Meredam
Bara Pilkada
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan
Komunikasi Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Februari 2017
PILKADA
serentak di DKI dan 100 daerah lainnya tinggal hitungan hari. Tensi politik
pun mencapai titik kulminasi. Khusus di DKI, pilkada terasa bukan lagi
semata-mata pemilihan gubernur dan wakil gubernur, tetapi menjadi ‘arena
pertarungan’ pendahuluan untuk kontestasi elektoral 2019. Salah satu penanda
nyata pilkada rasa pilpres ini terlihat dari ‘turun gunungnya’ sejumlah tokoh
politik nasional yang kerap berhadap-hadapan seperti Megawati Soekarnoputri,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Prabowo Subianto. Dalam perspektif
komunikasi politik, kehadiran mereka memiliki makna kekuatan rujukan
(referent power) yang digunakan sebagai strategi persuasi atas para pengikut
masing-masing. Tujuannya untuk menggerakkan warga demi keterpilihan pasangan
calon yang didukungnya di DKI.
Panggung strategis
Jika
bicara dimensi konteks tempat, waktu, dan kepentingan strategis, Pilkada DKI
memang panggung prestisius dan strategis. Prestisius karena memenangkan DKI
berarti menguasai Ibu Kota. Strategis karena DKI merupakan pusat ekonomi dan
bisnis, pusat pergerakan politik, dan pusat sorotan publisitas politik.
Hampir tiada hari tanpa liputan Pilkada DKI, bahkan volume pemberitaannya
nyaris menenggelamkan hampir seluruh isu pilkada di 100 daerah lainnya.
Dari
aspek geopolitik, kemenangan di DKI akan membawa dampak psikopolitis yang
kuat bagi daerah lain. Konteks waktu penyelanggaraan pilkada DKI juga tak
terlalu jauh dari waktu persiapan seluruh mesin pemenangan jelang Pemilu
2019. Berkaca dari pengalaman Jokowi, saat pasangan Jokowi-Ahok memenangi
pilkada DKI, momentum politik nasional pun menjadi milik Jokowi. Meskipun
belum tentu memiliki kondisi yang sama dengan Jokowi, banyak pihak
berkepentingan berebut momentum politik lewat panggung pilkada DKI. Itulah
sebabnya adu strategi pemenangan tidak hanya melibatkan para pasangan calon,
tetapi juga sejumlah tokoh yang berkepentingan memenangi DKI untuk
tujuan-tujuan politik di masa mendatang. Ibarat investasi, kemenangan di DKI
menjadi sumber daya politik banyak pihak.
Pilkada
DKI tentu akan menjadi barometer nasional. Buruknya kualitas penyelenggaraan
DKI akan menjadi pewajahan buruk pula bagi proses konsolidasi demokrasi kita
di level nasional. Hal ini berkaitan dengan mudahnya informasi pilkada DKI
tersebar dan menjadi bahan perbincangan warga di media massa dan media sosial
di dalam negeri hingga ke mancanegara.
Salah
satu titik rawan yang harus dijaga oleh semua pihak tentu saja bara di
pilkada. Sejak penghujung 2016 lalu, bara di pilkada DKI sudah menyala cukup
besar. Banyak aktor yang memainkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan
dalam rangka memengaruhi persepsi publik. Dalam konteks kampanye, memengaruhi
persepsi bukanlah hal aneh. Baik dengan strategi menguatkan legitimasi maupun
sebaliknya mendelegitimasi pihak lawan. Namun demikian, menjadikan isu SARA
sebagai provokasi dan membenturkan warga dalam dimensi kebencian harus
dihindari oleh semua pasangan.
Semakin
mendekati hari H pencoblosan, perang informasi kian menjadi-jadi. Di saat
seperti inilah, peran para kandidat dan para tokoh yang turut menjadi
kekuatan rujukan dalam pertarungan harus menunjukkan tanggung jawab
sosialnya. Mereka ialah gatekeeper informasi. Dari mereka akan deras
diluncurkan beragam informasi menuju komunikannya, yakni warga. Informasi
sudah berbaur sehingga sulit mengidentifikasi antara fakta atau realitas,
dengan isu, rumor, gosip, dan fantasi kekuasaan. Tanggung jawab para tokoh
yang memegang kendali informasi itu ialah merawat Indonesia, menjaga daya
tahan demokrasi, dan memastikan pertarungan pilkada tak sampai memorak-porandakan
kekitaan warga yang sudah lama terjaga.
Konflik realistik
Membaca
konflik di pilkada sesungguhnya tidak harus selalu negatif dan merusak. Dalam
perspektif teori konflik , sosiolog konflik Amerika Lewis Coser (1913-2003)
memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi
sebagai dua sisi yang bisa memperkuat dan memperlemah satu sama lainnya.
Coser
membedakan dua tipe dasar konflik (dalam Wallace & Wolf, 1986), yang
realistik dan nonrealistik. Pertama, konflik realistik memiliki sumber yang
konkret atau bersifat material, seperti sengketa sumber kuasa antara lain
kontestasi pilkada, yakni orang bertarung memperebutkan ‘kursi’. Dengan
mendapatkan posisi DKI-1 dan 2 tentu akan berimbas pada pengelolaan kuasa
sesuai skema yang dimilikinya. Jika pilkadanya usai, biasanya konflik akan
segera mereda dan biasanya teratasi dengan baik melalui koridor hukum dan
hubungan antarpersonal.
Kedua,
konflik nonrealistik yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan
cenderung bersifat ideologis. Dalam hal ini, antara lain konflik antaragama,
antaretnik, antarkepercayaan. Konflik sejenis ini, cenderung sulit menemukan
solusinya terutama untuk merajut ulang konsensus dan perdamaian. Ibarat luka
mendalam, konflik yang disulut oleh isu agama, etnik, kepercayaan teramat
sulit disembuhkan.
Secara
faktual, dalam beragam kasus pilkada banyak pihak tergoda membawa isu SARA ke
tengah gelanggang pertarungan. Isu ini memang mudah ‘membakar’ massa,
terutama di level persepsi pemilih sosiologis yang biasanya menentukan
pilihannya karena pertimbangan kesamaan agama, suku, ras, dan golongan.
Biasanya untuk menghidupkan isu ini, banyak fitnah, hoax, ujaran kebencian
yang diproduksi dan didistribusikan melalui kanal-kanal warga seperti media
sosial.
Dalam
meredam bara di pilkada akibat gesekan yang kian menajam jelang pencoblosan,
diperlukan peran para calon dan tokoh di balik mereka. Pertama, agresivitas
dalam bentuk pernyataan menyerang tentu saja boleh selama data dan faktanya
bisa dipertanggungjawabkan. Hentikan penyebaran fitnah atau rumor yang
memprovikasi benturan antarwarga. Jika salah satu pihak merasa dirugikan
karena misalnya merasa disadap, dicemarkan nama baiknya, dan dirugikan
privasinya baiknya membawa hal tersebut ke ranah hukum sehingga bisa beradu
data dan fakta hukum di persidangan. Jangan semata-mata menebar wacana yang
membuat orang menduga-duga, dan berakhir sekadar menjadi gelembung politik
saja.
Kedua,
berhentilah memolitisiasi agama karena sesungguhnya ajaran agama itu luhur.
Semua pihak harus menghormati dan menempatkan agama jauh di atas kepentingan
sesaat pilkada. Agama diperlukan untuk mendamaikan bukan untuk membakar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar