Nasionalisme
Bahasa
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 10
Februari 2017
Beruntunglah
Indonesia memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia yang diadopsi dan
dikembangkan dari bahasa Melayu. Berkat bahasa Indonesia, warga Papua di
ujung timur dan warga Aceh di ujung barat bisa berbicara dengan bahasa yang
sama, mendengarkan pidato Presiden di Jakarta melalui siaran televisi dengan
bahasa yang sama.
Tidak
berlebihan, makanya, jika ada yang menyebutkan bahwa politik bahasa nasional
bangsa Indonesia paling berhasil di muka bumi, dengan jumlah penduduknya di
atas 240 juta, tersebar ke ratusan pulau dan suku. Dalam suatu forum diskusi
kebudayaan muncul sebuah pertanyaan, apakah para eksekutif dan ilmuwan yang
lebih banyak membaca, menulis, dan berbicara dengan bahasa asing, khususnya
Inggris, berarti mereka tidak lagi nasionalis?
Pertanyaan
lain juga muncul, bagaimana dengan masyarakat desa yang berpikir dan
berbicara selalu menggunakan bahasa daerah, apakah mereka juga kurang
mengindonesia? Kurang nasionalis? Munculnya fenomena a global networking
society yang difasilitasi dengan internet, komunikasi bisnis, dan keilmuan
lintas bangsa dan negara semakin intens sehingga peran bahasa Inggris semakin
menguat sebagai bahasa dunia.
Berbagai
seminar keilmuan internasional menggunakan bahasa Inggris. Begitu pun dalam
bisnis. Belum lagi muncul generasi baru dari keluarga menengah atas yang
sekolahnya di luar negeri, dan ketika kembali ke Indonesia rekan-rekan
bisnisnya kebanyakan orang asing serta teman-teman sekolahnya di luar.
Maka
praktis setiap hari mereka lebih banyak berbicara dalam bahasa Inggris.
Suasana demikian ini seringkali saya jumpai. Seorang teman mengatakan, yang
lebih penting itu sikap patriotisme. Sikap membela kepentingan bangsa.
Sekalipun tiap hari bekerja di Indonesia dan berbicara, bahkan bermimpi,
dalam bahasa Indonesia, tetapi kalau kerjanya tidak benar, bahkan korup, itu
bertentangan dengan semangat nasionalisme dan patriotisme. Dia mencontohkan
orang Yahudi.
Mereka
itu hidupnya terpencar-pencar, terlahir dan tinggal di berbagai negara,
berbicara beragam bahasa, namun kecintaan dan kesetiaannya pada bangsanya
sangat militan. Jadi, bagi orang Yahudi, bahasa dan paspor tidak menghapus
sikap patriotisme. Sesama mereka diikat oleh hubungan darah yang kuat di mana
pun mereka terlahir dan tinggal. Makanya, agama Yahudi tidak termasuk agama
misionaris yang mengajak orang lain memeluk agama Yahudi.
Lalu,
apakah yang mengikat bagi nasionalisme Indonesia? Salah satunya adalah
bahasa. Sekalipun bahasa Indonesia sering dikatakan sebagai bahasa persatuan.
Dulu banyak pejuang kemerdekaan berbicara bahasa Belanda, atau bahasa daerah,
namun mereka tetap patriotik membela Indonesia.
Mungkin
ikatan paling kuat adalah collective
memory yang diturunkan dari generasi ke generasi, betapa pahitnya
penduduk Nusantara ini dijajah kekuatan asing. Makanya, ada pendapat,
nasionalisme Indonesia itu merupakan anak kandung penjajahan. Penjajahan
telah menyatukan penduduk Nusantara dan bangkit membangun rumah bersama,
yaitu bangsa dan negara Indonesia.
Asumsi
dari logika ini adalah: jika penjajah tidak hadir ke wilayah Nusantara, yang
bermunculan adalah negara-negara kesultanan atau negara suku mirip
negara-negara kecil di Afrika, Eropa, atau Arab. Peristiwa Sumpah Pemuda 1928
dan Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah tiang pancang nasionalisme Indonesia
dengan pemandu Pancasila sebagai ideologi negara dengan motto Bhinneka
Tunggal Ika.
Nasionalisme
yang dijaga dalam pelataran teritori dari Aceh sampai Papua, namun cita-cita
kemerdekaannya melampaui wilayah teritori karena salah satu tujuan membentuk
bangsa dan negara adalah membangun peradaban unggul dan berpartisipasi
menciptakan perdamaian dunia.
Ketika
kita memasuki peradaban baru dalam dunia yang lebih damai, semangatnya bukan
lagi bertempur dengan senjata serta bergerilya keluar-masuk kampung, tetapi
anak-anak kita memasuki pergaulan dunia. Jadi, penetrasi dan penggunaan
bahasa asing, terutama Inggris, terlihat semakin meluas dalam masyarakat kita.
Semoga sikap patriotisme mereka tetap kokoh sekalipun volume berbahasa
Indonesia mengecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar