Memuliakan
Ulama
Jazuli Juwaini ;
Ketua Fraksi PKS DPR
|
KORAN
SINDO, 13
Februari 2017
Ulama punya
maqom terhormat dalam sosiokultural bangsa kita. Secara teologis ulama adalah
waris atau penerus para Nabi. Sebagai penerus Nabi, tugas ulama adalah
men-syiar-kan ajaran agama sepeninggal Nabi dan Rasul. Maka peran mereka
mahapenting dalam membimbing umat untuk tetap istikamah dalam berislam,
memurnikan aqidah, dan menegakkan syariat Allah. Dalam dimensi kebangsaan
peran mereka adalah penjaga akhlak dan moralitas bangsa.
Mereka
mengajarkan nilai agama yang menjadi nafas kebangsaan kita sejalan dengan
sila pertama Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kemudian ditegaskan
kembali dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1): ”Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Landasan konstitusional tersebut menegaskan ciri khas negara
kita sebagai Negara bangsa yang religius (religious
nation state). Indonesia memang bukan negara agama dalam arti ada satu
agama yang menjadi agama negara, tapi Indonesia juga bukan negara sekuler
yang memisahkan urusan negara (publik) dan agama (privat).
Indonesia
jelas bukan negara ateis (tidak beragama) sebagaimana dianut negara komunis.
Agama di Indonesia—agama apa pun—menempati posisi yang penting, bahkan vital,
dalam kebangsaan kita. Dengan narasi demikian, peran ulama sebagai penerus
Nabi dan penjaga kemurnian agama menempati posisi yang terhormat. Pemuka
agama bukan saja menjadi rujukan umat beragama, tetapi juga menjadi rujukan
pemerintah/penguasa.
Tugas ulama
meluruskan pemimpin jika melenceng dari nilai-nilai luhur agama. Hal itu
bukan saja memiliki landasan teologis, tetapi juga landasan konstitusional.
Maka sepanjang periode pemerintahan di negara ini, penguasa (umara) selalu
berusaha menjaga relasi yang harmonis dengan ulama.
Peran Historis
Di samping
berperan sebagai penjaga moralitas bangsa, ulama punyaperanhistorisyangsangat
menonjol dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ulama menjadi
motor dan penggerak utama dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi
pertiwi. Ulama sebagai anutan umat, perintahnya laksana perintah komandan
kepada pasukannya. Maka kita mendengar berbagai kisah heroik laskar-laskar
santri yang dipimpin ulama, ada Hizbullah, Sabilillah, dan lainlain.
Kita juga
mengetahui kisah masyhur tentang fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asyari yang
berperan besar mengobarkan perlawanan mengusir Belanda yang ingin kembali
menjajah Indonesia dengan membonceng sekutu. Dengan resolusi tersebut, perang
melawan penjajah dianggap jihad fi sabilillah, yakni perang suci atau perang
sabil demi agama.
Belanda pun
kewalahan menghadapi barisan ulama dan santri hingga mengeluarkan segala cara
dan bujuk rayu untuk menaklukkan mereka. Salah satu cara yang mereka lakukan
adalah iming-iming kemudahan berhaji dengan fasilitas dan biaya murah dari
Belanda. Menghadapi propaganda itu, para ulama tetap pada sikap nonkooperatif
hingga KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa haram hukumnya pergi haji
menggunakan kapal Belanda.
Gerakan
nonkooperatif ini pun dilakukan dan dipimpin ulama-ulama lainnya. Para ulama
memobilisasi dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan penjajah.
Banyak ulama yang menjadi pemimpin perlawanan seperti Pangeran Dipenogoro,
Fatahillah, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, KH
Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Abbas Buntet, KH Zainal Mustafa.
Peran itu
terus berlanjut setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, para ulama
pergerakan tetap memainkan peran vital pada fase awal pembentukan negara
bangsa: penyusunan dasar negara, konstitusi, dan pemerintahan Indonesia
merdeka. Sejumlah ulama aktif dalam PPKI, BPUPKI, lalu menjadi menteri
kabinet dan anggota parlemen, di antaranya yang bisa disebut namanya: KH
Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, KH Kahar Muzakir, KH
M Natsir, KH Agus Salim. Tentu saja lebih banyak yang beramal bakti di
lapangan masyarakat melalui ormas yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah,
kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan sebagainya.
Dengan seluruh
paparan peran historis tersebut, jangan pernah meragukan kesetiaan ulama
kepada NKRI karena mereka berjuang di garis depan merebut kemerdekaan hingga
proses pembentukan negara. Jangan pertanyakan jiwa besar ulama dalam upaya
menjaga persatuan dan kesatuan negeri ini. Cukuplah sepenggal kisah tentang
hapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentang ”kewajiban melaksanakan
syariat Islam bagi pemeluknya”— atas permintaan saudara kita Nasrani dari
Indonesia timur— menjadi saksi betapa ulama negeri ini lebih cinta persatuan
dan kesatuan daripada siapa pun.
Memuliakan Ulama
Sejak masa
penjajahan para ulama menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
para penjajah. Spirit penyadaran tersebut tak pernah hilang dari peran para
ulama. Di berbagai pesantren, madrasah, organisasi, tablig, ceramah, dan
pertemuan lain, para ulama menanamkan kesadaran di hati rakyat akan
ketidakadilan dan kesewenang- wenangan. Dus, garis perjuangan ulama sejak
dulu kala jelas dalam menjaga republik ini dari tindakan yang merusak dan
mengarahkan pada maslahat bagi seluruh rakyat.
Maka dalam
menyikapi berbagai peristiwa aktual, antara lain ketika ulama memimpin umat
melakukan kritik dan koreksi atas kesewenangan hingga menuntut penegakan
hukum yang berkeadilan atas kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang
pejabat publik, hendaknya kita melihat dalam kacamata positif dan konstruktif
bagi masa depan kebangsaan Indonesia yang religius.
Demikian
halnya pandangan kita terhadap otoritas/kewenangan ulama dalam mengeluarkan
fatwa terkait dengan berbagai masalah umat Islam dan masalah-masalah
kebangsaan. Menjadi tugas ulama untuk menjaga kemuliaan agama dan ajarannya
sekaligus mengarahkan umat dalam menyikapi berbagai problematika kebangsaan.
Dengan cara pandang tersebut, menjadi kewajiban seluruh warga bangsa untuk
memuliakan ulama beserta seluruh fatwa/ pandangan keagamaannya dalam rangka
membimbing umat.
Jangan ada
pihak-pihak yang mendiskreditkan bahkan menuduh ulama dan fatwanya sebagai
sumber kegaduhan. Jangan ada pula pihak yang sewenang-wenang menyerang
integritas pribadi atau organisasi ulama dengan maksud atau tujuan politis,
apalagi membangun opini jahat bahwa gerakan (aksi) ulama dan umat dalam
membela Islam sebagai wujud intoleransi, anti kebinekaan, memecah belah
persatuan, atau bahkan mengancam Pancasila dan NKRI.
Sikap dan pandangan itu bukan saja melecehkan ulama, tetapi juga
mengingkari peran dan kontribusi ulama yang teramat besar bagi bangsa ini.
Untuk itu tidak ada jalan lain bagi bangsa ini kecuali memuliakan ulama dan
mengokohkan maqom-nya pada posisi yang terhormat di republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar