Memurnikan
Peran Pers
Suko Widodo ; Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 09
Februari 2017
DEWAN
Pers baru saja mengumumkan hasil verifikasi terhadap institusi media massa
(pers). Terdapat 74 institusi pers yang dinyatakan terverifikasi.
Perinciannya, 39 media cetak, 8 media radio, 19 media televisi, 7 media
online, dan 1 kantor berita.
Hasil
verifikasi tersebut, tak pelak, menimbulkan pro-kontra, khususnya dari insan
pers. Pasalnya, terdapat banyak media massa yang dinilai memiliki
kredibilitas bagus di mata publik, tetapi tidak termasuk dalam institusi
media yang terverifikasi.
Jika
menilik jumlah media massa yang beredar di Indonesia, 74 media terverifikasi
tersebut termasuk sangat kecil. Menurut Koordinator Verifikasi Perusahaan
Pers Serikat Perusahaan Pers (SPS) Syafriadi, komponen dasar verifikasi
terdiri atas aspek administrasi perusahaan, penyediaan sumber daya manusia,
kondisi sarana dan prasarana redaksi, serta aspek keberlangsungan produk
pers.
Terlepas
dari pro-kontra atas pengumuman hasil verifikasi Dewan Pers tersebut, tentu
’’pelabelan’’ verifikasi itu akan berdampak pada perkembangan pers di
Indonesia. Dampak yang diideasikan adalah kualitas produk pers. Tetapi, sejatinya
ideasi itu bukanlah sebuah jaminan. Sebab, bukan tidak mungkin pers akan
kehilangan independensinya tatkala institusi pers berselingkuh dengan politik
dan kekuasaan.
Perkembangan Pers
Pasang
surut kehidupan pers Indonesia berlangsung sejajar dengan sistem politik yang
mengiringinya. Pada zaman Orde Baru, pers berada dalam subordinasi penguasa.
Jika kepentingan penguasa terganggu, sangat mungkin pers diberedel (izinnya
ditutup). Sejarah telah membuktikan, sejumlah institusi pers ditutup penguasa
karena berseberangan dengan kepentingan penguasa.
Pascareformasi
(1998), pers tumbuh dan berkembang luar biasa. Pertumbuhan jumlah lembaga
pers bak cendawan di kala hujan. Tetapi, dalam perkembangannya, tidak sampai
lima tahun, begitu banyak institusi pers yang tumbang. Mereka tumbang bukan
karena kekuasaan, tetapi lantaran tidak mampu menghidupi produksinya sendiri.
Baru
ketika perkembangan teknologi internet sebagai basis media online berkembang,
saat itu pula bermunculan ratusan ribu media online. Undang-Undang Pers (No
40/1999) memang memungkinkan dan mengakomodasi penyelenggaraan media online
sebagai sarana media massa selain cetak, radio, dan televisi. Pada 2016 Dewan
Pers mencatat, terdapat 43.400 media online. Di antara jumlah tersebut, yang
dinilai legal hanya sekitar 234 media.
Karena
itu, bisa dikatakan, pascareformasi, kehidupan pers di Indonesia terbangun
oleh produk pers yang sebagian besar anomali. Itulah fakta kehidupan pers
yang dihadapi Indonesia. Akibatnya, terdapat sejumlah kasus dan persoalan
yang menyertai kehidupan pers di Indonesia.
Pers
yang anomali menjadi belantara pertempuran berita. Setiap orang bisa menjadi
wartawan. Setiap orang bisa memproduksi berita dan memproklamasikan diri
sebagai lembaga pers. Sekelompok orang bisa mendirikan perkumpulan jurnalis.
Pendek kata, kehidupan pers berjalan tanpa pranata pasti.
Akibatnya,
banyak orang yang kemudian menjadi tidak percaya dengan idealisme pers yang
mengemban amanah rakyat. Kalangan pers juga terganggu oleh hadirnya media
abal-abal (media yang hanya diproduksi untuk kepentingan sesaat). Seketika
juga, antarinstitusi pers berselisih sebagai akibat perselingkuhannya dengan
dunia politik.
Itulah
wajah pers dalam 18 tahun terakhir sejak reformasi. Pers yang seharusnya
hadir membawa idealisme kebenaran terpaksa menuai cibiran dari publik karena
tidak bisa menjadi sarana aspirasi publik.
Kredibilitas Pers
Pers
memang selalu hidup dalam dua sisi, antara ruang benci dan ruang rindu.
Pemberitaan ’’buruk’’ (meski jujur dan benar) akan membuat objek berita marah
dan membencinya. Sedangkan pemberitaan ’’baik’’ (meski tidak jujur) akan
membuat pers dirindu dan dipuja. Di sinilah sesungguhnya keobjektifan pers
diperlukan.
Verifikasi
Dewan Pers selayaknya direspons dengan bijak. Upaya verifikasi itu mesti
dipandang sebagai upaya untuk mengukuhkan pers sebagai sarana komunikasi
dalam negara yang demokratis. Meski juga, jangan pernah dilepaskan
kekhawatiran kita terhadap upaya penguasa untuk mengebiri kebebasan pers di
Indonesia.
Peran
idealis pers selayaknya dihadirkan kembali. Pers harus kembali pada jati
dirinya sebagai pers perjuangan. Menurut tokoh pers almarhum Rosihan Anwar,
pers Indonesia adalah pers perjuangan. Perjuangan apa? Perjuangan melawan
ketidakbenaran dan ketidakadilan.
Memurnikan
idealisme pers sebagai pers perjuangan bukanlah perkara mudah. Regulasi pers
yang berbasis perusahaan, suka atau tidak suka, membawa konsekuensi bagi para
awak media. Mereka sering harus ’’tunduk’’ pada kepentingan pasar sebagai
tuntutan kontinuitas produk persnya. Pada titik tertentu pula, perusahaan
harus bersinggungan dengan kekuasaan sebagai cara untuk mengamankan
keberlangsungan institusi pers sebagai sebuah usaha bisnis.
Dalam
perayaan Hari Pers Nasional 2017 ini, kiranya perlu direnungkan kembali, untuk
apa pers hadir? Sungguh tidak mudah menegakkan idealisme di tengah sistem
politik Indonesia yang belum mapan. Tetapi, di sinilah letak heroiknya
perjuangan melawan ketidakbenaran dan ketidakadilan.
Pada
era komunikasi dengan ketersediaan informasi yang meluber, kini publik bebas
memilih dan memilah informasi. Verifikasi Dewan Pers boleh saja berpengaruh,
tetapi sesungguhnya seleksi publik secara alamiahlah yang menentukan
keberlangsungan pers.
Jika
ingin diterima publik, pers harus menyediakan informasi yang faktual, bukan
abal-abal. Sudah saatnya pers Indonesia mencari jalan kembali menuju
idealisme pers yang sesungguhnya. Pers yang memperjuangkan kebenaran dan
keadilan dengan mengungkapkan fakta-fakta yang sebenarnya.
Pers
Indonesia sebagai pilar keempat demokrasi memang masih membutuhkan upaya
perbaikan, terutama dalam membangun kembali idealisme yang dinilai sudah
runtuh. Membangun kredibilitas dengan memurnikan pers sebagai sarana
perjuangan. Selamat Hari Pers Nasional! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar