Penonaktifan
Gubernur Terdakwa
Ikhsan Darmawan ;
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 13
Februari 2017
Setelah
berakhirnya masa kampanye Pilkada DKI Jakarta pada 11 Februari 2017 lalu,
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ternyata kembali diaktifkan menjadi
gubernur DKI Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) TjahjoKumolo.
Pilihan
kebijakan mantan anggota DPR RI ini tentu saja mengundang kritik dari
sejumlah pihak seperti akademisi dan politisi di DPR. Pasalnya apa yang
dilakukan Mendagri bertabrakan dengan setidaknya dua aspek: hukum dan etika.
Aspek hukum dalam hal ini bahwa tidak menonaktifkan Ahok setelah masa cuti
kampanyenya bertentangandenganPasal 83 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Klausul di UU
itu dengan jelas berbunyi: ”Kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah
diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan
tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak
pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah
belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Di sejumlah
media massa disebutkan bahwa Mendagri ”berlindung” di balik alasan menunggu
tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sampai persidangan terakhir, agenda
persi-dangan masih mendengar keterangan dari para saksi sehingga belum sampai
tahap penuntutan oleh jaksa. Padahal alasan itu tidak dapat diterima. Hal itu
mengingat ada dua pasal alternatif yang digunakan jaksa.
Salah satunya
Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya selama-lamanya lima tahun. Selain itu
di pasal lain dari UU No 23 Tahun 2014, khususnya Pasal 83 ayat (2),
disebutkan: ”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan
register perkara di pengadilan.” Kalimat pada pasal di atas menunjukkan bahwa
menunggu tuntutan jaksa tidaklah diperlukan.
Seperti
diketahui bersama, Ahok sudah menjadi terdakwa penistaan agama dengan Nomor
Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016. Langkah Mendagri ini tak pelak
menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan pada saat yang sama telah
menabrak hukum (baca: undang-undang) yang berlaku. Sulit bagi Mendagri untuk
berkelit bahwa tindakannya itu akan menguntungkan calon gubernur yang
didukung partai politik tempatnya berasal, baik itu disadarinya maupun tidak.
Tak pelak, hal
ini akan merupakan preseden buruk untuk masa yang akan datang. Untuk aspek
etika, seorang kepala daerah terdakwa juga seharusnya menyadari dirinya sudah
ditetapkan sebagai terdakwa, maka idealnya dia sejalan dengan isi UU
Pemerintahan Daerah, yakni nonaktif sebagai gubernur.
Bahkan ada
sederet contoh di masa lalu di mana ketika baru ditetapkan sebagai tersangka
saja, tak sedikit pejabat negara yang berinisiatif mengundurkan diri meskipun
belum tentu dirinya diputuskan bersalah di persidangan. Anas Urbaningrum dan
Andi Mallarangeng adalah dua contoh kecil di antaranya. Tindakan berbesar hati
turun dari jabatan yang sedang diduduki oleh seorang pejabat publik adalah
bagian dari praktik mengedepankan etika ketimbang hal lain seperti kepentingan
pribadi dan kelompok.
Begitu pula
dengan Mendagri, semestinya tidak bermain api dengan bersikukuh tidak
menonaktifkan Ahok. Publik tidak bisa dipaksa untuk sependapat dengan
argumentasi Mendagri seperti telah diungkapkan di atas. Pasalnya, jarak ke
hari H perhitungan suara hanya menyisakan beberapa hari saja. Demi
mengedepankan etika publik pula, sepantasnya Mendagri tidak keliru dalam
mengambil keputusan politik di tengah suasana ”hangat” di tengah-tengah
masyarakat.
Dampak Politis
Selain
bertentangan dengan aspek hukum dan etika, tidak menonaktifkan Ahok dari
kursi DKI-1 juga berdampak secara politik. Beberapa politikus di Senayan
mulai mewacanakan untuk mengusung hak angket kepada Presiden atas soal ini.
Reaksi dari
para legislator dapat diterima secara akal sehat karena Pasal 79 ayat 1 (b)
UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memperbolehkan hal itu.
Pasal 79 ayat
1 (b) diperkuat oleh Pasal 79 ayat 3 yang menyebutkan:
”DPR berhak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/ atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Entah sampai mana akhir dari polemik atas hal ini. Bukan hal mustahil bahwa
keputusan Mendagri ini akan berbuntut panjang. Kita tunggu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar