sekadar pantulan kontestasi politik
Pilpres 2019? Pertanyaan ini setengah terjawab ketika para kandidat sudah
jelas.
Analisis
elite dan kepartaian yang terbentuk tak jauh dari nama-nama besar elite
politik nasional, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan
Prabowo Subianto. Ketiga elite itu masing-masing berada di belakang ketiga
pasangan kontestan yang tengah berlaga kini. Terkait dengan Megawati, dia
ketua umum PDIP yang menyokong pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot
Saiful Hidayat.
Tentulah
nama Joko Widodo (Jokowi) meski genealogi kepolitikannya ada di wilayah ini,
karena sebagai presiden, dia harus menampakkan kenetralannya. Kalau pasangan
Basuki-Djarot menang, kans tokoh yang didukung Megawati ke Pilpres 2019 akan
memperoleh imbas psikopolitiknya.
Nama
Jokowi yang masih dipandang moncer, otomatislah kalau pasangan Basuki-Djarot
menang, Jokowi ikut tersuntik modal psikopolitiknya. Sementara itu bayangan
SBY tertanam pada sosok Agus Harimurti Yudhoyono. Agus yang berpasangan
dengan Sylviana Murni akan menjadi sosok alternatif penting pada Pilpres 2019
manakala pasangan ini menang dalam Pilkada DKI.
Merujuk
pada pengalaman Jokowi, sebelum terpilih jadi presiden, diasempat menjadigubernur
DKI Jakarta. Agus akan terlipatgandakan kans politiknya manakala ia juga
menjadi gubernur. Adapun Anies Baswedan yang berpasangan dengan Sandiaga Uno
yang didorong oleh Prabowo Subianto sebagai sosok sentralnya,
kalau
menang pilkada, sebagaimana Basuki-Djarot, posisinya hanya akan memperkuat
sentimen psikopolitik sosok lain. Kalau Basuki-Djarot sosoknya Jokowi,
Anies-Sandi sosoknya Prabowo. Kubu Prabowo akan semakin percaya diri manakala
Anies-Sandilah yang paling moncer dalam kontestasi politik lokal DKI kali
ini.
Psikopolitik
Apa
yang saya maksudkan dengan psikopolitik berbeda pengertiannya dengan konteks
pemilih psikologis. Yang terakhir itu terkait dengan pemilih tradisional yang
sudah menetapkan pilihannya berdasarkan atau dengan mengikatkan dirinya pada
partai politik (party identification).
Psikopolitik
yang saya maksud terkait dengan derajat atau bobot pertimbangan atau
persepsional publik nasional yang cenderung dipengaruhi sosok yang berkaitan
dengan pemenang Pilkada DKI. Konteksnya terutama tertuju ke para pemilih
rasional kendatipun juga bisa menyasar ke pemilih sosiologis, bahkan
psikologis.
Dampak
psikopolitik ke jenis pemilih rasional ditunjukkan oleh pertimbangan yang
cenderung memperkuat dalih penguatan perspektif pilihan publik. Argumennya,
Ibu Kota ialah cermin kondisi nasional, maka akan lebih menjamin stabilitas
pembangunan manakala antara yang memimpin Jakarta dan Indonesia berasal dari
basis dukungan kepolitikan yang sama.
Stabilitas
pembangunan tampaknya, sadar atau tidak, tetap menjadi ukuran pentingnya.
Bagaimana dengan dampak sosiologisnya? Tak terelakkan, sentimen sosiologis,
apakah itu keagamaan, kesukuan, kedaerahan, etnisitas atau yang terkait
dengan hal-hal primordial lainnya akan turut berpengaruh.
Dari
sisi pemilih sosiologis, mereka akan terpengaruh pada realitas sosiologis
sosok gubernur mendatang. Hal demikian bisa memantul ke Pilpres 2019. Di sisi
lain, siapa yang menang dalam kontestasi politik DKI kali ini juga akan
berdampak ke konteks peta pemilih psikologis.
Elitisme dan Populisme
Ciri
politik Indonesia dewasa ini tak terelakkan belum menjauh dari elitisme dan
populisme. Elitisme merujuk pada kepolitikan yang berbasis elite. Karakter
oligarki dan dalam batas tertentu klientelisme politik cukup mengemuka.
Demokrasi populer pilpres sejak 2004 hingga dewasa ini setidaknya telah
mencatatkan adanya elite-elite yang tetap eksis dan berpengaruh.
Mereka
berlatar belakang sipil murni (Megawati, Jokowi) serta militer (SBY, Prabowo,
juga Wiranto) dan masih akan berperan penting dalam pembentukan konstelasi
politik pada kontestasi Pilpres 2019. Mereka tampaknya masih akan
mengedepankan pola-pola populis dalam berkontestasi.
Apa
yang sekarang terjadi dalam ingar-bingar kontestasi pilkada di Ibu Kota dari
perspektif populisme politik menunjukkan adanya keseragaman pola dan tema.
Nyaris tak ada perbedaan yang menonjol di antara ketiga pasang calon dari
tema-tema yang mereka usung dan tawarkan dalam kampanyekampanye dan debat.
Siapa
yang paling kuat kelak? Tentu tak gampang menjawabnya, justru karena politik
itu proses dan dinamis. Peristiwa Pilkada DKI 2017 hanyalah cermin kecil
untuk meneropong pilpres dua tahun kemudian. Ia hanya bisa memberi pada kita
secuil potongan gambar yang masih sangat bisa berubah.
Yang
terkuat kelak ialah yang terbaik strateginya, bagaimana meraih dan
memunculkan momentum sehingga terbentuk persepsi yang menguntungkan. Para
kandidat yang berlaga pada Pilpres 2019 diuntungkan oleh referensi pengalaman
politik sebelumnya, bagaimana SBY bisa menang pada dua kali pilpres, pun
bagaimana Jokowi mendadak populer dan terpilih dalam Pilpres 2014? Strategi
politik juga akan ditentukan oleh kepastian aturanmainpemiluserentak.
Apabila
ketentuan ambang batas elektoral (presidential threshold) tidak lagi
diberlakukan, kondisi demikian memungkinkan hadirnya banyak kandidat.
Elite-elite terkemuka sebagaimana disebutkan di atas akan berusaha keras
untukmembangunkoalisidalam mendukung jagonya. Kalau koalisi gagal terbentuk,
kandidat akan banyak. Sebaliknya bisa saja yang muncul justru calon tunggal.
Asumsinya,
ada sosok yang dipandang paling kuat elektabilitasnya dan semua partai
peserta pemilu tak mau berspekulasi untuk menghadirkan kandidat tandingan.
Saya sepakat dengan pendapat bahwa Pilkada 2017 merupakan arena pemanasan
politik jelang Pilpres 2019. Tapi ia baru babak awal dari proses politik yang
barangkali masih cukup rumit dalam pembentukan konstelasinya yang berpuncak
pada kontestasi antarkandidat pada 2019 nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar