Penjara
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 11 Februari 2017
... hidup di bui bagaikan burung, bangun pagi makan nasi jagung,
tidur di ubin pikiran bingung, apa daya badanku terkurung...
Lagu lawas
yang dinyanyikan band D"lloyd ini sudah dilupakan orang. Semua sudah
kedaluwarsa. Istilah bui sudah tak lagi digunakan. Dalam kamus, kata bui
sudah dirujuk ke penjara. Adapun istilah penjara sudah pula tak dipakai. Kata
itu kurang sopan. Penggantinya lembaga pemasyarakatan, tempat yang digunakan
untuk kembali "memasyarakatkan" mereka yang tercerabut dari
"masyarakat".
Fasilitas
dalam penjara juga jauh dari lirik lagu dangdut era 1970-an itu. Apalagi
penjara sekelas Sukamiskin. Tak ada nasi jagung dan tidur di ubin. Penghuni
Sukamiskin orang-orang yang jauh dari miskin. Apalagi sejak 2012, ketika
Sukamiskin hanya diperuntukkan bagi terpidana kasus korupsi, yang ada adalah
kemewahan dibanding penjara lain. Terhukum yang seharusnya menjadi
"orang binaan" justru bisa membina para sipir. Mereka bisa
mendirikan saung untuk kongko sesama teman. Mereka bisa minum-minum bak di
sebuah restoran di luar penjara. Dan ketika sedikit batuk-batuk, mereka bisa
mendapatkan surat keterangan berobat ke luar penjara. Bahwa yang dituju klinik
kesehatan yang menyediakan apartemen adalah kebetulan yang sudah dirancang.
"Mereka
orang-orang terdidik," begitu alasan Denny Indrayana ketika menjabat
Wakil Menteri Hukum, yang punya ide mengumpulkan napi koruptor di Sukamiskin.
"Mereka juga punya hak asasi dan punya martabat," begitu alasan
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Dedi Handoko, untuk menjelaskan
kenapa terhukum itu bisa seenaknya mendirikan saung.
Di Sukamiskin,
para koruptor bisa tidur di kamar sendirian dengan fasilitas yang sempurna.
Ada tempat tidur dengan kasur busa, toilet, dan pendingin ruangan. Ini yang
membedakan dengan penjara di tempat lain yang bukan dihuni koruptor. Napi
non-koruptor bisa benar-benar tidur di ubin secara berdesakan, bahkan dengan
tubuh yang tak sempurna telentang. Antre ke toilet kalau tidak mau menampung
air seni ke botol minuman. Makan seadanya jatah penjara, meski bukan lagi
jagung. Jagung sudah mahal karena diimpor. Penjara-penjara kelebihan
penghuni, tapi tidak di Sukamiskin, yang masih ada kamar kosong.
Kenapa para
penghuni penjara harus dibedakan kastanya, sementara mereka sama-sama
terpidana dan telah diputus bersalah oleh mahkamah yang sama? Memisahkan
narapidana wanita dan pria, tentu masuk akal agar tak terjadi
"kekacauan" pada saat nafsu manusia yang alami memuncak. Memisahkan
terpidana anak-anak dengan dewasa juga perlu agar anak-anak bisa diselamatkan
masa depannya, yang masih panjang, untuk kembali ke masyarakat normal.
Bukankah penjara sudah menjadi lembaga pemasyarakatan? Tetapi memisahkan
mereka yang dihukum karena mencuri kambing dengan mereka yang melakukan
korupsi miliaran rupiah seharusnya tak terjadi. Begitu pula terpidana kasus
narkoba yang tidak ada kaitannya dengan rehabilitasi karena bukan pengguna.
Tak ada alasan untuk membedakan mereka ini.
Dengan tidak adanya penjara khusus di luar masalah gender dan
usia terpidana, maka ada perlakuan yang sama terhadap napi. Kalau hukum tak
pandang bulu, seharusnya terhukum pun tak pandang bulunya apa. Para koruptor
bisa beternak lele di penjara, berbaur dengan terpidana pembunuh dan pengedar
narkotik. Kalau itu dianggap melanggar hak asasi karena koruptor orang
terdidik, ya, menjadilah orang terdidik di masyarakat. Korupsi itu perbuatan
amat tercela, bukan perbuatan orang terdidik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar