Algoritme
Kebencian
Geger Riyanto ; Esais; Peneliti Sosiologi; Mengajar Filsafat
Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia dan Bergiat di Koperasi
Riset Purusha
|
KOMPAS, 07 Februari 2017
“Apabila Anda ingin
memerdekakan sebuah masyarakat, yang Anda butuhkan adalah internet.” Wael
Ghonim, Aktivis Internet
Sewaktu
Ghonim mencetuskan ini pada 2011, optimismenya memang beralasan. Mesir berada
di ambang revolusi yang akan menggulingkan pemerintahan otoriter Mubarak.
Berkat media sosial, rakyat menemukan kelaliman pemerintah dan bergerak
menuntut perubahan.
Tak
butuh waktu lama sampai Ghonim pupus harapannya. Ghonim—yang perannya dalam
memobilisasi rakyat melalui Facebook dianggap vital—terkoyak menyaksikan
bagaimana media sosial memecah belah kekuatan rakyat yang seharusnya mengawal
demokratisasi di negaranya. Ujaran kebencian, provokasi mengadu domba, dan
berita palsu menguasai media sosial.
Kekecewaan
Ghonim kini tidak sulit kita jumpai. Sewaktu Trump memenangi pemilu tempo hari,
mata tak hanya tertuju pada kebangkitan populisme ekstrem yang melalap
berbagai belahan dunia hari ini. Berbagai pihak menuntut Mark Zuckerberg, CEO
Facebook, untuk bertanggung jawab atas maraknya berita palsu yang
menguntungkan kandidat yang mengecer nasionalisme dan sensasionalisme vulgar
itu di media sosialnya.
Dari
data yang diperoleh perusahaan pemantau jejaring sosial, Buzzsumo, memang
klaim ini punya dasar. Dari 16 juta respons yang diperoleh 20 berita teratas
perihal pemilu di Facebook, 8,7 juta respons tertuju pada berita palsu
seperti ”Paus Francis Mendukung Trump” atau ”Hillary Terungkap Wikileaks
Menjual Senjata ke ISIS”. Sebagian besar berita itu melejitkan citra Trump
dan mencederai citra Hillary.
Apakah
situasi semacam ini asing di Indonesia? Kita tahu: tidak.
Gelembung paranoia
Kala
diminta pertanggungjawabannya atas berbagai informasi menyesatkan, Facebook
menampik. Seperti yang dari waktu ke waktu ditegaskannya, Mark Zuckerberg
mengetengahkan bahwa Facebook merupakan perusahaan teknologi. Facebook,
berbeda dengan media massa, tak memproduksi kandungan yang beredar di
jejaringnya. Karena itu tak bisa dituntut bertanggung jawab atasnya.
Namun,
kita pun bisa menimpali balik, andai saja persoalannya benar-benar
sesederhana itu. Sedari awal Facebook didesain sebagai sebuah ekologi digital
yang tak hanya menghubungkan orang-orang, tetapi juga menyihir mereka
tenggelam di dalamnya. Mereka mencetak untung dari waktu dan perhatian yang
dihabiskan para pengguna di jejaringnya—menjualnya sebagai peluang beriklan
strategis bagi perusahaan yang sadar televisi—saat daya jangkau media cetak
melemah sekarang.
Karena
itu, Facebook dalam usaha menegakkan dominasinya atas platform media sosial
lain mengembangkan algoritme yang efektif membaca sekaligus menyajikan
dinamika dan drama jejaring sosial yang mengikat penggunanya. Facebook
menyusun satu rumus untuk mengalkulasi acungan jempol, jejaring pertemanan,
waktu membaca pos, serta semua jejak perilaku digital pengguna yang dapat
menerka selera dan preferensi tiap pengguna. Lantas Facebook akan memilihkan
unggahan status, foto, berita dari jaringan sang pengguna yang dianggapnya
akan memikat pengguna bersangkutan.
Facebook
tak mengembangkan algoritme ini secara instan. Namun, hasilnya adalah
Facebook yang kita jumpai hari ini; media sosial terbesar yang jumlah
pengguna aktifnya tak mungkin lagi terkejar lagi oleh media sosial lainnya.
Apa yang acap Anda lihat pertama ketika membuka laman utamanya?
Muatan-muatan
menggugah emosi, sentimentil dan, yang terpenting, memaksa Anda terus
memancangkan perhatian ke lamannya. Banyak di antaranya yang, tak bisa kita
tampik, merupakan berita membahagiakan, seperti kabar kelahiran anak seorang
teman dekat. Yang tak kalah banyak adalah informasi yang menorehkan kebencian,
kemarahan, ketakutan, kecemasan.
Facebook
sendiri, tentu, tak pernah menggambarkan algoritme yang dikembangkannya
bertujuan memprovokasi atau memanipulasi emosi para penggunanya. Di laman
beritanya, Facebook menyampaikan bahwa pihaknya ingin merancang sebuah
platform tempat para penggunanya tak akan melewatkan kabar penting dari
jaringan perkawanannya serta memperoleh interaksi otentik dan bermakna.
Akan
tetapi, siapa yang bisa mengantisipasi kalau ternyata algoritme untuk tujuan
demikian melecut pula kandungan yang mengobarkan permusuhan kepada yang lain?
Bahwa yang lantas terjadi bukan hanya Anda terjalin setiap saat dengan
kawan-kawan, tapi juga digerayangi paranoia tak beralasan dari muatan yang
menggentayangi jejaring Anda?
Kapitalisme digital
Pengaruh
algoritme ini tak berhenti pada mengubah cara banyak orang memperoleh
informasi. Ia pun, dengan sendirinya, mengubah secara dramatis cara
orang-orang memproduksi dan mereproduksi informasi. Apabila satu pihak
menginginkan kandungan yang disusunnya tersebar dan memperoleh entah untung
sosial, politik, ataupun finansial darinya, mereka harus mengikuti logika
yang dirampungkan media sosial dalam penyajiannya.
Akibatnya
jika hari-hari ini situs berita kredibel sekalipun mengerdilkan dirinya
menjadi penjaja judul bombastis sentimental. Situs berita remang-remang,
dapat ditebak, semakin leluasa dalam menebar kabar liar yang tak dapat
dipertanggungjawabkan dan menyulut emosi. Muatan yang demikianlah toh yang,
harus diakui, mendapatkan panggung utama dalam jejaring sosial digital kita.
Sebuah
artikel BuzzFeed bahkan mengungkap ada sekelompok anak muda di Macedonia yang
pencahariannya menyusun dan menyebarkan berita palsu seputar pemilu AS dan
terutama yang mengangkat Trump. Mengapa mereka melakukannya? Jawabannya
sederhana: uang. Uang akan mereka peroleh ketika para pengguna media sosial
yang terbujuk mengunjungi situsnya. Namun, pertanyaan pentingnya, mengapa
mereka bisa melakukannya? Tak lain karena media sosial menyediakan medium
ampuh penyebarannya.
Yang
menarik, anak-anak muda ini mengaku sempat berusaha menayangkan pula berita
perihal senator Bernie Sanders. Namun, tak ada yang bergaung lebih kuat di
Facebook dibandingkan dengan berita tentang Trump dan Trump, kita tahu, sejak
pertama dibesarkan sekaligus membesarkan figurnya sendiri dengan kampanye
kebencian.
Bukankah
hal ini juga menggambarkan bagaimana kini muatan kebencian menyalip muatan
lainnya dalam menggenggam kehidupan digital kita? Itu lantaran ia lebih mudah
menjangkiti khalayak dan memungkinkan pihak mengambil keuntungan darinya?
Apa
yang kita saksikan ini menjadi paradoks telanjang era teknologi informasi.
Semakin canggih perkakas yang memudahkan kita berhubungan dengan insan lain,
semakin sempit dan picik cakrawala pandang kita. Kita jadi sandera sentimen
kita sendiri yang dipetakan, dipancing, dimanipulasi sehingga sebagian pihak
lain menangguk mujur. Kita jadi sandera sesosok makhluk dalam gelap yang
beberapa tahun silam bahkan belum lahir: kapitalisme digital. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar