Basuki,
Demokrasi, dan Nabi Khidir
Willy Aditya ; Wakil Sekjen DPP Partai NasDem
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Februari 2017
BASUKI
Tjahaja Purnama alias Ahok seperti tak ada habisnya. Setelah kisruh Al-Maidah
51, yang sempat membuat Jakarta mencekam oleh massa itu tidak hanya sekali
muncul lagi kehebohan baru. Dia digugat oleh banyak pihak karena dianggap
telah mengancam seorang tua yang terpandang, Ketua Umum MUI, Rais Aam
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Ma’ruf Amin. ‘Ancaman’ itu disampaikannya saat
sidang ke-8 kasus dugaan penistaan agama yang melilit dirinya. Saat itu,
dengan suara bergetar karena menahan emosi, Basuki menilai sang kiai telah
memberikan kesaksian palsu karena tidak mengakui pernah menerima telepon dari
mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 7 Oktober 2016. Padahal,
bukti begitu nyata bahwa yang bersangkutan memang pernah dikontak oleh
Presiden ke-6 RI tersebut.
Liputan6.com
menyimpan fakta itu hingga kini. “Percayalah, sebagai penutup, kalau Anda
menzalimi saya, yang Anda lawan adalah Tuhan yang Mahakuasa, Maha Esa. Saya
akan buktikan satu per satu dipermalukan. Terima kasih,” demikian ucapan Ahok
mengakhiri tanggapannya atas kesaksian Kiai Ma’ruf. Oleh berbagai kalangan,
terutama kaum nahdiyin, ucapan ini dianggap tidak pantas disampaikan Ahok
kepada figur yang menempati posisi paling tinggi di organisasi Islam terbesar
di Indonesia. Tidak kurang seorang Mahfud MD, mantan Ketua MK, turut
menggugat cara Ahok berbicara kepada sang kiai. Anshor dan Banser juga menyatakan
keberatannya dan mengancam akan mengerahkan massa jika dalam waktu tiga hari
suami Veronica Tan ini tidak meminta maaf.
Tidak
ketinggalan, para lawan politik Ahok langsung menggoreng santapan empuk nan
lezat ini hingga muncul tagar #MendadakNU di media sosial. Beruntung, baik
Ahok dan Kiai Ma’ruf langsung saling memaafkan sehari kemudian. Semua itu
terjadi karena satu hal saja, kelugasan seorang Ahok. Ia lugas dalam
berpolitik, ia lugas dalam memimpin, dan terutama ia lugas dalam berbicara.
Soal kelugasan ini, sebagian ada yang tidak suka, atau dipandang sebagai
kekurangan sang petahana Gubernur DKI, bahkan ada yang menggugatnya sehingga
harus dienyahkan dari jagat politik.
Pasalnya,
menurut pandangan yang justru keluar dari seorang yang mengaku penganut
liberalisme ini, Ahok terlalu berbahaya bagi Republik yang masih ringkih
seperti Indonesia. Sepak terjangnya sering membuat kaum intoleran menjadi
menguat. Karena itu, rawan bagi negeri ini jika dia terus dibela dan
dibiarkan menjadi pejabat publik. Namun, tidak kurang juga yang mendukungnya.
Bagi kalangan ini, kelugasan Ahok ialah antitesis dari sikap munafik
kebanyakan pejabat publik dan tokoh masyarakat saat ini. Tidak hanya itu,
Ahok juga banyak memberikan kerja dan bukti tanpa harus banyak berkata, apalagi
menebar citra. Toh, publik juga tetap banyak yang mendukungnya. Di atas itu
semua, dia adalah individu sekaligus warga yang punya hak untuk menjadi
dirinya sendiri.
Kehendak zaman
Namun,
itulah mungkin konsekuensi dari alam yang bernama demokrasi. Semua boleh
memainkan peran dan lakon sesuai dengan keinginannya masing-masing. Semua
setara dan memiliki hak yang sama di dalamnya. Mengapa bisa demikian? Karena
demokrasi adalah sebuah sistem yang paling volaid (cair) bagi masyarakat
modern, dan juga negara modern. Sebagai sebuah sistem bersama, demokrasi
memberikan kebebasan bagi para penghuninya untuk melahirkan apa saja; seorang
diktator sekalipun. Obama lahir dari sistem demokrasi, tapi Hitler juga lahir
dari sistem demokrasi. Demikian juga Donald Trump, fenomena Amerika hari ini,
lahir dari negara yang katanya dedengkot demokrasi. Pemimpin negara-negara
Amerika Latin, lahir dan tumbuh di alam demokrasi. Bahkan terorisme dan
radikalisme hidup subur di dalamnya. Osama bin Laden hidup di Amerika, Hizbut
Tahrir besar di Inggris.
Sedemikian
terbukanya demokrasi hingga fenomena seperti LGBT hanya mampu marak dalam
ruang bernama demokrasi, lengkap dengan para penentangnya. Jika merunut dari
awal kumunculannya, demokrasi memang lahir dari sebuah kehendak bersama warga
kota. Mereka ingin ada kesetaraan untuk bersuara (freedom of expression), bukan hanya para aristokrat atau elite
berkuasa. Mereka ingin keputusan diambil bersama, bukan oleh seorang raja
semata. Kehendak ini kemudian menjadi kehendak manusia di mana-mana hingga
kemudian menjadi kehendak zaman yang semakin terbuka untuk merayakan
kebebasan (kehendak bebas) manusia (warga kota) di banyak belahan dunia.
Demokrasi
selalu lahir bukan karena sebuah ketukan palu kebijakan dari pemegang
otoritas tertentu, melainkan karena benturan zaman (dialektika). Lihatlah
demokrasi di Amerika, Eropa, Indonesia sendiri, dan yang teranyar adalah
negeri-negeri di Arab (Arab Spring). Ia lahir dari kehendak bersama warganya,
bukan hadiah atau kebijakan para penguasanya. Namun demikian, sebagai sebuah
sistem terbuka yang dinamis, demokrasi harus memiliki jangkar sebagai
mekanisme pertahanan diri sebab demokrasi itu ibarat orang yang baik hati.
Saking baiknya ia sampai mau memberi ruang kepada pihak yang menggugatnya,
bahkan yang ingin membinasakannya.
Oleh
karena itu, lahirlah perangkat bernama hukum. Namun tidak cukup hanya itu,
demokrasi juga harus memastikan transisi sebuah kekuasaan berjalan damai dari
satu kelompok kepentingan kepada kelompok kepentingan lainnya. Dalam momen
transisi kekuasaan, kerap muncul ekspresi-ekspresi semisal primordialisme,
sektarianisme, politik identitas, seperti yang marak belakangan ini. Ia
memang menjadi keniscayaan yang tumbuh bersamaan dengan maraknya kebebasan.
Namun, kenyataan tersebut juga bisa menguat menjadi ekstremitas sikap hingga
memunculkan identitas mayoritas dan minoritas yang berkelindan menjadi
komoditi politik.
Fenomena
terakhir ini tidak pernah ditemui dalam masa sosiodemokrasi di era Bung Karno
ataupun era demokrasi terbatas Orde Baru. Di dua masa itu tidak ada gugatan
terhadap asal-usul (SARA) terhadap seseorang yang hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah atau pemerintahan. Oleh kalangan semacam itu demokrasi
kerap berada dalam ancamannya yang nyata.
Martir demokrasi
Di
titik ini demokrasi kerap membutuhkan martir agar ia tetap hidup, bahkan
semakin maju dan berkualitas. Alih-alih harus disingkirkan, sesungguhnya
Basuki bisa disebut sebagai martir itu. Sebagai calon gubernur, dia tengah
menguji bangsa ini, khususnya warga DKI, apakah mampu berdemokrasi
sebagaimana mestinya. Basuki hari ini ialah manifestasi demokrasi itu
sendiri. Narasi Basuki hari ini bukanlah soal menang atau kalah dalam
pilkada. Kehadirannya menjadi semacam ‘utusan zaman’ yang tengah menjadi penyeimbang
ekosistem bernama demokrasi. Bukan sedang menyamakannya tentu saja, tapi
kehadiran dia dalam gelanggang politik mengingatkan kita pada sosok Nabi
Khidir.
Kepada
Musa, Khidir memberi pelajaran hidup dengan cara yang tidak normatif. Dia
membocorkan perahu yang justru sedang dinaikinya bersama Musa beserta banyak
orang. Tanpa banyak cakap, tiba-tiba dia membunuh seorang anak kecil.
Terakhir, Khidir meminta Musa untuk memperbaiki sebuah rumah di perkampungan
yang justru penduduknya tidak ramah kepada mereka berdua. Demikian juga Ahok.
Dia seperti sedang memberikan pembelajaran bagi bangsa ini dengan serangkaian
gugatan-gugatannya, baik secara langsung maupun tidak, terhadap
praktik-praktik yang mencederai demokrasi. Praktik- praktik diskriminasi,
kriminalisasi, politisasi agama dan ulama, dan seterusnya, digugat dengan
keteguhan sikapnya. Dengan bacotnya yang bawel dan menjengkelkan berbagai
pihak, dia banyak mengungkap kebenaran-kebenaran, sebagaimana Khidir yang
menjengkelkan Musa, tetapi banyak memberinya pelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar