Tiga
Tahun UU Desa
R Yando Zakaria ; Praktisi Antropologi; Anggota Tim Ahli DPR
RI untuk RUU Desa
|
KOMPAS, 11 Februari 2017
“Kebijakan ini
saya pastikan gagal,” ujar Didik J Rachbini suatu ketika. Dua tahun setelah
itu, sebuah berita berkata lain: ”Dana desa sudah bisa memperkuat
daerah-daerah terpencil.”
Tak mudah
mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa setelah tiga tahun penerapannya.
Sejak awal tidak ada baseline data yang digunakan sebagai pijakan. Tak ada
masalah baru dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, mulai dari pusat
hingga kabupaten, gagal menangkap roh UU Desa. Prinsip rekognisi dan
subsidiaritas tidak ditaati.
Hasil survei
yang menggunakan metodologi digital terhadap 24 sumber berita di pusat dan
daerah lebih minor lagi. Dengan mengecualikan beberapa kata kunci, berita
yang paling banyak diliput adalah soal pemilihan kepala desa. Disusul tentang
badan usaha milik desa (BUMDes); rencana pembangunan jangka menengah desa;
musyawarah desa; serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Dua kepentingan
kelompok elite desa lebih dapat tempat ketimbang tiga urusan lain terkait
kepentingan warga.
Lilitan regulasi
Urutan masalah
selama dua tahun pelaksanaan UU Desa lebih panjang daripada catatan
keberhasilannya. Begitu kesimpulan Taufik Madjid, Direktur Pemberdayaan
Masyarakat Desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Kemendes PDTT), sebagaimana dilaporkan berbagai media. Mudah
diduga, ini implikasi langsung kebijakan Presiden Jokowi yang membagi urusan
desa pada tiga kementerian.
Secara
horizontal, kebijakan antar-kementerian tidak saling berkesesuaian. Secara
vertikal, kebijakan yang lebih rendah tak taat asas. Ambil contoh regulasi
tentang kewenangan desa. Semula ia diatur dalam Permendes PDTT Nomor 1 Tahun
2015. Setahun kemudian baru muncul Permendagri No 44/2016. Masalahnya,
rincian kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal
berskala desa antara kedua kebijakan itu tak sama. Timbul kebingungan di
lapangan. Padahal, kejelasan kewenangan desa ini penting untuk penyusunan
dokumen perencana dan alokasi anggaran desa.
Isu lain:
regulasi tentang penataan desa. Tiga tahun kebutuhan ini dibiarkan kosong.
Akibatnya, inisiatif mendirikan sekitar 130 desa adat di tingkat daerah tidak
bisa dilanjutkan dengan proses registrasi desa (Zakaria, 2015, dan Epistema
Institute, 2017). Baru akhir Januari lalu, tanpa proses konsultasi publik,
Kemendagri memberlakukan Permendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa.
Toh, persoalan
tidak langsung selesai. Persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat
diberlakukan sama dengan pembentukan desa. Padahal, sebagaimana diatur pada
Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidak sama dengan
proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang
konstitusional kepada masyarakat adat yang tertunda selama 70 tahun itu tidak
akan segera terlaksana.
Tidak taat asas
Sejatinya,
substansi pengaturan yang ada pada Permendes PDTT No 1/2015 jauh lebih
konsisten ketimbang Permendagri No 44/2016. Paling tidak, meski hanya
mengatur soal kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal
berskala desa, Permendes PDTT No 1/2015 setidaknya mengulangi apa yang telah
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 43/2015. Sementara Permendagri No
44/2016 cenderung lebih menyederhanakan karena itu menjadi multitafsir.
Persoalan jadi
makin rumit di tingkat kabupaten/kota. Untuk bisa menyalurkan dana desa,
misalnya, kabupaten terpaksa menetapkan kewenangan desa. Padahal, kebijakan
induk belum tersedia. Di tingkat kabupaten/kota kewenangan desa itu menjadi
jauh lebih sempit lagi.
Masalah
koordinasi pun kemudian jadi kebutuhan. Namun, kebijakan yang menaungi pun
tidak kunjung datang. Masalah lain yang menonjol soal prioritas penggunaan
dana desa dan alokasi dana desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas juga
belum diterapkan secara lebih konsisten. Faktanya, tiap tahun ada arahan dari
pusat bagaimana dana desa pada tahun berjalan harus digunakan. Di tingkat
lapangan, apa yang telah direncanakan dan diputuskan lewat musyawarah desa
jadi teringkari.
Upaya
peningkatan pelayanan publik pun lalu jadi polemik. Sebagian kalangan
berpendapat, desa tidak berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang jadi
tugas negara, tetapi meningkatkan layanan melaluipenyediaan. Sebagian
kelompok lain memahami pelayanan publik desa tidak ada bedanya dengan
pelayanan publik oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebagian kelompok lagi
menghendaki pelayanan publik desa harus diatursecara administratif, baku, dan
ketat (rezim administratif) (Ahmad Rofiq, 2016).
Masalah korupsi
Di samping
beberapa masalah yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat sejumlah
masalah lain yang juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik
(pemerintah) pusat maupun (pemerintah) daerah, dan juga para pihak yang
peduli.
Pekerjaan
rumah tersebut antara lain: (a) persoalan kapasitas aparatur aparat desa; (b)
keragaman sistem aplikasi yang dipersiapkan untuk membantu administrasi dan
keuangan desa; (c) masalah perekrutan dan kapasitas pendamping desa; (d)
kejelasan pembagian kegiatan ”desa membangun” di suatu sisi dan ”pembangunan
desa” di sisi lain; (e) alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang lebih
peduli dengan masalah kemiskinan dan kepentingan kelompok marjinal di dalam desa;
(f) partisipasi masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan
terlebih lagi dalam proses pengawasan dari bawah; (g) masalah demokratisasi
desa, utamanya keterwakilam kelompok-kelompok marjinal dan rentan dalam
proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa; serta (h) efektivitas
dana desa, alokasi dana desa, dan aset desa (termasuk efektivitas BUMDes).
Kebijakan
BUMDes yang jadi program utama Menteri Desa PDTT saat ini dianggap banyak
pihak bertentangan dengan semangat UU Desa itu sendiri. ”Kacau-balau!
Sepertinya Pak Menteri ndak paham soal BUMDes yang seharusnya bagian dari
kewenangan lokal berskala desa. Bukan bagian dari tugas perbantuan
sebagaimana yang dimaksudkan Pak Menteri,” komentar seorang pegiat BUMDes
dari Kabupaten Bantul.
Salah satu
persoalan yang perlu mendapat perhatian tentu saja soal korupsi. Merujuk
jumlah kasus yang diterima (sekitar 362 kasus) dan yang layak ditindaklanjuti
(87 kasus) KPK, secara persentase relatif rendah. Namun, menurut seorang
mantan wali nagari di Sumatera Barat, kasus sejenis seharusnya jauh lebih
luas. ”Itu hanya puncak gunung es,” kata sang mantan wali nagari itu
menanggapi sebuah posting di laman Facebook.
Singkat kata, implementasi UU Desa, kecuali yang komitmen
pemerintah untuk terus meningkatkan aliran dana ke desa yang tahun anggaran
2017 ini mencapai angka Rp 60 triliun, memang masih jauh dari memuaskan.
Maka, kritik tentang ambiguitas pengaturan desa oleh lebih dari satu
kementerian itu perlu menjadi perhatian presiden dan para pembantunya. Waktu
”belajar” tiga tahun rasanya cukup untuk menerapkan UU Desa ini secara lebih
konsekuen di masa-masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar