Islamofobia,
Dunia dan Indonesia
Susilo Bambang Yudhoyono ; Presiden ke-6 Republik Indonesia
|
REPUBLIKA, 07 Februari 2017
Bulan Mei 2016
yang lalu, saya menghadiri pertemuan Wise Persons Council Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) di Jeddah, Saudi Arabia. Ada tiga orang yang diangkat
menjadi Wise Persons Council ini, yaitu mantan presiden Turki Abdullah Gul,
mantan presiden Nigeria Abdulsalami Abubakar, dan saya sendiri.
Dalam
pertemuan maraton yang produktif tersebut, saya menyampaikan pandangan bahwa
Islamofobia dan ketegangan Islam dengan Dunia Barat tampak makin meningkat.
Kalau dibiarkan, kondisi dan situasi seperti ini tidak baik. Negara-negara
Islam dan OKI harus bisa memerangi Islamofobia ini, agar Islam mendapatkan
tempatnya yang terhormat di panggung dunia, serta bebas dari rasa kebencian
dan permusuhan pihak mana pun. Menyangkut hubungan Islam-Barat, kedua belah
pihak harus bisa pula mengurangi derajat ketegangan bahkan permusuhan ini
dengan efektif.
Dalam kaitan
ini, kebijakan Presiden Trump yang melarang dan membatasi masuknya
orang-orang Islam ke Amerika Serikat saya pandang bertentangan dengan
semangat yang hendak kita bangun ini.
Tidak ada
resep yang ajaib untuk mengatasi baik Islamofobia maupun ketegangan
Islam-Barat. Masalahnya kompleks, sensitif, dan delicate. Akar dari
Islamofobia, kebencian dan buruknya hubungan Islam-Barat adalah rendahnya
toleransi, tenggang rasa, dan saling pengertian yang mendalam.
Perbaikan
terhadap tiga akar permasalahan ini mesti dilakukan secara bersama oleh dunia
Islam dan dunia Barat. Jika ke depan ini kita bisa memperkuat toleransi,
ketenggangrasaan, dan saling pengertian, permasalahan mendasar ini dalam
batas-batas tertentu akan dapat kita atasi. Insya Allah, makin ke depan dunia
akan makin damai, paling tidak, dalam jangka menengah tidak makin memburuk.
Maaf mengatasi
isu ini bukankah semudah membalik tangan. Saya paham dunia. Karena itu, saya
memilih menjadi realis ketimbang utopis, dengan tetap menjunjung harapan dan
optimisme.
Jika
Islamofobia , seperti halnya Kristenfobia, berkaitan dengan ketakutan dan
kebencian, dua-duanya adalah soal emosi. Dominique Moisi, seorang Prancis,
dalam bukunya Geopolitics of Emotions: How Cultures of Fear, Humiliation and
Hope are Reshaping the World menggambarkan terjadinya benturan emosi antara
Islam dengan Barat. Tesis Moisi ialah ada pihak yang merasa takut, tetapi di
pihak lain ada yang merasa dipermalukan (humiliated). Digambarkan masyarakat
Barat takut terhadap Islam karena aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang
kerap terjadi. Sementara, Islam merasa dipermalukan lantaran tidak
mendapatkan keadilan dan diperlakukan secara semana-mena oleh Barat.
Menurut saya,
tesis ini telah berkembang dan makin rumit. Benar pihak Barat takut terhadap
radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, tetapi Islam juga takut atas
serangan militer Barat yang mematikan dengan segala kecanggihnya
persenjataannya.
Sementara,
perasaan terhina dan dipermalukan kini juga bukan hanya milik Islam. Adalah
benar sebagian masyarakat Islam merasa ditinggalkan, tidak berdaya dan
dibiarkan begitu saja, ketika mereka hidup di kantong-kantong kemiskinan dan
ketertinggalan, akibat tatanan ekonomi global yang dinilai tidak adil. Namun,
secara psiko-sosial pihak Barat juga merasa dipermalukan karena merasa gagal
dan tak berdaya menghadapi aksi-aksi "perlawanan" kelompok Islam
yang menuntut keadilan, meskipun cara yang dipilih tidak selalu segaris
dengan ajaran Islam.
Toleransi
sering dijadikan kambing hitam oleh masyarakat Barat. Islam dianggap kurang
toleran. Sebaliknya, Islam menilai Barat kurang memiliki tenggang rasa. Saya
berpendapat toleransi harus disatukan dengan sikap tenggang rasa. Pihak Barat
harus menyadari bahwa tidak ada kebebasan yang benar-benar mutlak. Selalu ada
batasnya.
Pahami jiwa
dan semangat the Universal Declaration of Human Rights. Toleransi pun juga
memiliki batas. Sebaliknya, ketika pihak Barat kurang bertenggang rasa
terhadap ajaran dan praktik-praktik yang berlaku di agama Islam, Islam tidak
sepatutnya menjawab "tantangan" itu dengan cara kekerasan, termasuk
aksi-aksi teror.
Masih banyak
cara untuk melakukan protes secara damai. Pandangan seperti ini telah saya
sampaikan melalui tweet saya, dari Tokyo Jepang, saat terjadinya peristiwa
Carli Hebdo dahulu.
Ke depan, para
pemimpin negara-negara Islam dan Barat, serta para pemuka agama utamanya
Islam, Kristen dan Katolik, perlu memikirkan pendekatan, strategi dan
cara-cara yang efektif untuk mengurangi Islamofobia. Juga untuk mengurangi
rasa takut, rasa benci, dan terhina satu sama lain. Jalan untuk ini jelas
tidak mudah. Tetapi, saya percaya, dunia yang lebih rukun dan lebih damai
selalu bisa dihadirkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia
adalah Negara Pancasila yang berketuhanan. Indonesia merupakan negara majemuk
yang menghormati keberagaman. Sungguhpun Islam dianut 85 persen rakyat
Indonesia, atau saat ini setara dengan 221 juta dari 260 juta penduduk Indonesia,
tetapi sejak awal berdirinya republik para founding fathers tidak menetapkan
Islam sebagai dasar negara.
Saya kira
sikap dan pilihan ini sebuah tonggak penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sikap ini juga mencerminkan toleransi dan ketenggangrasaan yang
amat tinggi umat Islam Indonesia.
Dalam
perjalanan sejarahnya memang kerap terjadi gesekan antara Islam dan negara.
Juga antara Islam dengan umat beragama yang lain. Tetapi hal begini bukan
sesuatu yang luar biasa. Ingat, usia kemerdekaan kita belum genap satu abad.
Ini juga
menunjukkan bahwa proses nation building memang belum rampung. Tetapi, jika
dibandingkan negara-negara lain, utamanya di Timur Tengah dan Afrika,
hubungan Islam dengan agama lain di negeri ini dinilai sebagai kuat dan
stabil.
Alhamdulillah.
Namun, kita tidak boleh lalai dan harus merawat dan memperkukuh kebinekaan
kita secara serius dan terus-menerus.
Belakangan ini
ada sesuatu yang saya rasakan dan pikirkan dalam-dalam. Sejak terjadinya
ketegangan sosial-politik di penghujung tahun 2016 yang lalu, yang dipicu
oleh ucapan saudara Basuki Tjahaja Purnama yang dinilai melukai dan
melecehkan ajaran Islam, ada fenomena yang mengkahawtirkan.
Dalam
merespons aksi-aksi damai yang dilakukan kalangan umat Islam, saya merasakan
ada yang berlebihan. Melabelkan aksi-aksi damai itu sebagai ancaman terhadap
kebinekaan dan bahkan NKRI, menurut saya terlalu jauh. Kebijakan dan
aksi-aksi polisional negara terhadap kalangan Islam, dalam berbagai ragamnya,
menurut saya juga bisa kontra-produktif. Saya pikir, masih banyak cara-cara
yang lebih persuasif dengan mengedepankan soft power. Kalau tidak, akan
membangun emosi umat Islam yang merasa negaranya membenci mereka.
Jangan sampai
berkembang Islamofobia di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini.
Jangan sampai umat Islam merasa tersisih, kalah, dan tidak mendapat keadilan.
Ingat tesis dasar Dominique Moisi yang saya uraikan sebelumnya ~ rasa takut,
perasaan dipermalukan dan kebencian ~ yang bisa menimbulkan konflik yang
serius.
Saya yakin kita semua tidak menghendaki hal begitu terjadi di
negeri tercinta ini. Karena kita semua mencintai persatuan, keberagaman, dan
kerukunan. Waktu dan kesempatan masih ada. Diperlukan kecerdasan, rasa
kebangsaan, dan kearifan yang tinggi dari semua pemimpin dan anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar