Tanggapan atas Opini Bagong
Suyanto soal Penghentian Tunjangan Guru Besar
Lecutan
untuk Profesor
Budi Santosa ; Guru Besar Teknik Industri dan Anggota Senat
Akademik ITS
|
JAWA
POS, 09
Februari 2017
Rencana
penghentian tunjangan bagi profesor maupun dosen dengan jabatan lektor kepala
seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan
Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor telah mendatangkan diskusi
yang ramai di kalangan akademisi. Di beberapa universitas bahkan para dosen
sangat khawatir dengan permen itu.
”Ancaman”
tersebut menurut pendapat saya wajar sekali. Pemerintah telah mengeluarkan
sejumlah dana yang besar untuk tunjangan profesor dan dosen lektor kepala
tanpa diimbangi output yang menggembirakan. Peringkat publikasi kita di level
internasional juga masih jauh dari negara-negara tetangga. Dalam tulisan ini
saya menyampaikan tanggapan yang berbeda dengan apa yang disampaikan Bagong
Suyanto: Penghentian Tunjangan Guru Besar (Jawa Pos, 8/2).
Banyak
dosen yang ingin menjadi profesor. Selain karena ingin mencapai puncak karir
sebagai dosen dan beberapa ingin mendapatkan gelar sebagai pemegang otoritas
keilmuan, faktor tunjangan menjadi pemicu yang tidak kalah penting. Tunjangan
yang besar untuk para profesor bahkan telah membuat beberapa kasus
pelanggaran etika akademis. Di Ditjen Dikti ditemukan kasus pemalsuan jurnal
ilmiah dengan cara yang canggih oleh beberapa dosen pengusul jabatan
profesor. Itu yang membuat Dikti semakin memperketat persyaratan menjadi
profesor. Betapa menariknya menjadi profesor.
Sudah
sewajarnya setiap reward dibarengi tanggung jawab. Selama ini profesor kita
dan para dosen lektor kepala hampir tidak melakukan tanggung jawab akademis
setelah menerima tunjangan yang cukup memadai. Bahkan, tidak ada perubahan
kinerja setelah adanya tunjangan tersebut. Itu yang membuat pemerintah perlu
mengambil tindakan. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri kecewa atas
capaian publikasi kita yang jauh di bawah negara tetangga Malaysia, apalagi
Singapura.
Situs
yang mengolah data pemeringkatan publikasi ilmiah, SCImago Lab
(www.scimagojr.com), melaporkan jumlah publikasi ilmiah dari 1996–2015
berdasar data dari pusat data Scopus. Situs tersebut memeringkat hasil
publikasi 239 negara. Dari situs SCImago diketahui, Indonesia berada di
urutan ke-57 dari sebelumnya 61 pada 2013. Sedangkan jumlah jumlah publikasi
sebanyak 39.719 dari 25.481 pada 2013. Memang telah terjadi peningkatan.
Namun, Indonesia masih kalah jauh dengan negara tetangga ASEAN. Singapura,
Malaysia, dan Thailand berada di ranking ke-32, 35, dan 43 dengan
masing-masing jumlah publikasi 215.553, 181.251, dan 123.410. Bisa
dibayangkan jika angka tersebut dihitung per kapita dengan membaginya dengan
jumlah penduduk, maka posisi kita akan makin terperosok.
Dari
data di atas, sudah pantas jika pemerintah menerapkan aturan yang lebih bisa
melecut para dosen untuk dapat berprestasi lebih baik dalam hal publikasi.
Belum lagi jika kita membicarakan jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah
untuk membayarnya. Pemerintah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 1,48 triliun
untuk memberikan tunjangan kepada 5.097 profesor dan 31.010 lektor kepala
(Bagong Suyanto, Jawa Pos, 8/2) selama satu tahun jika diasumsikan tunjangan
profesor dan lektor kepala masing-masing Rp 6 juta dan Rp 3 juta. Angka yang
cukup besar untuk menuntut tambahan capaian kinerja para dosen.
Selama
ini pemerintah juga sudah menyediakan dana penelitian yang memadai. Untuk
sebuah penelitian level profesor, bisa mulai Rp 100 juta hingga Rp 1 miliar.
Skema penelitian lewat Dikti jika masuk kategori unggulan bisa didanai hingga
Rp 1 miliar. Jika mau membuat karya penelitian yang lebih bagus, bisa
mengajukan dana penelitian ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) hingga
Rp 2 miliar. Jumlah yang sangat memadai untuk menghasilkan publikasi bermutu.
Tidak ada alasan keterbatasan dana untuk melakukan publikasi yang baik. Untuk
bidang-bidang ilmu soft yang tidak butuh eksperimen laboratorium atau studi
lapangan, bermodal komputer dan software, dana Rp 100 juta sudah cukup untuk
menghasilkan publikasi bermutu.
Bukan
itu saja, universitas biasanya juga masih menyediakan dana insentif untuk
setiap publikasi yang dihasilkan dosennya di luar dana penelitian. Jumlahnya
cukup untuk mengganti biaya publikasi. Selain itu, Kemenristekdikti
menyediakan dana insentif yang lebih besar untuk publikasi tersebut. Bahkan,
LPDP menyediakan insentif hingga Rp 100 juta untuk paper yang diterbitkan di
jurnal berkualitas bagus. Insentif yang luar biasa bagi para dosen. Tidak ada
alasan untuk tidak melakukan publikasi.
Memang
tidak mudah melakukan publikasi di jurnal internasional yang bagus.
Dibutuhkan kemampuan menulis dalam bahasa Inggris yang bagus, ditambah
kesabaran dan ketekunan serta kemauan untuk menerima masukan penelaah dari
bidang ilmu yang relevan. Prosesnya bisa sampai sembilan kali literasi mulai
pengiriman manuskrip kali pertama hingga diterbitkan. Dari sisi waktu, untuk
jurnal yang bagus, bisa 6 hingga 24 bulan. Proses panjang yang melelahkan
sekaligus menantang.
Namun,
hal itu sudah dilatih ketika para dosen menempuh pendidikan doktor. Apalagi
jika doktor lulusan luar negeri, pasti mengalami pahit getirnya bagaimana
membuat publikasi bermutu. Bukan pekerjaan mudah, tapi juga bukan hal yang
tidak mungkin. Mereka yang terbiasa bekerja secara instan memang harus
belajar banyak dari pekerjaan penerbitan paper di jurnal internasional
berkualitas. Tapi, kalaupun itu tidak tercapai, profesor atau dosen lektor
kepala bisa melakukan penulisan karya ilmiah berbentuk buku atau menciptakan
produk atau metode yang bisa dipatenkan.
Dengan
aturan baru tersebut, diharapkan publikasi bisa meningkat. Tuntutan yang
wajar kepada para dosen yang memang harus bekerja untuk tridarma perguruan
tinggi: mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Khusus untuk
profesor, tidak benar kalau tugasnya hanya mengajar, membimbing, dan menguji
mahasiswa. Profesor bahkan harus menyebarkan ide-ide dan pemikiran untuk
memajukan masyarakat.
Dengan
kombinasi antara semangat bersaing di level internasional, kewajiban
menyebarkan ide dan pemikiran, serta sudah memadainya tunjangan dan
tersedianya insentif publikasi, sudah seharusnya kita sambut tuntutan
pemerintah sebagai lecutan untuk lebih giat melakukan publikasi. Tidak
seharusnya setiap kebijakan pemerintah, yang tujuannya bagus, kita sikapi
dengan mencari pembenaran atas sikap kita selama ini.
Dosen
di negara lain pun mengemban tugas dan tanggung jawab yang sama.
Permenristekdikti itu memang masih akan dibawa ke presiden dan wakil presiden
untuk mendapat persetujuan pelaksanaannya. Namun, karena idenya dulu memang
berasal dari Presiden Jokowi, sangat mungkin permenristekdikti tersebut
dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar