Menilik
(kembali) Revolusi Mental
Endah Heliana ; Staf Lembaga Ketahanan Nasional RI
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Februari 2017
SETIDAKNYA
ada empat momen bangsa Indonesia dalam membangun karakter bangsa, yaitu momen
pertama pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, momen kedua pada masa
pemerintahan Sukarno yang mengusung konsep Trisakti, ketiga pada masa
pemerintahan Orde Baru melalui Caturkarya Kabinet Ampera, dan kemudian momen
keempat tertuang dalam Enam Agenda Reformasi.
Dari
keempat momen tersebut, para pemimpin bangsa sejak masa kemerdekaan melihat
ada tiga aspek yang perlu diperbaiki dari bangsa ini, yaitu aspek politik
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif), ekonomi, dan sosial budaya. Pada
2016, Indonesia boleh berbangga diri dengan pertumbuhan GDP mencapai 5,1%.
Angka harapan hidup pada 2014 mencapai 68,9 tahun dengan angka harapan
sekolah mencapai 13 tahun, dan sebagai negara terdamai urutan ke-42 dunia.
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya harapan hidup masih belum sejalan
dengan pertumbuhan dalam aspek politik dan sosial.
Sesuai
dengan corruption perception index
Transparency.org, Indonesia menempati peringkat ke-90, sejajar dengan negara
Kolombia, Maroko, Masedonia, dan Liberia. Pada aspek stabilitas politik,
dikutip dari Globaleconomy.com, Indonesia menempati posisi ke-129 di bawah
negara Bolivia dan Mozambik. Belum lagi banyaknya kasus yang memperlihatkan
begitu mudahnya tindakan kekerasan dan intoleransi mudah menyebar di negara
ini. Saat ini, pemerintah Indonesia memiliki sembilan agenda prioritas yang
dituangkan dalam Nawa Cita.
Salah
satu poin dari Nawa Cita ialah revolusi karakter bangsa yang ditujukan untuk
mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku untuk berorientasi pada
kemajuan dan kesejahteraan. Dua negara Asia, yaitu Singapura dan Jepang,
setidaknya pernah melakukan pembangunan karakter bangsa mereka sehingga
menjadi negara termaju di Asia.
Singapura dan Jepang
Paul
Krugman dalam tulisannya, The Myth of
Asia's Miracle pada 1994 menyebutkan Singapura dan Jepang merupakan
contoh terbaik sebagai negara yang mampu berkembang dari keterpurukan.
Meskipun bukan faktor satu-satunya sebagai penentu keberhasilan negara,
pembangunan karakter bangsa menjadi faktor pendorong terciptanya budaya kerja
yang efisien di Singapura dan Jepang. Pendorong dari kemajuan Singapura ialah
efisiensi yang dilakukan Lee Kuan Yew dalam perekonomian di negara tersebut
serta dijunjungnya sifat meritokrasi.
Singapura
mampu memberikan kenyamanan bagi investor dan pebisnis dengan memberikan
jaminan kenyamanan politik dan layanan waktu yang singkat bagi investor
meskipun tidak dapat dimungkiri bahwa Singapura sejak awal pengembangan
negara tersebut telah memberikan kemudahan dan fasilitasi bagi pebisnis lokal
untuk berinvestasi di dalam maupun di luar negara Singapura.
Meritokrasi
merupakan sistem yang menjamin memberikan penghargaan lebih kepada mereka
yang berprestasi dan berkemampuan sehingga nuansa kompetisi dan memberikan
yang terbaik sangat terasa dalam kehidupan Singapura. Periode 1950 hingga
1970-an, Jepang mampu tumbuh menjadi negara yang maju setelah kekalahan pada
perang dunia kedua. Keberhasilan tersebut tidak saja ditentukan tepatnya
kebijakan pemerintah dan rangkaian peristiwa yang mampu menguntungkan Jepang,
tetapi juga ditentukan karakter bangsa Jepang yang mau bekerja keras dan
telah dibangun sejak lama.
Bangsa
Jepang pada masa itu mau dan mampu meningkatkan kemampuan mereka dengan
memahami teknologi yang tengah berkembang di Barat dan mengadopsi teknologi
tersebut. Sering pula ditemui bahwa para pemimpin di Jepang meminta maaf dan
mengundurkan diri bila bersalah dan tak berhasil dalam menjalankan tugas.
Sifat dan karakter bangsa Jepang yang pekerja keras tentunya tak hanya datang
dalam waktu yang sebentar.
Revolusi mental
Istilah
'revolusi mental' pertama kali tertuang dalam tulisan Joko Widodo saat
mencalonkan diri sebagai Presiden RI pada 2014. Kekhawatiran yang
dituangkannya ialah bahwa Indonesia telah menjadi model bagi berbagai negara
karena kestabilan dan pertumbuhan perekonomiannya, tetapi masih ditemui
keresahan dan konflik di masyarakat.
Pada
2016, revolusi mental menelan biaya sebesar Rp187,8 miliar yang dialokasikan
ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian
Sosial, dan Kementerian Kesehatan dengan target untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat miskin (melalui akses pendidikan dan kesehatan). Dapat
dipahami bahwa revolusi mental ditujukan pada peningkatan taraf kehidupan
masyarakat. Akan tetapi, dapat dilihat kegiatan revolusi mental hanya ramai
di ranah birokrasi pemerintahan, bahwa revolusi harus dimulai dari wilayah
institusional.
Tak
jarang kita lihat bahwa pemerintah membuat mars atau kegiatan senam revolusi
mental, atau dapat ditangkapnya penerima pungutan liar sebagai keberhasilan
program revolusi mental. Bila menilik kembali tulisan Joko Widodo pada 2014,
ia menyebutkan 'Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan
perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat
mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita
ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan
membawa kesejahteraan.
Sejarah
Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan
(missmanagement) negara telah membawa bencana besar nasional' (Kompas, 2014).
Untuk itu, tulisan ini berusaha mengingatkan kembali bahwa revolusi mental
bukanlah sekadar jargon dan seremonial serta hanya ditujukan bagi institusi,
melainkan juga merupakan perubahan mendasar yang akan memberikan dampak
jangka panjang. Kesadaran bahwa revolusi mental bukanlah jargon akan menjaga
kekhawatiran bahwa program pemerintah yang dijalankan ialah berakhir seiring
dengan berakhirnya para pemegang jabatan tersebut.
Penegakan hukum
Perlu
diakui bahwa mengubah karakter individual, apalagi mengubah karakter
kelompok-kelompok masyarakat, tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu
waktu bertahun-tahun bagi Singapura dan Jepang untuk menjadi yang terbaik di
Asia. Revolusi mental ditujukan untuk mengatur moralitas dan kedisiplinan
publik agar masyarakat sadar akan hak dan kewajiban. Langkah paling sederhana
untuk mendukung revolusi mental adalah penegakan hukum bagi siapa saja yang
melanggar dan menyalahi hak masyarakat luas. Karena itu, sebagai masyarakat
kecil kita tak perlu kecewa bila ditilang karena memang melanggar hukum.
Karena
itu, sebagai pengusaha, aparat, dan pejabat tak perlu takut dan mengelak bila
hukum tak berlaku surut untuk mereka. Membangun karakter bangsa membutuhkan
waktu yang panjang dan komitmen bersama dari semua pihak. Untuk itu,
pemerintah sebagai pemilik agenda dan pendana revolusi mental perlu mengingat
kembali bahwa revolusi tidak dimulai dari institusional, tetapi dimulai dari
semua unsur bangsa (pemerintah, TNI, Polri, pengusaha, budayawan, tokoh
agama, akademisi) dan kesemua bergabung menjadi satu unsur, yaitu 'kita'.
Semoga di tengah riuhnya politik menjelang pergantian pemimpin daerah, 'kita'
tidak melupakan urgensi revolusi mendasar untuk membentuk karakter bangsa
agar sejajar dengan bangsa maju lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar