Jumat, 10 Februari 2017

Hari Pers Nasional 2017 Ambon dan Hoax

Hari Pers Nasional 2017 Ambon dan Hoax
Ignatius Haryanto ;  Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP); Pengajar Jurnalistik
                                           MEDIA INDONESIA, 09 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini mengambil tempat di Kota Ambon, Maluku, suatu wilayah yang pernah menjadi headline berbagai media pada akhir tahun 1990-an hingga pertengahan tahun 2000-an. Tak bisa tidak kita akan mengenang bahwa salah satu wilayah di Indonesia timur ini pernah sangat mencekam karena adanya gesekan dalam kelompok masyarakat di sana dan pers di Pulau Maluku ini pun sempat terbelah di antara kelompok yang saat itu bertikai. Ambon tidak sendirian karena sebelumnya pernah terekam juga kerusuhan yang terjadi di Situbondo, Tasikmalaya, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan sejumlah wilayah lainnya.

Syukurlah bahwa kondisi tersebut sudah lewat, dan banyak orang belajar dari apa yang terjadi dari situasi konflik pada masa itu. Penulis sendiri berkali-kali datang ke wilayah Maluku ini antara tahun 2003 hingga tahun 2013. Ambon kini ialah kota yang cantik, bersih, rapi, dan telah menata dirinya serta bangkit dari situasi konflik beberapa waktu lalu. Jika tahun ini Ambon dipilih sebagai lokasi penyelenggaraan HPN, ini menunjukkan bahwa citra Ambon membaik di kalangan pers nasional. Pemerintah pun memberi kepercayaan agar tanah pejuang Pattimura ini terekspos ke luar dengan pemberitaan yang lebih positif jika dibanding masa sebelumnya. Sedikit banyak konflik di Ambon tempo hari berasal juga dari informasi-informasi yang tak jelas juntrungan.

Kalau hari ini banyak orang bicara soal hoax, mungkin Ambon ialah salah satu kota yang paling awal jadi korban dari informasi yang tak selalu terverifikasi tersebut. Akibatnya, ribuan orang menjadi korban, baik menjadi korban jiwa, korban sebagai pengungsi, maupun korban karena trauma yang dideritanya. Dalam situasi konflik, kita tidak bisa menerapkan 'matematika konflik'. Maksudnya ialah korban pihak mana yang jatuh paling banyak, siapa yang lebih menderita, dan siapa yang sesungguhnya menang. Tak relevan menjawab itu semua karena semua pihak jadi korban, turut menderita, dan sesungguhnya tak ada pihak mana pun yang menang.

Kita pun jadi belajar banyak bahwa informasi jika tidak diverifikasi lebih dahulu akan mudah menyulut konflik. Oleh karena itu, sejumlah blogger di Ambon pun turut meredakan suasana ketika sejumlah media nasional mengabarkan situasi Ambon yang tidak kondusif (lihat film dokumenter Lini Massa 2, karya ICT Watch dan Watch Doc). Bagaimana merespons hoax? Sejak akhir 2016 kita disibukkan dengan pembicaraan soal hoax, yaitu berita yang faktanya salah, tidak jelas atau tidak terverifikasi. Kita membicarakan ini karena ada juga kaitannya dengan persaingan politik yang terjadi dalam pilkada di DKI, yang sering dibilang pilkada dengan rasa pilpres. Di luar itu ada banyak hal yang berkaitan: kelompok radikal memanfaatkan media sosial dan media online untuk sarana propaganda dan rekrutmen anggota, ada upaya untuk menertibkan sejumlah media online tersebut, media yang partisan, dalam media sosial banyak perseteruan terjadi dan saling menebarkan berita bohong kepada pihak lainnya.

Saya ingin menegaskan bahwa hoax bukanlah bagian dari demokrasi karena pada dasarnya hoax berurusan dengan fakta yang dipergunakan untuk menghasilkan berita. Jika kita percaya bahwa kebebasan informasi ialah oksigen bagi demokrasi, hoax ialah hawa racun yang akan merusak kehidupan demokrasi. Hal lain yang bisa dikatakan ialah bahwa opini atas suatu hal/peristiwa ialah bebas. Namun, jika menyangkut fakta, fakta diperlakukan dengan suci, yang tak boleh ada manipulasi di dalamnya sehingga prinsip truth (kebenaran) atas fakta, atau informasi harus didahulukan. Itu pelajaran dasar untuk menjadi seorang jurnalis. Masyarakat perlu lebih cerdas merespons berita hoax dengan terus-menerus kritis terhadap informasi yang bombastis, sensasional, dan datang dari situs berita yang tak kredibel. Lalu apa yang perlu dilakukan terhadap situs berita tertentu yang menebarkan hoax?

Saya kira ini sudah bukan ranah jurnalistik, dan untuk itu korban dari berita hoax bisa mengadu ke kepolisian. Media yang kredibel harus bekerja keras untuk melakukan verifikasi atas fakta yang hoax tersebut. Fakta sesungguhnya harus dikedepankan. Misalnya, ketika muncul isu soal '10 juta pekerja asal Tiongkok yang datang ke Indonesia', ternyata angka 10 juta tersebut ialah angka target pemerintah untuk meraih kunjungan 10 juta wisatawan asal Tiongkok dalam lima tahun ke depan. Hingga akhir tahun 2015 saja target itu baru tercapai 1,5 juta kunjungan wisatawan asal Tiongkok. Jadi bukan 10 juta pekerja asal Tiongkok. Memang pemerintah harus gerak cepat merespons berita hoax semacam ini dan pemerintah harus peka bahwa ketika sejumlah media tertentu mulai 'menggoreng' berita-berita tertentu, klarifikasi harus segera diberikan, sebelum kerugian lebih jauh terjadi.

Soal barcode oleh dewan pers

Peristiwa lain yang juga masih berkaitan ialah upaya dari pihak Dewan Pers untuk membuat barcode untuk melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers yang ada. Terhadap rencana ini ada banyak respons: antara yang mendukung dan menolak penerapan barcode tersebut. Ada pihak yang meragukan, apakah penerapan barcode ini tidak merupakan suatu bentuk 'izin' sebagaimana pernah diberlakukan di zaman Orde Baru. Saya pribadi paham dengan latar belakang mengapa pihak Dewan Pers menerapkan sistem barcode tersebut. Upaya ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dan berbagai pihak lain yang puluhan tahun harus berhadapan dan media dan orang yang 'menyalahgunakan' profesi jurnalis.

Mereka yang profesional dan tunduk pada ketentuan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, tidak perlu takut meminta barcode. Ini cara untuk membedakan mana media yang profesional dan mana yang tidak. Dewan Pers sendiri punya ketentuan yang mengatur masalah standar perusahaan pers, yang gunanya melindungi kepentingan masyarakat luas dari pihak yang menyalahgunakan profesi jurnalis tersebut. Saya kira barcode bukanlah suatu izin semacam SIT atau SIUPP pada masa Orde Baru karena Dewan Pers bukan institusi yang memberikan izin pendirian perusahaan pers. Media berbasis jurnalistik yang hendak menjalankan kegiatannya ya harus patuh pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jika hal itu tidak dilakukan, UU Pers pun tak bisa melindungi media tersebut dan orang yang menyalahgunakan profesi jurnalistik.

Memang tantangan dunia pers dari masa ke masa tak pernah sepi, tetapi guna menanggapi masalah ini harus dilakukan secara proporsional dan lebih bijak. Kembali ke dasar saja: fakta itu suci, opini itu bebas. Melawan hoax, ya dengan menyuguhkan fakta yang sesungguhnya. Jika pers mainstream kalah dengan media penyebar hoax, perlahan-lahan media ini telah mulai kehilangan relevansinya dalam masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar