Pilgub
Rasa Pilpres
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 11 Februari 2017
Pada 21
September 2016 Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono
mengatakan, ”Ini Pilkada DKI rasa pilpres.” Selang dua hari kemudian, Demokrat
bersama tiga partai lainnya mengumumkan pencalonan putra Yudhoyono, Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai calon gubernur DKI bersama calon wakil
gubernur Sylviana Murni.
Tak mustahil,
jika kelak memenangi Pilgub DKI, AHY akan langsung mengikuti Pilpres 2019.
Mungkin begitu juga dengan Anies Baswedan yang pernah mengikuti konvensi
Partai Demokrat, yang menyeleksi sejumlah capres, yang akhirnya gagal
bertarung pada Pilpres 2014.
Cawagub yang
mendampingi Anies, Sandiaga Uno, juga tokoh muda yang layak masuk hitungan
pada Pilpres 2019. Sandiaga ”businessman-cum-politician” punya modal dana
politik yang mencukupi plus partai yang tepat, Gerindra, untuk ikut Pilpres
2019.
Lalu,
bagaimana dengan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat? Tidak begitu
tercium aroma mereka mengincar jabatan yang lebih tinggi kecuali, sebagai
petahana, menyelesaikan pekerjaan untuk memajukan Ibu Kota.
Tidak ada yang
keliru dengan narasi ”pilgub rasa pilpres”. Lompatan karier politik ini sudah
ada ”cetak biru”-nya tatkala Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) ”loncat”
menjadi capres pada 2014 dan berhasil mengalahkan Prabowo Subianto di
pilpres.
Narasi ”pilgub
rasa pilpres” semakin kentara karena keterlibatan dua eks presiden, Megawati
Soekarnoputri dan Yudhoyono, plus seorang capres, Prabowo. Megawati
mempertaruhkan kebinekaan, Prabowo mempertaruhkan rencana dia kembali berlaga
di Pilpres 2019, dan Yudhoyono mempertaruhkan putra mahkotanya.
Adalah wajar
jika ”tiga raksasa” politik bertaruh, maka pertarungan jadi sengit. Itu
sebabnya kerap terjadi pengusiran pasangan calon yang berkampanye, adu survei
yang sahih atau abal-abal, politik uang yang kasatmata, dan perang saling
menjatuhkan melalui media sosial.
Ada
selentingan yang menyebutkan Presiden Jokowi mendukung Basuki-Djarot. Ini
bukan hal yang ganjil dan tidak perlu ada yang malu-malu kucing. Pasalnya,
Basuki diusung PDI-P, sementara Jokowi serta Djarot adalah kader PDI-P.
Narasi ”pilgub
rasa pilpres” menunjukkan politik memang menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Salah satu cara yang amat terasa di kontestasi kali ini adalah
mengeksploitasi isu agama untuk menyudutkan Basuki.
Eksploitasi
itu sudah berlangsung berbulan-bulan dan berpuncak pada proses pengadilan
Basuki yang kini masih berlangsung. Sebelum memasuki ruang pengadilan,
tuduhan penodaan agama bahkan sempat memunculkan protes massal pada 4
November dan 2 Desember 2016. Dua acara besar ini yang memunculkan tokoh
baru, Rizieq Shihab, yang kini menjadi tersangka penghinaan terhadap
Pancasila.
Setelah Rizieq
jadi tersangka, situasi kampanye menjadi relatif lebih tenang. Biarkan proses
persidangan Basuki berjalan lancar, pengerahan massa tak diperlukan lagi, dan
toh sebentar lagi kita memasuki masa tenang mulai 12 Februari sampai hari
pencoblosan 15 Februari.
Survei Litbang
Kompas beberapa hari lalu menempatkan elektabilitas pasangan calon nomor 2 di
atas nomor 1 dan 3. Tetapi, seperti yang terjadi di pilpres di Amerika
Serikat, November 2016, hasil survei bisa saja kurang akurat.
Memang seperti
yang terjadi pada setiap kontestasi, petahana selalu diunggulkan. Apalagi
petahana Basuki-Djarot, yang melanjutkan kepemimpinan Jokowi-Basuki, telah
membuat sejumlah gebrakan dalam kinerjanya.
Selain
mencetak prestasi pembangunan berbagai sarana fisik, misalnya proyek MRT dan
normalisasi sungai-sungai, kita yang tinggal di Jakarta mulai punya rasa
memiliki atas Ibu Kota. Terdapat asumsi di publik bahwa pasangan calon mana
pun yang akhirnya terpilih kiranya wajib melanjutkan warisan sukses yang
ditinggalkan Jokowi-Basuki/Basuki-Djarot.
Sebagian warga
merasa alangkah lebih baik andaikan Pilgub DKI hanya satu putaran. Ini dapat
dimaklumi mengingat warga sudah berbulan-bulan hidup lelah dan waswas
mengkhawatirkan terjadinya kericuhan lagi seperti pada 4 November 2016 di
sekitar Monas, aksi segelintir massa yang merusak di Jelambar, serta ancaman
pendudukan massa di Kompleks MPR-DPR yang berlangsung sampai dini hari 5
November 2016.
Kerusuhan
massal di Jakarta seperti yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 dan 15 Januari
1974 tidak bisa ditoleransi lagi.
Kalau Pilgub
DKI ternyata dua putaran? Ya, kita warga pemilih sabar-sabar sajalah.
Tidak ada
jaminan masa tenang sampai hari pencoblosan 15 Februari tidak akan diwarnai
operasi ”senyap”, serangan fajar, atau aksi-aksi persuasif yang diam-diam
dilakukan semua pasangan calon. Namun, persuasi, intimidasi, ataupun
manipulasi sulit berhasil karena pemilih di Jakarta sudah tergolong rasional.
Ingat, kita memilih gubernur, bukan presiden. Nah, selamat
memilih! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar