Pemberhentian
Tunjangan Guru Besar
Bagong Suyanto ; Dosen FISIP Unair, sedang mengurus Jabatan
Guru Besar
|
JAWA
POS, 08
Februari 2017
MENJADI
guru besar atau profesor di Indonesia kini tidak bisa lagi hanya mengajar,
membimbing, dan menguji mahasiswa di ruang kelas. Dalam Peraturan
Menristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan
Tunjangan Kehormatan Profesor, di pasal 8 disebutkan, untuk bisa memperoleh
tunjangan kehormatan, seorang profesor di perguruan tinggi (PT) diwajibkan
menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal
internasional dalam kurun waktu tiga tahun atau minimal satu karya ilmiah di
jurnal internasional bereputasi.
Bagi
sebagian kalangan, peraturan terbaru Menristekdikti itu disambut positif
dalam rangka mendorong para guru besar lebih aktif menulis karya ilmiah di
kancah internasional. Tetapi, bagi sebagian pihak yang lain, keputusan baru
tersebut niscaya disambut sebagai peringatan yang kurang menyenangkan, tidak
realistis, dan bahkan dianggap memberangus hak-hak dosen yang dengan susah
payah meniti karir hingga menjadi guru besar.
Bisa
dibayangkan, seorang dosen yang meniti karir hingga 20 tahun atau bahkan 30
tahun lebih baru bisa menjadi guru besar dengan gaji hanya sekitar 20 juta
rupiah ternyata masih diimbuhi kewajiban baru yang tidak mudah. Bandingkan,
misalnya, dengan gaji pegawai Kementerian Keuangan atau PNS lain di
pemerintah daerah seperti Jakarta atau Surabaya yang telah diremunerasi dan
memperoleh gaji puluhan juta rupiah. Seorang lurah atau camat di DKI Jakarta,
misalnya, setelah gaji mereka diremunerasi, setiap bulan bisa membawa pulang
gaji resmi lebih dari Rp 30 hingga 50 juta.
Kesulitan
Dengan
jumlah guru besar setidaknya 5.097 orang dan dosen dengan jabatan lektor
kepala 31.010 orang, di atas kertas peluang kelompok intelektual di Indonesia
untuk menulis di jurnal internasional memang sangat terbuka. Angka publikasi
ilmiah internasional kita yang terindeks Scopus pada 2015 hanya 5.000-an.
Namun, per 5 Desember 2016, jumlahnya meningkat menjadi 9.012 jurnal. Pada
2017 ditargetkan produktivitas guru besar dan dosen pada umumnya bisa naik
menjadi 15–16 ribu artikel di jurnal internasional. Scopus adalah pusat data
(database) literatur ilmiah terbesar di dunia yang dimiliki Elsevier, salah
satu penerbit utama dunia.
Seberapa
jauh target yang telah ditetapkan dapat tercapai tentu masih akan diuji oleh
waktu. Meski belum optimal, diprediksi jumlah penerbitan artikel guru besar
ke jurnal internasional terus meningkat. Meski demikian, berharap para guru
besar dapat aktif menulis artikel di jurnal internasional yang bereputasi
harus diakui bukanlah hal yang mudah. Berikut sejumlah kesulitan yang
dihadapi selama ini.
Pertama,
dengan segala keterbatasan waktu dan gaji yang minim, seorang guru besar
umumnya tidak memiliki ruang yang leluasa untuk meneliti dan menulis artikel
ilmiah di jurnal internasional. Sebab, sehari-hari mereka sudah ditimbuni
berbagai kewajiban mengajar, membimbing, dan tugas-tugas lain (termasuk tugas
di birokrasi PT).
Berbeda
dengan para profesor di luar negeri yang memperoleh gaji sangat layak dan
dukungan dana serta kesempatan melakukan penelitian yang serius, di Indonesia
dengan dukungan dana hanya Rp 100–200 juta per penelitian, tentu tidak mudah
menghasilkan data dan hasil penelitian yang layak ditampilkan di jurnal
internasional bereputasi. Apalagi, jumlah proposal penelitian dari para dosen
yang disetujui Ditjen Dikti belakangan justru menurun.
Kedua,
berkaitan dengan kurangnya kemampuan para guru besar dalam berbahasa asing,
terutama bahasa Inggris. Selama ini bukan rahasia lagi, sebagian besar guru
besar yang bergelar PhD dari luar negeri sekalipun ternyata masih gagap dalam
menulis berbahasa Inggris, terutama dengan standar academic writing yang
berkualitas. Dari sekitar 5 ribu guru besar yang ada, diprediksi tidak lebih
dari 10 persen yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Terutama dalam
menulis berbahasa Inggris yang memenuhi standar dan kaidah akademis.
Pengalaman
saya menulis dan mengirim artikel di jurnal internasional yang terindeks
Scopus, meski sudah melewati proofread dari ahli bahasa Inggris di PT,
ternyata masih memperoleh komentar bahwa ada banyak kalimat yang perlu
diperbaiki dan harus kembali diserahkan kepada proofreader internasional yang
bersertifikat. Jadi, jangan berbicara soal konten atau sumbangan akademis
artikel ilmiah yang bisa ditawarkan. Dalam penyampaiannya pun, ternyata masih
ada masalah serius yang harus dibenahi. Pengalaman saya, setelah melewati
tiga kali perbaikan, baru artikel saya bisa dimuat di jurnal internasional
yang bereputasi.
Ketiga,
berkaitan dengan waktu antrean dan proses perbaikan artikel yang harus
dilalui selama proses pengiriman, melakukan perbaikan, hingga menunggu daftar
antrean untuk dimuat. Pengalaman sebagian dosen yang berhasil menembus jurnal
internasional, umumnya sekitar satu tahun lebih. Hanya sebagian kecil dosen
yang sudah berpengalaman berkali-kali menulis dan dimuat di jurnal
internasional, yang waktu tunggu mereka tidak sampai satu tahun. Saya
sendiri, setelah melakukan berkali-kali revisi, baru dua tahun artikel saya
bisa dipublikasikan di jurnal internasional.
Sanksi vs Insentif
Menulis
dan menghasilkan artikel ilmiah yang bisa dimuat di jurnal internasional
sungguh bukan hal yang mudah. Untuk merangsang para intelektual tanah air
antusias menulis di jurnal internasional, di satu sisi memang dibutuhkan
komitmen dan dukungan pemerintah, khususnya Kemenristekdikti. Tetapi, sekadar
mengandalkan instrumen kebijakan yang bersifat punitif, seperti mengancam
memberhentikan pemberian tunjangan kehormatan bagi guru besar, sesungguhnya
bukan tidak mungkin malah berpotensi kontraproduktif.
Kebijakan
Kemenristekdikti menawarkan insentif bagi dosen yang menulis di jurnal
internasional bereputasi, meski belum maksimal, harus diakui telah memberikan
hasil yang signifikan. Jumlah publikasi artikel di jurnal internasional dalam
kurun waktu setahun terakhir telah naik dua kali lipat. Kebijakan yang
sifatnya memfasilitasi dan menawarkan insentif seperti itu niscaya perlu
terus dikembangkan daripada mengembangkan kebijakan yang sifatnya meregulasi
dan (apalagi) menghukum.
Dengan
besar tunjangan yang masih jauh dari memadai, sungguh bukan hal yang elok
jika Kemenristekdikti mengeluarkan peraturan yang mengancam mencabut
tunjangan kehormatan guru besar hanya karena alasan mereka tidak menulis
artikel di jurnal internasional bereputasi. Karya akademis seorang guru
besar, selain menulis artikel di jurnal internasional, juga bisa dilihat dari
karya mereka dalam menulis buku, keseriusan membimbing, hingga melahirkan
doktor-doktor baru yang hebat. Jangan sampai hanya karena ambisi untuk tidak
mau kalah dengan negara tetangga, lantas kita menafikan produktivitas guru
besar lain yang juga tak kalah penting. Bagaimana pendapat Anda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar