Penuhi
Hak Para Disabilitas
Dinna Wisnu ; Spesialis Politik Ekonomi Internasional;
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM
Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR)
|
KOMPAS, 11 Februari 2017
Program
peningkatan kualitas hidup di perkotaan seperti Jakarta akhirnya menyinggung
tema pemenuhan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas. Patut disadari
bahwa pemerintah daerah adalah ujung tombak pemenuhan HAM bagi penyandang
disabilitas, baik di tataran cara pandang yang tepat maupun di tataran
implementasi kebijakan.
Di Komisi HAM
Antar-Pemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human
Rights/AICHR), perhatian para pengambil kebijakan di Indonesia adalah
perkembangan positif yang patut dihargai. Namun, mengingat perjuangan
memenuhi hak penyandang disabilitas sudah berjalan sangat panjang, ada
baiknya diinformasikan tantangan riil yang wajib dikelola pemerintah daerah.
Ubah cara pandang
Pertama,
pemenuhan hak penyandang disabilitas harus dimulai dari pemahaman bahwa kita
sebagai masyarakat terlalu sering menciptakan hambatan dan standar yang
mempersulit para penyandang disabilitas untuk menjalani hidup secara
bermartabat dan mandiri. Dalam lingkaran kecil keluarga dan pertemanan, kita
mudah sedih, kecewa, dan menyerah ketika diberi kepercayaan mendampingi
mereka. Alasan ”tidak paham” kerap membuat kita melempar tanggung jawab pada
”ahli” yang sebenarnya adalah kalangan yang tekun mau memahami cara-cara
belajar dan hidup mandiri yang berbeda dari penyandang disabilitas.
Cara pandang
yang wajib dikembangkan adalah sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas (yang mengganti UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat), menyusul ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak
Penyandang Disabilitas oleh Indonesia pada Maret 2007. Dalam UU terbaru ini,
penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang patut
dikasihani dan diberi bantuan, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang
harus disalurkan potensinya dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan
masyarakat, berhak dihormati tanpa dikurangi haknya, dilindungi dan diayomi
sehingga mereka tumbuh menjadi individu atau kelompok yang tangguh dan
mandiri (Pasal 1).
Upaya
memperkuat perubahan cara pandang ini juga dikembangkan terus di AICHR
melalui rangkaian dialog regional pada tahun 2015, 2016, dan segera di 2017
untuk memahami hal-hal yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat jika
kita mau fleksibel dalam cara-cara mengakomodasi kebutuhan penyandang
disabilitas dalam aktualisasi diri (disebut reasonable accomodation). Dalam
enam kali rangkaian pertemuan AICHR, Indonesia dengan para pemangku
kepentingan di kementerian/lembaga dan kelompok penyandang disabilitas
sepanjang 2016 dan 2017 masih ditemui tantangan serius tentang cara pandang
yang keliru terhadap penyandang disabilitas di level politisi, birokrasi, dan
masyarakat.
Sekolah yang
menemui bahwa muridnya menyandang disleksia, attention deficit disorder, slow
learner, lemah penglihatan, dan autisme lebih senang menyarankan orangtua
untuk mencari sekolah luar biasa. Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 sudah mewajibkan seluruh sekolah agar
menyediakan pendidikan inklusi di tingkat SD, SMP, dan SMA bagi siswa yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan potensi kecerdasan
atau bakat istimewa. Para pendidik dan orangtua belum sadar bahwa jenis
ujian, kesabaran, dan sejumlah cara hemat biaya, misalnya waktu ujian yang
lebih panjang, soal ujian yang dibacakan, atau menjawab soal ujian secara
lisan, bisa diterapkan asalkan ada kemauan.
Di dalam
keluarga dan masyarakat, anak penyandang disabilitas masih dianggap aib dan
beban bagi keluarga sehingga kerap kehilangan hak kependudukan akibat tidak
memperoleh akta kelahiran. Program pendataan penyandang disabilitas termasuk
yang pada 2015 dan 2016 dihapus dari mata anggaran pemerintah pusat akibat
pengetatan anggaran. Alhasil, saat ini hanya mengandalkan pendataan melalui
Susenas di Badan Pusat Statistik yang menyasar kelompok 40 persen termiskin
di Indonesia; lagi-lagi ini menggambarkan cara pandang keliru bahwa
penyandang disabilitas yang perlu didata adalah yang miskin dan perlu diberi
belas kasihan.
Kedua,
pemenuhan hak penyandang disabilitas harus dikawal ketat di tataran
implementasinya. Sebab, dari segi hukum dan peraturan, bahkan anggaran,
sebenarnya sudah ada alokasinya tetapi karena hambatan teknis terjadilah
implementasi yang jauh dari pemenuhan hak tersebut.
Contoh, sudah
ada proyek pembangunan trotoar dan jalur kursi roda yang ramah disabilitas,
tetapi baru sedikit trotoar dan jalur kursi roda yang sungguh aman bagi
penyandang disabilitas. Jalur trotoar ada yang menyempit dan menanjak dengan
kemiringan yang terlalu berbahaya, demikian pula jalur kursi roda untuk bus
transjakarta kerap terhenti di beberapa titik karena ada pintu-pintu besi
penghalang. Meskipun kelompok disabilitas dimintai pandangannya saat
perencanaan proyek, mereka tidak diikutsertakan lagi untuk mengontrol
kualitas proyek.
Ketiga,
pemenuhan hak penyandang disabilitas harus berangkat dari pemahaman: negara
wajib memenuhi hak, bukan karena jumlah penyandang disabilitas yang banyak
atau sedikit, tetapi karena semangat saling mendukung. Dalam diskusi saya
dengan beberapa tokoh politik Indonesia, sempat muncul respons bahwa mereka
yang ”normal” pun masih kurang pekerjaan, bagaimana kemudian negara perlu
memberi prioritas kepada penyandang disabilitas?Komentar itu menggambarkan
tantangan pengarusutamaan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang
”normal” diberi kesan ada persaingan dengan penyandang disabilitas, padahal
sebenarnya yang dibutuhkan adalah rasa saling melengkapi dan saling mendukung
sebagai saudara.
Penyandang
disabilitas bisa hidup mandiri jika mereka difasilitasi dan diarahkan untuk
menghargai bakat dan kemampuannya. Desain universal yang sudah diadopsi di
banyak negara adalah contoh membantu mereka hidup mandiri. Misalnya
pencantuman aksara braille di semua lift dan mesin ATM bank, lokasi
penyeberangan pejalan kaki yang bersuara saat lampu hijau, halte dan stasiun
kendaraan umum yang ramah tunanetra dan tunadaksa, laman-laman internet yang
ramah bagi mereka yang kesulitan membaca dan melihat (karena desain warna,
penempatan gambar, dan jenis font yang tepat), tempat parkir khusus
penyandang disabilitas yang dekat dengan pintu masuk kantor/dan atau empat
perbelanjaan, serta bentuk bungkus produk-produk rumah tangga dan kosmetik
yang bisa membantu tunanetra.
Pemenuhan hak
hidup mandiri dan dihargai bakat dan karyanya juga bisa dilakukan dengan
membuka akses perbankan bagi penyandang disabilitas. Jika identitas retina
dan sidik jari bisa digunakan, mengapa akses membuka rekening di Indonesia
hanya boleh dengan cara tanda tangan? Demikian pula hak bekerja. Jika
pembagian kerja bisa diatur sesuai keterampilan, mengapa tidak dibuka peluang
bagi penyandang disabilitas menerapkan keterampilannya dalam menjahit,
meronce, mengerjakan tugas-tugas kesekretariatan, atau customer service
secara part time atau full time di perusahaan atau kantor pemerintah?
Di Thailand
sudah ada terobosan mal yang didukung oleh staf para penyandang disabilitas
tunagrahita dan toko kue yang pegawainya semua penyandang disabilitas. Jam
kerja mereka disesuaikan dengan kemampuan. Di Indonesia sudah terbukti ada
tokoh-tokoh disabilitas yang hebat sebagai dosen dan peneliti di universitas,
konsultan, dan seniman meskipun mereka kebanyakan berkarya di lingkup
terbatas dan belum dikenal secara nasional.
Artinya, program ramah disabilitas bukanlah barang baru tetapi
belum efektif karena perspektifnya masih keliru dan implementasinya
menghadapi tantangan teknis. Jika pemerintah daerah belum bisa mengubah cara
pandang terhadap kelompok disabilitas dan membantu hal-hal dasar yang membuat
penyandang disabilitas dihargai kemandirian dan martabatnya, program apa pun
hanyalah sekadar proyek yang manfaatnya terbatas dan sesaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar