Bumerang
Dana Desa
Sumaryoto Padmodiningrat ; Mantan Anggota DPR RI
|
SUARA
MERDEKA, 08 Februari 2017
“Kita menyambut baik
langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko
Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa.”
ADA
dua faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi: niat dan kesempatan.
Ada niat tetapi tak ada kesempatan, tidak jadi korupsi. Ada kesempatan tetapi
tidak ada niat, juga tidak akan terjadi korupsi. Adanya niat dan kesempatan
itulah yang menyebabkan banyak kepala desa (kades), misalnya, melakukan
korupsi dana desa. Seperti disampaikan Juru Bicara Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Febri Diansyah, setelah KPK menerima kunjungan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo untuk
koordinasi pencegahan penyimpangan dana desa, Rabu (1/2), ada indikasi
penyimpangan dana desa yang disebabkan oleh sistemnya.
Bolong-bolong
sistem dalam pengelolaan dana desa itulah yang menjadi kesempatan
penyimpangan dana desa. Sepanjang 2016, KPK menerima 362 laporan masyarakat
terkait dengan dana desa. Dari 362 laporan itu, 141 laporan direkomendasikan
ditelaah, dan dari keseluruhan yang telah ditelaah, ada 87 laporan yang
dikaji lebih dalam. Sebanyak 87 laporan inilah yang akan diusut KPK. Pasal 11
Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, KPK berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang;
a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penagak
hukum atau penyelenggara negara; b) mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat, dan/atau; c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1
miliar. Apakah kades termasuk penyelenggara negara?
Sesuai
dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), kades tidak
termasuk pejabat negara. Adapun Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme menyatakan, ”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Apakah kades
termasuk ke dalam Pasal 1 angka 1 UU No 28/1999 tersebut? Masih debatable.
Katakanlah
tidak termasuk penyelenggara negara, dan nilai korupsinya pun tak sampai Rp1
miliar, namun bila kasusnya menarik perhatian yang meresahkan masyarakat,
kades tetap bisa dijerat oleh KPK, bahkan meskipun terjadi di sebuah desa
terpencil nun jauh dari Jakarta. Bagaimana dengan niat?
Niat
ini relatif, karena adanya di dalam hati. Namun, bila melihat besarnya dana
desa, bisa jadi seseorang yang semula tidak berniat korupsi kemudian timbul
niat.
Tiap Tahun Naik
Setiap
tahun Presiden Joko Widodo dan DPR RI menaikkan anggaran dana desa dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2015, dana desa sebesar
Rp 20,8 triliun, tahun 2016 naik menjadi Rp 46,96 triliun, tahun 2017 ini
naik menjadi Rp 60 triliun, dan tahun depan akan naik lagi menjadi Rp 120
triliun.
Saat
ini, dana desa yang diterima rata-rata mencapai Rp 800 juta per desa, dan
akan ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar per desa. Ini belum ditambah
Alokasi Dana Desa (ADD) yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah per desa.
Bayangkan, sebuah desa yang biasanya berkutat dengan anggaran puluhan atau
ratusan juta rupiah, kini harus mengurus anggaran miliaran rupiah. Ini bisa
menjadi kesempatan emas bagi kades atau pejabat desa lainnya, sehingga
kemudian timbul niat untuk korupsi. Apalagi, dana yang harus dikeluarkan
dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saat ini, terutama untuk ”serangan
fajar”, ralatif tinggi, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah.
Di
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, misalnya, seorang calon kades bisa menghabiskan
uang hingga Rp 3 miliar. Bila dilihat dari gaji atau ìbengkokî dan fasilitas
lainnya yang diterima kades, secara logika, tak mungkin dana sebesar itu bisa
kembali atau break effent point (BEP) dalam 6 tahun masa jabatan kades.
Satu-satunya jalan agar kembali modal adalah korupsi.
Maka
tak heran bila saat ini banyak kades yang terlibat korupsi dana desa. Niat
dan kesempatan kian sempurna bila berpadu dengan ketidakmampuan kepala desa
dalam mengelola anggaran, dan kekuasaan yang dimiliki kepala desa yang hanya
dikontrol oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) yang biasanya anggota dan
pimpinannya adalah orang-orang dekat kades. Kesalahan administrasi saja bisa
mengantarkan kades ke penjara. Di sisi lain, kekuasaan yang dimiliki kades,
sebagaimana dalil Lord Acton (1834-1902) ”Power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan
cenderung korup, dan kekuasaan mutlak cenderung korup mutlak pula), juga bisa
mengantarkan kades ke penjara. Membangun desa dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan adalah salah
satu poin Nawa Cita Presiden Jokowi.
Ini
selaras dengan lahirnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa yang sebelumnya
tidak punya banyak dana, sekarang berlimpah dana. Akankah melimpahnya dana
desa tersebut menjadi bumerang yang mencelakakan kades dan rakyatnya?
Bisa
jadi, terutama bila kades kurang berhati-hati. Sebab itu, kita menyambut baik
langkah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko
Putro Sandjojo yang melibatkan KPK untuk mencegah penyimpangan dana desa. KPK
juga sudah mengimbau agar masyarakat dilibatkan dalam pengawasan dana desa.
Pendampingan
harus dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, hingga
pengawasan, termasuk dalam menyusun pelaporan dan pertanggungjawabannya. Di
sisi lain, kita berharap para kades membekali diri dengan kemampuan manajemen
dan administrasi keuangan. Melawan korupsi tidak hanya dengan penindakan,
tetapi juga dengan pencegahan. Bahkan mencegah lebih baik daripada mengobati.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar