Peran
Pers Cegah Korupsi
Agus Riewanto ;
Dosen Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana UNS
|
KORAN
JAKARTA, 08 Februari 2017
Setiap
tanggal 9 Februari diperingati Hari Pers Nasional (HPN). Dalam HPN tahun ini
pemerintah dan Dewan Pers untuk pertama kalinya akan meluncurkan logo
verifikasi media massa cetak, televisi, maupun online. Panitia juga akan
memberi penghargaan kepeloporan kepada sejumlah media dan insan pers. Ini
sebagai wujud apresiasi serta pengakuan komponen pers nasional.
Peringatan
HPN kiranya patut diapresiasai untuk menggelorakan semangat dan gerakan untuk
membangkitkan pers sebagai media yang dapat melakukan kontrol sekaligus
koreksi terhadap perilaku korup elite politik. Ini sekaligus mengedukasi
publik di tengah membanjirnya hoax yang meresahkan.
Semua
perpu mengapresiasi prakarsa pemerintah dan Dewan Pers yang telah melakukan
akreditasi atau verifikasi media yang mendidik, netral, dan tak penuh
prasangka. Warren Francke (1995) dalam The Evolving Watchdog: The Media’s
Role in Government Ethics mengingatkan, ketika tak ada lagi institusi yang
benar-benar steril dari kepentingan politik dan perilaku korup di semua lini,
pers satu-satunya harapan. Karena itu, pers harus selalu didorong agar dapat
bangkit sebagai alat “mengonggong” (watchdog) yang selalu meneriakkan
penegakan nilai-nilai serta kebajikan universal berdasarkan prinsip-prinsip
humanisme internasional.
Perlu
digarisbawahi amanat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di antaranya, pers
harusah dapat memenuhi keinginan masyarakat mengetahui kejadian atau
peristiwa lingkungannya. Pers harus menegakkan nilai-nilai kehidupan
demokrasi dalam masyarakat, mendorong penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Pers menghormati perbedaan dalam masyarakat.
Media
harus mengembangkan pendapat masyarakat secara umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat, dan benar. Dia wajib mengawasi secara kritis, mengoreksi
berbagai penyimpangan. Media massa harus memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Kini,
pers tidak hanya memproduksi berita dan informasi datar atau sekadar hiburan,
tapi telah berubah. Dia menginformasikan ke arah pembentukan opini publik dan
mengawasi kekuasaan politik menyimpang dan praktik-praktik bisnis haram
secara global.
Bahkan
dalam tradisi demokrasi modern media sebagaimana diingatkan Prabhat Ranjan
and Sinhuja Kashyab (2014) dalam Media as the Fourth Estate of Democracy
telah ditempatkan sebagai “pilar keempat” (The Fourth Estate). Dia secara
meyakinkan mampu menjadi pengeimbang pengawasan independen bersifat unofficial
dalam tradisi Trias Politica Mountisque: yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
Cabang
kekuasaan dalam demokrasi ini dalam era keterbukaan informasi global berbasis
teknologi internet tak lagi dapat bergerak bebas dalam menjalankan tugas.
Mereka tak hanya harus berdasakan konstitusi (UUD), tetapi juga atas dasar
opini publik yang disuarakan lewat media.
Membongkar
Bocornya
skandal Panama Papers yang megemparkan dunia beberapa waktu lalu, merupakan
puncak era keterbukaan global terhadap tindakan. Kini tak adalagi yang
bersifat sakral dan rahasia. Semua dapat dikonsumsi publik secara missal,
tanpa sekat negara, ras, dan agama. Seluruh informasi media yang berbau
irasional dan tak normatif akan memancing pengamatan internasional.
Kini
makin kokoh tradisi kebebasan berekpresi secara missal. Ini membuktikan tak
ada lagi relasi subordinat absolut antara penguasa dan rakyat, selebriti dan
kalayak, konglomerat dan rakyat. Karena tradisi subordinasi absolut telah
menghadirkan totaliter dalam politik dan konglomerasi ekonomi. Di mana-mana
muncul kaum rente yang tak terbendung dalam waktu lama. Semua itu telah
menghadirkan sistem politik timpang dan selalu memperlebar jurang kemiskinan.
Fakta
inilah yang mengilhami kelahiran sejumlah jaringan kerja agresif dan
investigatif awak media yang tergabung secara solid dalam berbagai asosiasi
internasional. Tujuannya agar mereka dapat meliput secara mendalam, tajam,
dan tepercaya berbagai macam informasi politik serta
penyimpangan-penyimpangan praktik-praktik bisnis haram internasional yang
dilakukan para konglomerat nakal. Ini seperti dilakukan International
Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) yang membocorkan data skandal
Panama Papers.
Karena
itu kekuatan media era digital ini kian tak terbendung dan sesungguhnya telah
hadir penjelmaan kekuasaan oleh media itu sendiri. Ketika kekuasaan makin
timpang dan korup di mana elite konglomerat kian rakus menyembunyikan
kekayaan dari hasil bisnis ilegal, akan dibongkar media.
Di
sinilah relevansi ungkapan klasik Jhon Stuart Mills (1956) Least government
is the best government (pemerintah yang baik perannya kian mengecil). Inilah
yang kemudian menghadirkan aliran peran negara minimalis. Ketika peran media
kuat dalam melayani informasi masyarakat yang mengontrol, maka sesungguhnya
peran pemerintah mesti kian mengecil.
Negara
dan para aparatusnya tak bisa lagi menyelewengkan kekuasaan (abuse of powers)
seenaknya. Demikian pula para rente ekonomi dan konglomerat nakal dunia tak
akan lagi dapat menyembunyikan aset-aset hasil korupsi dan bisnis illegal
dalam berbagai bentuk. Pers akan membongkarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar