Minggu, 12 Februari 2017

Tiga Tahun UU Desa

Tiga Tahun UU Desa
R Yando Zakaria ;  Praktisi Antropologi; Anggota Tim Ahli DPR RI untuk RUU Desa
                                                     KOMPAS, 11 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Kebijakan ini saya pastikan gagal,” ujar Didik J Rachbini suatu ketika. Dua tahun setelah itu, sebuah berita berkata lain: ”Dana desa sudah bisa memperkuat daerah-daerah terpencil.”

Tak mudah mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya. Sejak awal tidak ada baseline data yang digunakan sebagai pijakan. Tak ada masalah baru dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, mulai dari pusat hingga kabupaten, gagal menangkap roh UU Desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas tidak ditaati.

Hasil survei yang menggunakan metodologi digital terhadap 24 sumber berita di pusat dan daerah lebih minor lagi. Dengan mengecualikan beberapa kata kunci, berita yang paling banyak diliput adalah soal pemilihan kepala desa. Disusul tentang badan usaha milik desa (BUMDes); rencana pembangunan jangka menengah desa; musyawarah desa; serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Dua kepentingan kelompok elite desa lebih dapat tempat ketimbang tiga urusan lain terkait kepentingan warga.

Lilitan regulasi

Urutan masalah selama dua tahun pelaksanaan UU Desa lebih panjang daripada catatan keberhasilannya. Begitu kesimpulan Taufik Madjid, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), sebagaimana dilaporkan berbagai media. Mudah diduga, ini implikasi langsung kebijakan Presiden Jokowi yang membagi urusan desa pada tiga kementerian.

Secara horizontal, kebijakan antar-kementerian tidak saling berkesesuaian. Secara vertikal, kebijakan yang lebih rendah tak taat asas. Ambil contoh regulasi tentang kewenangan desa. Semula ia diatur dalam Permendes PDTT Nomor 1 Tahun 2015. Setahun kemudian baru muncul Permendagri No 44/2016. Masalahnya, rincian kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa antara kedua kebijakan itu tak sama. Timbul kebingungan di lapangan. Padahal, kejelasan kewenangan desa ini penting untuk penyusunan dokumen perencana dan alokasi anggaran desa.

Isu lain: regulasi tentang penataan desa. Tiga tahun kebutuhan ini dibiarkan kosong. Akibatnya, inisiatif mendirikan sekitar 130 desa adat di tingkat daerah tidak bisa dilanjutkan dengan proses registrasi desa (Zakaria, 2015, dan Epistema Institute, 2017). Baru akhir Januari lalu, tanpa proses konsultasi publik, Kemendagri memberlakukan Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa.

Toh, persoalan tidak langsung selesai. Persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa. Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidak sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional kepada masyarakat adat yang tertunda selama 70 tahun itu tidak akan segera terlaksana.

Tidak taat asas

Sejatinya, substansi pengaturan yang ada pada Permendes PDTT No 1/2015 jauh lebih konsisten ketimbang Permendagri No 44/2016. Paling tidak, meski hanya mengatur soal kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, Permendes PDTT No 1/2015 setidaknya mengulangi apa yang telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 43/2015. Sementara Permendagri No 44/2016 cenderung lebih menyederhanakan karena itu menjadi multitafsir.

Persoalan jadi makin rumit di tingkat kabupaten/kota. Untuk bisa menyalurkan dana desa, misalnya, kabupaten terpaksa menetapkan kewenangan desa. Padahal, kebijakan induk belum tersedia. Di tingkat kabupaten/kota kewenangan desa itu menjadi jauh lebih sempit lagi.

Masalah koordinasi pun kemudian jadi kebutuhan. Namun, kebijakan yang menaungi pun tidak kunjung datang. Masalah lain yang menonjol soal prioritas penggunaan dana desa dan alokasi dana desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas juga belum diterapkan secara lebih konsisten. Faktanya, tiap tahun ada arahan dari pusat bagaimana dana desa pada tahun berjalan harus digunakan. Di tingkat lapangan, apa yang telah direncanakan dan diputuskan lewat musyawarah desa jadi teringkari.

Upaya peningkatan pelayanan publik pun lalu jadi polemik. Sebagian kalangan berpendapat, desa tidak berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang jadi tugas negara, tetapi meningkatkan layanan melaluipenyediaan. Sebagian kelompok lain memahami pelayanan publik desa tidak ada bedanya dengan pelayanan publik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebagian kelompok lagi menghendaki pelayanan publik desa harus diatursecara administratif, baku, dan ketat (rezim administratif) (Ahmad Rofiq, 2016).

Masalah korupsi

Di samping beberapa masalah yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat sejumlah masalah lain yang juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik (pemerintah) pusat maupun (pemerintah) daerah, dan juga para pihak yang peduli.

Pekerjaan rumah tersebut antara lain: (a) persoalan kapasitas aparatur aparat desa; (b) keragaman sistem aplikasi yang dipersiapkan untuk membantu administrasi dan keuangan desa; (c) masalah perekrutan dan kapasitas pendamping desa; (d) kejelasan pembagian kegiatan ”desa membangun” di suatu sisi dan ”pembangunan desa” di sisi lain; (e) alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang lebih peduli dengan masalah kemiskinan dan kepentingan kelompok marjinal di dalam desa; (f) partisipasi masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan terlebih lagi dalam proses pengawasan dari bawah; (g) masalah demokratisasi desa, utamanya keterwakilam kelompok-kelompok marjinal dan rentan dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa; serta (h) efektivitas dana desa, alokasi dana desa, dan aset desa (termasuk efektivitas BUMDes).

Kebijakan BUMDes yang jadi program utama Menteri Desa PDTT saat ini dianggap banyak pihak bertentangan dengan semangat UU Desa itu sendiri. ”Kacau-balau! Sepertinya Pak Menteri ndak paham soal BUMDes yang seharusnya bagian dari kewenangan lokal berskala desa. Bukan bagian dari tugas perbantuan sebagaimana yang dimaksudkan Pak Menteri,” komentar seorang pegiat BUMDes dari Kabupaten Bantul.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian tentu saja soal korupsi. Merujuk jumlah kasus yang diterima (sekitar 362 kasus) dan yang layak ditindaklanjuti (87 kasus) KPK, secara persentase relatif rendah. Namun, menurut seorang mantan wali nagari di Sumatera Barat, kasus sejenis seharusnya jauh lebih luas. ”Itu hanya puncak gunung es,” kata sang mantan wali nagari itu menanggapi sebuah posting di laman Facebook.

Singkat kata, implementasi UU Desa, kecuali yang komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan aliran dana ke desa yang tahun anggaran 2017 ini mencapai angka Rp 60 triliun, memang masih jauh dari memuaskan. Maka, kritik tentang ambiguitas pengaturan desa oleh lebih dari satu kementerian itu perlu menjadi perhatian presiden dan para pembantunya. Waktu ”belajar” tiga tahun rasanya cukup untuk menerapkan UU Desa ini secara lebih konsekuen di masa-masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar