Demokrasi
Amerika Masih Hidup
Shamsi Ali ;
Presiden Nusantara Foundation;
Koordinator rally ’’Today I am a
muslim too’’ di New York
|
JAWA
POS, 13
Februari 2017
DALAM beberapa
hari ini ada berita yang menggembirakan bagi banyak orang di Amerika Serikat
(AS), khususnya komunitas muslim. Dan lebih khusus lagi komunitas muslim dari
tujuh negara yang dilarang oleh Presiden Donald Trump masuk AS. Tujuh negara
itu adalah Iran, Iraq, Syria, Libia, Yaman, Sudan, dan Somalia. Sebelumnya,
mereka dilarang masuk AS dengan alasan menjaga keamanan negara dari serangan
teror dari luar.
Pada hari
ditandatanganinya keputusan itu, yang menimbulkan kekacauan (chaos) di
berbagai bandara internasional Amerika, termasuk diadakannya demonstrasi
besar-besaran, baik di luar maupun dalam bandara. Ratusan penumpang yang
mendarat hari itu dari negara-negara termaksud ditahan di airport. Bahkan,
imbas kebijakan ini juga merambat ke penumpang muslim lainnya, di mana mereka
mendapat perlakuan yang buruk di imigrasi bandara AS.
Alhamdulillah,
ternyata karakter anti-Islam dan muslim Donald Trump, khususnya dengan
pelarangan orang Islam masuk AS ini, menumbuhkan simpati dan solidaritas
warga secara luas. Berbagai demo di bandara-bandara internasional justru
diinisiasi oleh warga AS nonmuslim, termasuk komunitas Yahudi.
Tekanan warga
di berbagai kota di AS meninggi. Sementara itu, berbagai asosiasi pengacara
melakukan gugatan hukum darurat menuntut agar kebijakan itu dibatalkan. Maka,
pada hari yang sama peraturan itu diperlakukan, Pengadilan Tinggi Brooklyn
menangguhkan pelarangan itu. Hasilnya, ratusan pendatang yang tertahan di
airport itu bisa masuk AS pada hari berikutnya. Setelah Pengadilan Tinggi
Brooklyn, peraturan itu kemudian dinyatakan batal dan tidak konstitusional
oleh Pengadilan Tinggi Negara Bagian Washington.
Merespons atas
pembatalan itu, pihak White House membawanya ke pengadilan menuntut agar
pembatalan itu ditangguhkan. Artinya, Trump berusaha tetap memperlakukan
pelarangan itu. Karena memang pelarangan itu disebutkan dalam masa tiga
bulan.
Akan tetapi,
sekali lagi Trump harus menerima kenyataan pahit bahwa pengadilan tinggi di
San Francisco di mana pemerintahannya mengajukan peninjauan kembali atas
pembatalan ’’executive order’’ itu ditolak secara aklamasi. Dari tiga hakim
tinggi yang memutuskan itu, semuanya menyatakan menolak keinginan Donald
Trump itu.
Trump,
sebagaimana biasanya, menyampaikan unek-uneknya lewat Twitter ’’see you in
court. The security of our nation at stake’’ (sampai ketemu di pengadilan.
Keamanan negara kita dalam bahaya).
Sekali lagi,
Trump menampakkan diri sebagai orang yang hidup dalam bayang-bayang dirinya
sendiri. Di mana, dirinya selalu merasa terancam (insecured) dan hanya dia
sendiri yang bisa menjamin keamanannya. Sebuah kepribadian yang terlepas dari
realitas sekitarnya.
Benarkah bahwa
dengan melarang orang Islam datang ke AS, negara dan bangsa ini akan lebih
aman? Dalam sejarahnya, AS selalu teruji oleh nilai-nilai kemanusiaan
universal yang dibanggakan. Bahwa AS adalah negara dan bangsa imigran,
terbuka untuk imigran, dan selalu mengedepankan sikap berkeadilan kepada
semua tanpa batas agama, ras, dan latar belakang kebangsaan.
Bersatu membangun solidaritas
Dari sudut
nilai-nilai universal AS inilah yang membangun kesadaran bangsa bahwa apa
yang dilakukan oleh presidennya saat ini salah. Sehingga wajar jika banyak
warga AS saat ini yang bangkit dan melakukan resistansi terhadap kebijakan
Trump itu.
Saya sendiri
sejak awal kampanye hingga terpilihnya dan bahkan hingga kini banyak mendapat
dukungan dari teman-teman nonmuslim. Baik itu secara langsung dengan
menawarkan perlindungan apa pun yang diperlukan dalam menghadapi tantangan
masa kini maupun secara tidak langsung dengan mengajak kerja sama dalam
membangun komunitas bersama yang solid.
Salah satu
bentuk nyata dari dukungan teman-teman nonmuslim adalah keinginan mereka
untuk secara terbuka menyatakan rasa simpati dan solidaritas dengan
mengadakan rally bertema ’’Hari ini kami juga muslim’’. Rencana kegiatan
tersebut diadakan pada 19 Februari mendatang di jantung kota New York, Time
Square.
Maksud dari
tema ’’Hari ini kamu juga muslim’’ adalah menyatakan bahwa apa yang
diperlakukan kepada umat Islam berarti itu juga diperlakukan kepada kami.
Kesadaran ini bahkan diekspresikan oleh sebagian pembesar AS dalam kata-kata
’’kalau sampai komunitas Islam didata (registry), maka kami akan menjadi
muslim’’.
Sungguh
komitmen besar dan jujur dari sebagian warga AS. Komitmen yang menggambarkan
karakter AS yang sesungguhnya. Dan disadari atau tidak, karakter inilah yang
menjadikan banyak kaum mustadh’afin dari berbagai belahan dunia datang ke
negara ini. Termasuk tentunya kakek dan nenek Trump datang dari Eropa mencari
karakter yang (harusnya) kasih (compassionate) tadi.
Berbagai tokoh
agama yang berpengaruh di Kota New York telah menyatakan kesiapannya untuk
hadir berbicara, antara lain, Cardinal Dolan (pimpinan Katolik), Rabbi Joseph
Potasnik (Majelis Rabi Yahudi di New York), Rabbi March Schneier (presiden
FFEU), Rev. Chloe Breyer (direktur Interfaith Center of New York), dan banyak
lagi.
Dari kalangan
pejabat akan hadir gubernur New York, jaksa agung New York, wali kota New
York, maupun anggota kongres yang mewakili New York di Washington DC.
Selain itu,
juga akan hadir beberapa selebriti Hollywood. Salah satu di antara mereka
yang memang menjadi bagian dari panitia pelaksana adalah Russell Simmons,
raja hiphop yang sangat terkenal. Sekitar lima atau enam tahun lalu saya dan
Russell Simmons pernah berkesempatan ketemu dengan Trump.
Rally yang
rencananya akan diliput secara luas oleh media mainstream ini seperti CNN,
NBC, ABC, MSMBC, bahkan Fox News maupun media luar seperti MBA, Aljazeerah,
dan Al-Hurrah akan menjadi salah satu perhelatan akbar sebagai bentuk
resistansi masyarakat kepada kebijakan Trump yang diskriminatif.
Sekaligus
selain kekalahan Trump di pengadilan tadi, rally ini juga membuktikan bahwa
demokrasi di Amerika masih hidup. Karena dalam dunia demokrasi, kekuasaan itu
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Toh memang di awal konstitusi AS tidak dikatakan ’’I the
president’’ (saya sebagai presiden). Tapi, ’’we the people’’ (kita rakyat).
Sehingga bagi saya bahwa di tengah badai tantangan itu, di balik rintangan
yang menggunung itu, ada sinar mentari tersenyum. Sehingga optimisme harus
terus dibangun karena memang harapan itu selalu ada. Insya Allah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar