Sabtu, 11 Februari 2017

Meredam Bara Pilkada

Meredam Bara Pilkada
Gun Gun Heryanto ;  Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Presidium Asosiasi Ilmuan Komunikasi Politik Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 10 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PILKADA serentak di DKI dan 100 daerah lainnya tinggal hitungan hari. Tensi politik pun mencapai titik kulminasi. Khusus di DKI, pilkada terasa bukan lagi semata-mata pemilihan gubernur dan wakil gubernur, tetapi menjadi ‘arena pertarungan’ pendahuluan untuk kontestasi elektoral 2019. Salah satu penanda nyata pilkada rasa pilpres ini terlihat dari ‘turun gunungnya’ sejumlah tokoh politik nasional yang kerap berhadap-hadapan seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Prabowo Subianto. Dalam perspektif komunikasi politik, kehadiran mereka memiliki makna kekuatan rujukan (referent power) yang digunakan sebagai strategi persuasi atas para pengikut masing-masing. Tujuannya untuk menggerakkan warga demi keterpilihan pasangan calon yang didukungnya di DKI.

Panggung strategis

Jika bicara dimensi konteks tempat, waktu, dan kepentingan strategis, Pilkada DKI memang panggung prestisius dan strategis. Prestisius karena memenangkan DKI berarti menguasai Ibu Kota. Strategis karena DKI merupakan pusat ekonomi dan bisnis, pusat pergerakan politik, dan pusat sorotan publisitas politik. Hampir tiada hari tanpa liputan Pilkada DKI, bahkan volume pemberitaannya nyaris menenggelamkan hampir seluruh isu pilkada di 100 daerah lainnya.

Dari aspek geopolitik, kemenangan di DKI akan membawa dampak psikopolitis yang kuat bagi daerah lain. Konteks waktu penyelanggaraan pilkada DKI juga tak terlalu jauh dari waktu persiapan seluruh mesin pemenangan jelang Pemilu 2019. Berkaca dari pengalaman Jokowi, saat pasangan Jokowi-Ahok memenangi pilkada DKI, momentum politik nasional pun menjadi milik Jokowi. Meskipun belum tentu memiliki kondisi yang sama dengan Jokowi, banyak pihak berkepentingan berebut momentum politik lewat panggung pilkada DKI. Itulah sebabnya adu strategi pemenangan tidak hanya melibatkan para pasangan calon, tetapi juga sejumlah tokoh yang berkepentingan memenangi DKI untuk tujuan-tujuan politik di masa mendatang. Ibarat investasi, kemenangan di DKI menjadi sumber daya politik banyak pihak.

Pilkada DKI tentu akan menjadi barometer nasional. Buruknya kualitas penyelenggaraan DKI akan menjadi pewajahan buruk pula bagi proses konsolidasi demokrasi kita di level nasional. Hal ini berkaitan dengan mudahnya informasi pilkada DKI tersebar dan menjadi bahan perbincangan warga di media massa dan media sosial di dalam negeri hingga ke mancanegara.

Salah satu titik rawan yang harus dijaga oleh semua pihak tentu saja bara di pilkada. Sejak penghujung 2016 lalu, bara di pilkada DKI sudah menyala cukup besar. Banyak aktor yang memainkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan dalam rangka memengaruhi persepsi publik. Dalam konteks kampanye, memengaruhi persepsi bukanlah hal aneh. Baik dengan strategi menguatkan legitimasi maupun sebaliknya mendelegitimasi pihak lawan. Namun demikian, menjadikan isu SARA sebagai provokasi dan membenturkan warga dalam dimensi kebencian harus dihindari oleh semua pasangan.

Semakin mendekati hari H pencoblosan, perang informasi kian menjadi-jadi. Di saat seperti inilah, peran para kandidat dan para tokoh yang turut menjadi kekuatan rujukan dalam pertarungan harus menunjukkan tanggung jawab sosialnya. Mereka ialah gatekeeper informasi. Dari mereka akan deras diluncurkan beragam informasi menuju komunikannya, yakni warga. Informasi sudah berbaur sehingga sulit mengidentifikasi antara fakta atau realitas, dengan isu, rumor, gosip, dan fantasi kekuasaan. Tanggung jawab para tokoh yang memegang kendali informasi itu ialah merawat Indonesia, menjaga daya tahan demokrasi, dan memastikan pertarungan pilkada tak sampai memorak-porandakan kekitaan warga yang sudah lama terjaga.

Konflik realistik

Membaca konflik di pilkada sesungguhnya tidak harus selalu negatif dan merusak. Dalam perspektif teori konflik , sosiolog konflik Amerika Lewis Coser (1913-2003) memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial. Konflik dan integrasi sebagai dua sisi yang bisa memperkuat dan memperlemah satu sama lainnya.

Coser membedakan dua tipe dasar konflik (dalam Wallace & Wolf, 1986), yang realistik dan nonrealistik. Pertama, konflik realistik memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti sengketa sumber kuasa antara lain kontestasi pilkada, yakni orang bertarung memperebutkan ‘kursi’. Dengan mendapatkan posisi DKI-1 dan 2 tentu akan berimbas pada pengelolaan kuasa sesuai skema yang dimilikinya. Jika pilkadanya usai, biasanya konflik akan segera mereda dan biasanya teratasi dengan baik melalui koridor hukum dan hubungan antarpersonal.

Kedua, konflik nonrealistik yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Dalam hal ini, antara lain konflik antaragama, antaretnik, antarkepercayaan. Konflik sejenis ini, cenderung sulit menemukan solusinya terutama untuk merajut ulang konsensus dan perdamaian. Ibarat luka mendalam, konflik yang disulut oleh isu agama, etnik, kepercayaan teramat sulit disembuhkan.

Secara faktual, dalam beragam kasus pilkada banyak pihak tergoda membawa isu SARA ke tengah gelanggang pertarungan. Isu ini memang mudah ‘membakar’ massa, terutama di level persepsi pemilih sosiologis yang biasanya menentukan pilihannya karena pertimbangan kesamaan agama, suku, ras, dan golongan. Biasanya untuk menghidupkan isu ini, banyak fitnah, hoax, ujaran kebencian yang diproduksi dan didistribusikan melalui kanal-kanal warga seperti media sosial.

Dalam meredam bara di pilkada akibat gesekan yang kian menajam jelang pencoblosan, diperlukan peran para calon dan tokoh di balik mereka. Pertama, agresivitas dalam bentuk pernyataan menyerang tentu saja boleh selama data dan faktanya bisa dipertanggungjawabkan. Hentikan penyebaran fitnah atau rumor yang memprovikasi benturan antarwarga. Jika salah satu pihak merasa dirugikan karena misalnya merasa disadap, dicemarkan nama baiknya, dan dirugikan privasinya baiknya membawa hal tersebut ke ranah hukum sehingga bisa beradu data dan fakta hukum di persidangan. Jangan semata-mata menebar wacana yang membuat orang menduga-duga, dan berakhir sekadar menjadi gelembung politik saja.

Kedua, berhentilah memolitisiasi agama karena sesungguhnya ajaran agama itu luhur. Semua pihak harus menghormati dan menempatkan agama jauh di atas kepentingan sesaat pilkada. Agama diperlukan untuk mendamaikan bukan untuk membakar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar