Hari
Pers Nasional 2017 Ambon dan Hoax
Ignatius Haryanto ; Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP); Pengajar Jurnalistik
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Februari 2017
PERINGATAN
Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini mengambil tempat di Kota Ambon, Maluku,
suatu wilayah yang pernah menjadi headline berbagai media pada akhir tahun
1990-an hingga pertengahan tahun 2000-an. Tak bisa tidak kita akan mengenang
bahwa salah satu wilayah di Indonesia timur ini pernah sangat mencekam karena
adanya gesekan dalam kelompok masyarakat di sana dan pers di Pulau Maluku ini
pun sempat terbelah di antara kelompok yang saat itu bertikai. Ambon tidak
sendirian karena sebelumnya pernah terekam juga kerusuhan yang terjadi di
Situbondo, Tasikmalaya, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku Utara,
Sulawesi Tengah, dan sejumlah wilayah lainnya.
Syukurlah
bahwa kondisi tersebut sudah lewat, dan banyak orang belajar dari apa yang
terjadi dari situasi konflik pada masa itu. Penulis sendiri berkali-kali
datang ke wilayah Maluku ini antara tahun 2003 hingga tahun 2013. Ambon kini
ialah kota yang cantik, bersih, rapi, dan telah menata dirinya serta bangkit
dari situasi konflik beberapa waktu lalu. Jika tahun ini Ambon dipilih
sebagai lokasi penyelenggaraan HPN, ini menunjukkan bahwa citra Ambon membaik
di kalangan pers nasional. Pemerintah pun memberi kepercayaan agar tanah
pejuang Pattimura ini terekspos ke luar dengan pemberitaan yang lebih positif
jika dibanding masa sebelumnya. Sedikit banyak konflik di Ambon tempo hari
berasal juga dari informasi-informasi yang tak jelas juntrungan.
Kalau
hari ini banyak orang bicara soal hoax, mungkin Ambon ialah salah satu kota
yang paling awal jadi korban dari informasi yang tak selalu terverifikasi
tersebut. Akibatnya, ribuan orang menjadi korban, baik menjadi korban jiwa,
korban sebagai pengungsi, maupun korban karena trauma yang dideritanya. Dalam
situasi konflik, kita tidak bisa menerapkan 'matematika konflik'. Maksudnya
ialah korban pihak mana yang jatuh paling banyak, siapa yang lebih menderita,
dan siapa yang sesungguhnya menang. Tak relevan menjawab itu semua karena
semua pihak jadi korban, turut menderita, dan sesungguhnya tak ada pihak mana
pun yang menang.
Kita
pun jadi belajar banyak bahwa informasi jika tidak diverifikasi lebih dahulu
akan mudah menyulut konflik. Oleh karena itu, sejumlah blogger di Ambon pun
turut meredakan suasana ketika sejumlah media nasional mengabarkan situasi
Ambon yang tidak kondusif (lihat film dokumenter Lini Massa 2, karya ICT
Watch dan Watch Doc). Bagaimana merespons hoax? Sejak akhir 2016 kita
disibukkan dengan pembicaraan soal hoax, yaitu berita yang faktanya salah,
tidak jelas atau tidak terverifikasi. Kita membicarakan ini karena ada juga
kaitannya dengan persaingan politik yang terjadi dalam pilkada di DKI, yang
sering dibilang pilkada dengan rasa pilpres. Di luar itu ada banyak hal yang
berkaitan: kelompok radikal memanfaatkan media sosial dan media online untuk
sarana propaganda dan rekrutmen anggota, ada upaya untuk menertibkan sejumlah
media online tersebut, media yang partisan, dalam media sosial banyak
perseteruan terjadi dan saling menebarkan berita bohong kepada pihak lainnya.
Saya
ingin menegaskan bahwa hoax bukanlah bagian dari demokrasi karena pada
dasarnya hoax berurusan dengan fakta yang dipergunakan untuk menghasilkan
berita. Jika kita percaya bahwa kebebasan informasi ialah oksigen bagi
demokrasi, hoax ialah hawa racun yang akan merusak kehidupan demokrasi. Hal
lain yang bisa dikatakan ialah bahwa opini atas suatu hal/peristiwa ialah
bebas. Namun, jika menyangkut fakta, fakta diperlakukan dengan suci, yang tak
boleh ada manipulasi di dalamnya sehingga prinsip truth (kebenaran) atas
fakta, atau informasi harus didahulukan. Itu pelajaran dasar untuk menjadi
seorang jurnalis. Masyarakat perlu lebih cerdas merespons berita hoax dengan
terus-menerus kritis terhadap informasi yang bombastis, sensasional, dan
datang dari situs berita yang tak kredibel. Lalu apa yang perlu dilakukan
terhadap situs berita tertentu yang menebarkan hoax?
Saya
kira ini sudah bukan ranah jurnalistik, dan untuk itu korban dari berita hoax
bisa mengadu ke kepolisian. Media yang kredibel harus bekerja keras untuk
melakukan verifikasi atas fakta yang hoax tersebut. Fakta sesungguhnya harus
dikedepankan. Misalnya, ketika muncul isu soal '10 juta pekerja asal Tiongkok
yang datang ke Indonesia', ternyata angka 10 juta tersebut ialah angka target
pemerintah untuk meraih kunjungan 10 juta wisatawan asal Tiongkok dalam lima
tahun ke depan. Hingga akhir tahun 2015 saja target itu baru tercapai 1,5
juta kunjungan wisatawan asal Tiongkok. Jadi bukan 10 juta pekerja asal
Tiongkok. Memang pemerintah harus gerak cepat merespons berita hoax semacam
ini dan pemerintah harus peka bahwa ketika sejumlah media tertentu mulai 'menggoreng'
berita-berita tertentu, klarifikasi harus segera diberikan, sebelum kerugian
lebih jauh terjadi.
Soal barcode oleh dewan
pers
Peristiwa
lain yang juga masih berkaitan ialah upaya dari pihak Dewan Pers untuk
membuat barcode untuk melakukan verifikasi terhadap perusahaan pers yang ada.
Terhadap rencana ini ada banyak respons: antara yang mendukung dan menolak
penerapan barcode tersebut. Ada pihak yang meragukan, apakah penerapan
barcode ini tidak merupakan suatu bentuk 'izin' sebagaimana pernah
diberlakukan di zaman Orde Baru. Saya pribadi paham dengan latar belakang
mengapa pihak Dewan Pers menerapkan sistem barcode tersebut. Upaya ini
dilakukan untuk melindungi masyarakat dan berbagai pihak lain yang puluhan
tahun harus berhadapan dan media dan orang yang 'menyalahgunakan' profesi
jurnalis.
Mereka
yang profesional dan tunduk pada ketentuan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik,
tidak perlu takut meminta barcode. Ini cara untuk membedakan mana media yang
profesional dan mana yang tidak. Dewan Pers sendiri punya ketentuan yang
mengatur masalah standar perusahaan pers, yang gunanya melindungi kepentingan
masyarakat luas dari pihak yang menyalahgunakan profesi jurnalis tersebut.
Saya kira barcode bukanlah suatu izin semacam SIT atau SIUPP pada masa Orde
Baru karena Dewan Pers bukan institusi yang memberikan izin pendirian
perusahaan pers. Media berbasis jurnalistik yang hendak menjalankan
kegiatannya ya harus patuh pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jika hal
itu tidak dilakukan, UU Pers pun tak bisa melindungi media tersebut dan orang
yang menyalahgunakan profesi jurnalistik.
Memang
tantangan dunia pers dari masa ke masa tak pernah sepi, tetapi guna
menanggapi masalah ini harus dilakukan secara proporsional dan lebih bijak.
Kembali ke dasar saja: fakta itu suci, opini itu bebas. Melawan hoax, ya
dengan menyuguhkan fakta yang sesungguhnya. Jika pers mainstream kalah dengan
media penyebar hoax, perlahan-lahan media ini telah mulai kehilangan
relevansinya dalam masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar