Ahok
dan Kunang-Kunang
Ali Maschan Moesa ; Wakil rais syuriah PW NU Jawa Timur;
Guru Besar Sosiologi Bahasa UIN
Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 08
Februari 2017
DALAM
kajian antropologi agama, ada jenis agama institusional dan personal. Agama
yang memengaruhi masyarakat dan kehidupan publik adalah agama institusional.
Sedangkan agama yang memengaruhi keyakinan dalam hati dan sikap individual
adalah agama personal.
Nah,
getaran jiwa keagamaan itulah yang memiliki implikasi langsung ketika Ahok
menghardik bahkan mengancam memolisikan KH Ma’ruf Amin dalam persidangan
kasus penistaan agama beberapa waktu lalu. Dia meyakini bahwa sang kiai
berbohong dan bertindak tidak adil dalam bersaksi di pengadilan. Meski sang
kiai sudah memaafkan Ahok, sudah barang tentu mereka yang menjadi follower beliau, baik dari Nahdlatul
Ulama (NU) maupun dari MUI, belum bisa menerimanya dan menumpahkan kemarahan
mereka terhadap Ahok.
Membaca
kasus tersebut secara budaya politik tidak bisa dilepaskan dari eksistensi
kelompok, baik yang berada di belakang KH Ma’ruf Amin maupun Ahok. Karena
itu, menganalisis relasi sosial-agama-politik tersebut kita bisa menggunakan
dua pendekatan, yaitu sejarah dan budaya politik.
Dalam
perspektif sejarah, dahulu Raja Amangkurat I telah membunuh 5.000 kiai di
Alun-Alun Plered, Jogja. Kezaliman tersebut karena sang raja lebih mengikuti
perintah VOC daripada mendengarkan keterpurukan rakyatnya. Konon, atas doa
seorang kiai dari Kajoran, Magelang, sang raja meninggal dunia. Memang, di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat, para kiailah yang berani menasihatinya
demi they want to have some control
over the government.
Menurut
Ben Anderson, penulis imagined
community, dinamika politik di Indonesia pada dasarnya adalah
’’pertentangan abadi’’ antara kaum santri dan kaum nasionalis abangan.
Demikianlah, panggung politik selalu diisi oleh elite Islam dan elite
nasionalis, padahal sebenarnya subkultur golongan nasionalis juga terdiri
atas berbagai kelompok. Mereka adalah kelompok terpelajar yang ingin ikut
membangun republik ini, yang sebetulnya bukan hanya abangan, tetapi beraliran
kiri, sosialis, komunis, dan sebagainya.
Mereka
itu juga tidak mungkin bergabung dengan golongan Islam dikarenakan latar
belakang budaya mereka tidak begitu dekat dengan Islam. Namun, di akhir era
Orde Baru, Donald K. Emerson meneliti budaya politik di Indonesia dan
menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan yang besar. Artinya, jarak budaya
politik antara yang santri dan abangan semakin tipis, bahkan semakin saling
mendekat.
Lebih
dari itu, Harold Crouch, penulis militer dan politik, ketika kali pertama
datang ke Indonesia menjadi sangat takjub melihat para elite ICMI yang sedang
berkibar di akhir era Soeharto. Dia melihat betapa banyaknya para pemimpin
ICMI yang tidak berlatar aktivis muslim, namun bisa berbicara tentang Islam.
Meski sudah terjadi upaya saling mendekat antara abangan dan santri, kasus
Ahok-KH Ma’ruf ini menyiratkan dengan jelas masih adanya rivalitas politik
antar keduanya.
Selanjutnya,
penulis ingin mengajak para pembaca untuk menganalisis kasus Ahok-KH Ma’ruf
ini tidak hanya dalam perspektif politik dan hukum. Apalagi, sesuatu yang
menyangkut hukum atau rule of law,
misalnya, sering kali berubah menjadi law
of the ruler. Di sinilah menjadi sangat relevan jika kasus tersebut
dibaca dari misi pokok Islam yang rahmatan lil’alamin. Kosa kata lil’alamin maksudnya adalah bahwa
seorang muslim tidak hanya berkewajiban merahmati sesama orang Islam, apalagi
hanya merahmati sesama manusia. Tetapi, ayat tersebut menegaskan siapa pun
dan apa pun yang berada di dunia ini harus dirahmati dan diselamatkan oleh
orang Islam, baik secara pribadi maupun komunitas. Lebih dari itu, NKRI
sebagai nation-state tidak bisa
dipisahkan dari kebinekaan SARA. Keberagaman SARA tersebut harus ada titik
temu yang tunggal, yaitu Pancasila. Hanya, problem besar falsafah dan
ideologi bangsa ini adalah siapa yang menjadi uswatun hasanah dari
implementasi nilai-nilai Pancasila. Maka, tidak salah kalau para elite muslim
di Indonesia benar-benar menjadikan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai contoh
dan panutan.
Last
but not least, ada tiga tindakan nabi ketika berhijrah ke Madinah, yang bisa
kita jadikan solusi dari semakin memanasnya suhu politik mutakhir, yaitu
membangun masjid (bina’ al-masjid), memperkuat ukhuwah (quwwatu al-ikha’),
dan mengadakan perjanjian dengan nonmuslim (kitabah watsiqah). Sudah saatnya
masjid kita jadikan markas dari semua aktivitas muslim yang damai, tanpa
melihat dari mana pun kelompoknya. Sudah saatnya semua kelompok Islam duduk
bersama dalam rangka meningkatkan kualitas ikhwah yang tulus. Sebab, yang
terjadi hari ini adalah sebuah kelompok melaporkan kelompok lainnya kepada
polisi karena dianggap menistakan agama. Adapun kelompok yang lain selalu
curiga bahwa ada beberapa kelompok yang dianggap tidak setia terhadap NKRI,
UUD 1945, dan Pancasila. Sedangkan yang ketiga adalah meneguhkan ulang
persaudaraan dalam nation-state (ukhuwwah wathaniyyah) dan saudara sesama
insan (ukhuwwah basyariyah).
Walhasil,
ketika sang KH Ma’ruf memaafkan Ahok, itu maknanya beliau sedang memosisikan
dirinya sebagai ’’kunang-kunang’’ yang mencerahkan (fire-flies arising) pada malam hari yang gelap. Dan.... berpikir
yang selalu positif dari semua anak bangsa akan mempercepat datangnya mimpi
zaman ’’Gemah ripah loh jinawi apasir wukir tata-tentrem karta raharja;
Jaya-jaya wijayanti nir ing sambikala’’. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar