Menyelamatkan
Politik Indonesia
Novri Susan ; Sosiolog Politik Universitas Airlangga
|
KOMPAS, 10 Februari 2017
Hampir
semua pemikir ilmu sosial membayangkan politik sebagai mekanisme
pengorganisasian kekuasaan untuk mewujudkan harapan rakyat atas keamanan,
kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran. Ideal demokrasi merumuskan bahwa
politik adalah mandat kekuasaan rakyat terhadap para elite dalam mewujudkan
semua harapan tersebut. Hal ini mensyaratkan keterikatan para elite politik
dengan harapan rakyat.
Keterikatan
itu adalah sistem relasi yang dikuatkan oleh komitmen, keberanian, dan
kesetiaan elite terhadap kepentingan rakyat. Realitas tak menyenangkan di
Indonesia, sebagian elite politik tidak memiliki ikatan kerakyatan ini.
Kepentingan seksional
Ketiadaan
ikatan kerakyatan para elite mewujud ke dalam praktik meraih atau
mempertahankan kekuasaan atas dasar kepentingan seksional. Sebuah bentuk
kepentingan yang hanya memenuhi keinginan terbatas diri dan kelompok:
membangun dinasti keluarga, melanggengkan primordialisme, dan golongan.
Realitas ini semakin terasa getir ketika kepentingan seksional diperjuangkan
tanpa malu, dijadikan sebagai kebenaran yang hakiki dan suci.
Maka,
wacana-wacana dari kepentingan seksional secara sistematis menciptakan
polarisasi kelompok. Ruang publik menjadi sesak oleh wacana-wacana seksional
yang berisi tentang nasib satu kelompok dan golongan semata. Pada kondisi
ini, para elite politik sesungguhnya sedang menjebak masyarakat melalui
wacana seksional. Jebakan wacana yang menumbuhkan kesadaran tertutup bahwa
keyakinan kelompok atau golongan adalah yang paling benar. Pada gilirannya,
kesadaran tertutup mengalienasi rakyat dari substansi harapan kerakyatan itu
sendiri.
Oleh
karena alienasi tersebut, sebagian masyarakat tidak lagi akrab dengan wacana
bagaimana politik bekerja mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya,
wacana seksional, misal, rasisme dan primordialisme, lebih memadati
ruang-ruang publik.
Realitas
kesadaran tertutup dalam masyarakat merupakan salah satu kunci bahwa bangsa
ini-mengutip istilah William Maley (2006)-selalu berada dalam kondisi
transisi berkepanjangan demokrasi (protracted transition). Transisi demokrasi
adalah kondisi di mana kekuasaan politik belum memiliki kapasitas mewujudkan harapan
kerakyatan.
Ruang
publik Indonesia makin keruh oleh beradunya wacana seksional antar-kesadaran
tertutup. Mobilisasi dalam aksi demonstrasi menciptakan ketegangan dan
kekerasan komunikatif. Aksi demonstrasi dalam ideal demokrasi merupakan
mekanisme kontrol terhadap kekuasaan yang dianggap keluar dari mandat
konstitusi.
Sebagian
ilmuwan menyebutnya sebagai gerakan ekstra parlementer. Aksi demonstrasi
seharusnya adalah kontrol terhadap kekuasaan negara terkait dengan proses
realisasi harapan kerakyatan. Akan tetapi, saat ini, imbas dari kepentingan
seksional elite politik yang menciptakan kesadaran tertutup masyarakat, aksi
demonstrasi berisi rasisme, ego kelompok dan golongan.
Pertaruhan
mematikan dari ketidakhadiran ikatan kerakyatan dari sebagian elite politik
Indonesia secara jangka panjang adalah masa depan dari bangsa. Narasi masa
depan indah yang terukir jelas dalam konstitusi akan berubah menjadi narasi
masa depan kelam. Suatu masa yang tertandai oleh praktik-praktik politik yang
menguntungkan sepihak. Keuntungan sepihak menyebabkan kejahatan korupsi,
pelanggaran hak asasi manusia, dan pengabaian keadilan sosial.
Jalan keluar
Kepentingan
seksional elite harus dihapuskan dari politik nasional. Penghapusan tersebut
merupakan jalan keluar dari narasi masa depan kelam yang mengancam eksistensi
negara bangsa.
Gagasan
ini bukan absurditas dari keputusasaan atas realitas politik kebangsaan saat
ini. Permasalahannya adalah siapa agensi yang memiliki kapasitas memulai
gagasan tersebut. Agensi yang bisa dijadikan tumpuan dalam pencarian jalan
keluar.
Pertama,
gagasan Max Weber, sosiolog abad ke-19, memperhatikan apa yang disebut
sebagai kewenangan negara dalam pengaturan ketertiban. Konsep kewenangan
negara dalam demokrasi, secara ideal, adalah mengatasi seksionalisme
kepentingan. Sebab, kewenangan itu bekerja atas dasar kontrak sosial antara
rakyat dan pemegang kekuasaan yang terwujud sebagai hukum negara.
Tujuan
substantif kontrak sosial dalam negara, salah satunya, adalah menciptakan
ketertiban di ruang publik. Ketertiban adalah kondisi di mana warga
negara-baik elite maupun massa-mempraktikkan ketaatan terhadap hukum negara
selama proses memperjuangkan kepentingan. Ketaatan terhadap hukum, dalam
demokrasi, berarti ketaatan untuk berbicara berdasarkan kepentingan umum.
Pada
tujuan substantif ini, negara harus memiliki kepercayaan diri sebagai penjaga
aturan main. Mekanisme penjagaan aturan main adalah pelaksanaan sanksi kepada
siapa pun pelaku pelanggaran. Saat ini negara dan struktur kelembagaannya
masih terlihat belum memiliki kepercayaan diri. Misal, ancaman
kelompok-kelompok tertentu tidak dihadapi secara tegas berdasarkan hukum
negara. Imbasnya, praktik politik bersumber dari kepentingan seksional di
ruang publik dan berbagai media menjadi tak terkendali.
Kedua,
adalah para pemikir sosial, ilmuwan sosial, yang tidak menasbihkan diri pada
lingkaran kepentingan elite. Pemikir sosial harus selalu berpihak pada
nilai-nilai keilmuan yang menjadi cahaya penuntun untuk mewujudkan harapan
kerakyatan, bukan berpihak pada subyek politik tertentu.
Para
pemikir sosial yang berpihak pada nilai perlu konsisten melahirkan pemikiran
kritis terhadap segala bentuk kepentingan seksional. Ia mestilah bergerak
sebagai agensi pendidikan politik untuk menciptakan kesadaran terbuka. Suatu
kesadaran yang menuntun pada visi kemaslahatan umum sehingga masyarakat
menjadi kekuatan kolektif yang bersatu mengendalikan elite-elite politik yang
tidak memiliki ikatan kerakyatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar