Pandawayudha
Emha Ainun Nadjib ; Budayawan; Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS, 10 Februari 2017
Jika
pesawat mengalami turbulensi, hati penumpangnya galau, perasaannya hancur,
dan pikirannya buntu. Apalagi kalau guncangannya semakin menjadi-jadi,
seluruh jiwa raga serasa lumpuh.
Apa
saja yang dilakukan tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan, miring ke
kiri, terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang. Semua gerakan salah.
Semua inisiatif mencelakakan. Segala sesuatu yang biasanya benar menjadi
tidak benar. Ketika dilakukan sesuatu yang sebenarnya salah, bisa jadi benar.
Tak ada parameter, logika, proporsi, teori, pengetahuan, dan ilmu yang bisa
diberlakukan sebagaimana pada keadaan yang normal.
Kaum "Talbis"
Mungkin
tidak persis, apalagi separah itu, tetapi kita bangsa Indonesia rasanya
sedang mengalami situasi semacam itu. Berlangsung ketidakseimbangan berpikir
yang semakin merata. Kemiringan persepsi dan ketidakadilan sikap satu sama
lain. Mungkin karena semua pihak mengalami kepanikan subyektif sehingga
berlaku overdefensif, kehilangan presisi logika, dan ketegakan analisis atas
segala sesuatu, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Kita
menjadi kanak-kanak massal, ditindih oleh rasa tidak percaya satu sama lain
sehingga terseret untuk melakukan hal-hal yang membuat kelompok lain semakin
tidak percaya. Semua dirundung situasi patah hati sebagai kelompok-kelompok
sehingga egosentrisme membengkak pada masing-masing yang merasa saling
terancam. Ukuran-ukuran tentang apa saja jadi semakin kabur. Wajah kebangsaan
kita jadi tak berbentuk.
Andaikan
pada akhirnya terjadi chaos, entah pada tingkat tawur, sweeping, pembakaran-pembakaran
sporadis atas wilayah "lawan", atau penyerbuan-penyerbuan lokal,
atau-na'udzu billahi min dzalik,
demi anak-cucu kita kelak-jangan sampai terjadi perang sipil atau pembasmian
massal seperti 1965.
Maka,
di tengah turbulensi pesawat atau kapal berguncang-guncang hari-hari ini,
kita juga kehilangan ketepatan dan keseimbangan, tidak lagi punya akurasi dan
presisi ketika menggagas dan merumuskan SARA, agama, etnik, "Bhinneka
Tunggal Ika", NKRI harga mati, nasionalis, dan Islamis. Jalan kita
sangka tujuan. Sarana kita anggap pencapaian. Roh dianggap jasad. Lembaga
disangka ideologi. Pemerintah merasa dirinya negara. Pejabat menyimpulkan
dirinya atasannya rakyat. Tak mengerti pilah antara negeri dan negara.
Pengkhianat dinobatkan sebagai pahlawan.
Pengetahuan
kita tinggal satu: yang pasti benar adalah kita. Yang bukan kita, pasti
salah, meskipun di lubuk hati kecil ada kans 1 persen yang bukan kita itu
punya kemungkinan untuk benar. Yang pasti benar, meskipun bukan kita, adalah
yang membayar kita. Pesawat kebangsaan kita sedang mengalami superturbulensi.
Bahtera NKRI kita terguncang-guncang oleh pertengkaran kita sendiri. Semakin
kapal berguncang, semakin kita bertengkar. Dan semakin kita bertengkar,
semakin kapal berguncang.
Kita
langsungkan itu semua dalam deret hitung. Kalaupun yang kita lakukan yang
itu-itu juga yang sejauh ini kita lakukan, segera akan kita alami percepatan
deret ukur, terutama kalau kita terus melakukan Talbis. Talbis adalah
peristiwa di surga ketika Adam dijebak dan ditipu oleh iblis karena menyangka
yang datang kepadanya adalah malaikat. Sang iblis berpakaian malaikat,
sementara Adam belum terdidik oleh pengalaman untuk membedakan antara iblis
dan malaikat, sebagaimana rakyat tidak pernah belajar memahami Talbis
perpolitikan negaranya.
Yang
paling besar sumbangannya terhadap kehancuran NKRI adalah para pelaku Talbis.
Manusia-manusia, kelompok, lembaga atau satuan yang memprogram keiblisan,
mengamuflasenya dengan kostum, formula, simbolisme, dan teks seakan-akan
malaikat. Kostum nasionalisme, pewarnaan merah putih, surban istigasah, dan
lantunan suara surgawi. Namun, di belakang punggung melakukan rekayasa,
perundungan, kriminalisasi, skenario penumpasan, pembunuhan karakter,
pemanfaatan pasal hukum, penyebaran meme-meme, pengaturan irama viral, dan
apa saja untuk meneguhkan kekuasaan dan penguasaan.
Pandawa vs Pandawa
Dalam
peristiwa Bahtera Nuh terdapat polarisasi antara kaum beriman dan kaum
ingkar. Dalam Bharatayudha bertarung antara Pandawa yang mewakili kebenaran
dan kebaikan melawan Kurawa yang mewakili kebatilan dan kejahatan. Yang kita
alami dengan NKRI hari ini adalah Pandawayudha.
Pihak
yang berhadap-hadapan masing-masing merasa dirinya Pandawa. Bahkan, sangat
yakin dengan ke-Pandawa-annya. Masing-masing juga memiliki landasan nilai dan
argumentasi yang kuat bahwa mereka Pandawa. Kua-nilai dan substansi, keduanya
bisa menemukan kebenaran dan kebaikannya. Ini Pandawayudha. Permusuhan antara
Pandawa dan Pandawa untuk dirinya masing-masing atau Kurawa lawan Kurawa
untuk penglihatan atas musuhnya masing-masing.
Mereka
berhadap-hadapan dalam eskalasi kebencian dan pembengkakan permusuhan. Jika
didaftar, masing-masing adalah NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Tuhan
menggambarkan dengan kalimat "tahsabuhum
jami'an wa qulubuham syatta": mereka berada di satu bulatan NKRI,
dengan hati mereka terpecah belah.
Padahal,
titik krusialnya terletak pada turbulensi pesawat dan guncangan kapal. Yang
satu bersikukuh bunyi kokok ayam adalah "kukuruyuk", lainnya
bersikeras "kongkorongkong", lainnya diam-diam menyimpulkan
"kukeleku" atau "kukurunnuk". Padahal yang benar sejati
adalah si ayam itu sendiri.
Ada
konstelasi pribumi dan nonpribumi. Ada Arab, habib, sayyid, syarif,
ahlul-bait. Di kejauhan sana ada kiai, yai, ustaz, ajengan, tuan guru. Di
sekitar kita ada "China Daratan", "China Perantauan",
"China Benteng", dan "China Toko". Padahal, substansial
menghampar juga Jawa Benteng dan Jawa Toko, Batak Benteng dan Batak Toko, pun
Arab Benteng dan Arab Toko. Sebagian dari konstelasi itu kini sedang
incar-mengincar dan bermusuhan dengan parameter simbolis, bukan ukuran
substansial dan hakiki kasunyatan perilaku. Pelaku SARA menuduh lainnya SARA,
yang dituduh SARA terpojok untuk juga berlaku SARA.
Padahal,
pada hakikat dan kenyataannya, menurut tradisi terminologi Al Quran, musuh
utama Islam dan manusia adalah keingkaran (kufur), kemusyrikan (selingkuh),
kemunafikan (hipokrisi, oportunisme), kefasikan (lupa Tuhan sehingga lupa
diri), juga kezaliman (kejam dan mentang-mentang). Di antara semua itu, yang
ratusan kali lebih berbahaya dan sangat menyulitkan adalah kemunafikan:
"mungsuh mungging cangklakan" (musuh yang menempel di ketiak) alias
musuh dalam selimut.
Di
dalam golongan-golongan yang saling bermusuhan terdapat munafiqun-nya
masing-masing. NKRI dan bangsa Indonesia ini diperlakukan secara munafik oleh
sebagian penghuninya. Dan itulah turbulensi yang sesungguhnya, guncangan
sejati sejarah kita hari ini.
Duduk bersama
NKRI
adalah abstraksi garis lurus vertikal gravitasi. Akan tetapi, semua yang
berdiri miring dan bermusuhan satu sama lain meyakinkan dirinya sendiri bahwa
mereka tegak gravitatif. Terjadilah saling silang garis-garis yang
masing-masing adalah klaim gravitasi. Atau NKRI adalah patok kayu di mana
kambingkambing diikat lehernya dengan tali. Panjang pendeknya tali dari
kambing ke patok itu bervariasi, sesuai potensi dan pencapaian masing-masing.
Akan tetapi, masalah NKRI hari ini adalah masing-masing kambing menancapkan
patoknya sendiri-sendiri.
NKRI
hari ini adalah kambing-kambing (bineka) berlarian pada kepentingan diri
(tunggal)-nya sendiri dan membikin patok (ika)-nya atau sendiri-sendiri.
Sungguh, kita-para kambing ini-butuh penggembala, negarawan, panembahan,
punakawan, begawan. Kalau semua pihak-polisi, tentara, parpol, ormas,
presiden, menteri, kiai dan ulama, bahkan alam pikiran rakyat-tercampak di
kurungan arena politik (praktis), maka tidak perlu waktu lama bagi
kambing-kambing itu untuk kehilangan lapangan rumput.
Kalau
para orangtua bangsa ini, para sesepuh, para negarawan, dan begawan-begawan
nilai tidak bersegera duduk bersama, berunding dengan kelengkapan kulit dan
isi, kita semua harus bersiaga untuk mengalami lonjakan dari Pandawayudha ke
Bharatayudha. Presiden dan para figur kunci pemerintahan, baik pendekar sipil
maupun militer, pemuka-pemuka semua kelompok, sesepuh masyarakat, semua
lingkaran kebinekaan, ojo dumeh, anak cucu memerlukan para paduka duduk
melingkar bersama di Sanggar Kenegarawanan untuk semacam musyawarah darurat
demi keselamatan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar