Jumat, 17 Februari 2017

Industri dan Pendidikan Vokasi

Industri dan Pendidikan Vokasi
Budi Santosa  ;   Guru Besar Teknik Industri ITS
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seorang pengusaha di Surabaya suatu hari datang ke kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menawarkan kerja sama. Pengusaha yang juga seorang doktor lulusan Jerman ini menawarkan fasilitas  untuk dosen dan mahasiswa yang ingin magang atau kerja praktik di perusahaannya. 

Dia bersedia memberi fasilitas berupa studi kasus yang akan menjadi bidang garapan dosen atau mahasiswa sekaligus honor memadai. Kemudian, ada sebuah politeknik swasta di Purwakarta yang baru berumur tiga tahun yang punya kinerja luar biasa. Politeknik ini hanya menerima mahasiswa dari kalangan miskin dan semua diberi beasiswa. Direktur didatangkan dari sebuah universitas  di London, para dosen berasal dari berbagai universitas di Jepang, India dan Malaysia. Politeknik ini mempunyai  teaching factory sebagai tempat praktik mahasiswa dan produk hasil karya mahasiswanya diekspor ke luar negeri. Setiap bulan politeknik ini memperoleh keuntungan tidak kurang Rp 300 juta dari penjualan produk hasil karya mahasiswa tersebut.

Salah satu terobosan dalam bidang pendidikan yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo adalah meningkatkan pendidikan vokasi. Alasannya untuk memperbanyak tenaga terampil siap bekerja. Arah pendidikan kita lebih tepat sasaran dengan menggairahkan pendidikan vokasi ini. Hal ini  perlu didukung, baik oleh kalangan akademisi maupun kalangan industri. Tanpa dukungan industri pendidikan vokasi hanya akan seperti pendidikan akademik plus praktikum.

Baru-baru ini Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Mohammad Nasir menyatakan pemerintah mempermudah syarat pendirian pendidikan vokasi. Hal ini dimaksudkan  untuk mendorong munculnya pendidikan vokasi di setiap daerah. Ini akan diikuti perubahan  syarat-syarat pendidikan vokasi yang lebih mudah dalam hal jumlah dosen.  Jika awalnya syarat mendirikan pendidikan vokasi harus memiliki enam dosen, nantinya akan dikurangi, misalnya dengan tiga dosen akademisi. Namun, juga akan ada syarat pendirian pendidikan vokasi harus menyertakan kerja sama dengan industri. Syarat kedua ini adalah syarat mutlak agar pendidikan vokasi dapat mencapai sasaran: menciptakan tenaga kerja dengan keterampilan kerja yang memadai.

Nasir juga menyatakan rendahnya indeks kemampuan bekerja pekerja kita. Sebelumnya pernah dikeluhkan ketua Kadin tingkat kesiapan universitas dan kemampuan lulusan kita masih kurang. Fresh graduate, lulusan baru, baik  program S-1 ataupun D-3,  memiliki kemampuan minim,  jauh dari standar kebutuhan industri. Kualitas lulusan perguruan tinggi (PT) kita tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Begitu juga hasil tes Programme for the International Assessment of Adult Competencies terbaru yang menempatkan Indonesia peringkat paling bawah di hampir semua kompetensi. Survei terhadap tingkat kecakapan orang dewasa yang dilakukan oleh OECD ini mengukur kompetensi yang diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya sebagai anggota masyarakat, seperti kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah.

Pendidikan vokasi adalah salah satu jawabannya.  Keberhasilan pendidikan vokasi tentu saja akan sangat ditentukan adanya kerja sama dengan industri. Tanpa itu pendidikan vokasi akan banyak membahas teori dan praktik di laboratorium tanpa pengalaman industri yang memadai. Dalam pendidikan tinggi dan pendidikan vokasi kita khususnya, pelibatan industri dalam proses pendidikan masih sangat rendah. Industri lebih banyak mengambil dan menikmati hasil dari PT daripada ikut berinvestasi selama proses pendidikan. Akibatnya, kemampuan bekerja lulusan PT kita rendah karena pengalaman nyata untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan (skill) yang relevan memang tidak didapatkan selama kuliah.

Kita bisa becermin pada negara-negara industri maju terutama mengenai pendidikan vokasi ini. Di Jerman, Belanda, atau AS,  pendidikan berkembang karena dapat dukungan besar dari industri. Lulusan menjadi pandai bekerja karena selama masa pendidikan dapat pengalaman bekerja di industri. Masa muda ketika kemampuan menyerap ilmu  dalam taraf optimal sudah diperkenalkan dengan dunia industri.   Industri juga berkepentingan mendukung sektor pendidikan karena dari sana mereka bisa mendapatkan  SDM yang terampil dan siap mengembangkan industrinya. Di Indonesia mampukah kita mendapatkan kerja sama mutualisme seperti ini?

Hubungan PT dan industri

Yang diceritakan di awal tulisan ini termasuk kejadian langka sekaligus tipe ideal hubungan  industri dan pendidikan tinggi serta model pengelolaan pendidikan vokasi. Seorang pengusaha swasta menawarkan kerja sama seperti itu langka. Penyediaan fasilitas yang ditawarkan bukan sekadar menyediakan tempat belajar, melainkan juga menyiapkan kasus atau pekerjaan yang harus diselesaikan oleh dosen atau mahasiswa yang terhubung dengan proyek-proyek yang sedang mereka laksanakan. Tidak sekadar itu, perusahaan tersebut juga akan memberikan imbalan finansial yang layak.

Dia melakukan itu karena ingin melihat di Indonesia bisa berjalan kerja sama pendidikan-industri seperti yang dia lihat di Jerman. Baru kali ini ada sebuah perusahaan swasta yang   belum terlalu besar, tetapi punya visi bagus seperti ini. Kebanyakan yang terjadi perusahaan besar atau BUMN yang melakukannya. Itu pun tak ada fasilitas yang memadai atau hanya sekadar untuk memenuhi aspek tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Kadang mahasiswa magang yang punya potensi bagus cuma dijadikan tukang ketik atau tukang promosi di mal-mal. Sesuatu yang belum menyentuh makna inti sesungguhnya dari suatu kerja sama. Atau bahkan ada yang tak peduli dengan dunia pendidikan. Banyak yang hanya siap menyerap tenaga kerja tanpa mau berinvestasi membantu mengembangkan kualitas SDM. Seakan ada anggapan mahasiswa belum mampu bekerja secara profesional. Padahal, mahasiswa, setelah mencapai semester tertentu,  adalah aset yang siap diberi tantangan dengan biaya lebih murah daripada tenaga kerja reguler.

Perusahaan Jerman atau Belanda memang merasa butuh dengan dunia pendidikan, terutama vokasi. Bagi mereka tak ada yang lebih baik untuk mengisi kekosongan SDM selain pendidikan tinggi vokasi. Tidak hanya di dalam hal politeknik, anak-anak selevel SMA dalam bidang vokasi  sudah harus magang dan industri siap menampung. Industri semestinya beruntung bisa mendapatkan tenaga-tenaga terampil dan bisa dibayar tidak semahal karyawan reguler mereka.

 Sulit diharapkan visi pendidikan dimiliki pengusaha seperti contoh di awal tulisan ini.  Untuk itu, memang harus dilakukan langkah sistematis merangkul industri untuk mau lebih berkiprah memajukan pendidikan tinggi terutama vokasi. Awalnya adalah dengan menerapkan regulasi yang memaksa. Industri dalam skala tertentu dipaksa menyediakan slot pekerjaan untuk diisi para mahasiswa. Aturan ini akan memaksa mereka memfasilitasi para mahasiswa dalam arti menyediakan tempat, kasus atau problem dan juga dukungan finansial.  Ini bisa dijadikan ajang untuk membuktikan bahwa merekrut tenaga mahasiswa bukanlah hal yang merugikan bagi industri. Setelah proses berjalan, paksaan tadi diharapkan jadi kebutuhan. Di sanalah pemerintah, dalam hal ini Kemristek Dikti dan Kementerian Perindustrian,  bisa berperan dalam memajukan pendidikan dan industri melalui regulasi. Aturan harus dikawal. Tidak sekadar meluncurkan aturan lalu selesai tanpa pengawalan dan evaluasi.

PT juga perlu aktif menjalin hubungan baik dengan industri dalam jangka panjang. Tanpa itu industri akan enggan mendekat. Bagi mereka persoalannya adalah meraih untung sebesar-besarnya. Tanggung jawab pendidikan urusan pemerintah dan lembaga pendidikan. Riset atau pengajaran yang dikerjakan universitas atau politeknik kadang tak sesuai yang mereka butuhkan. Hubungan baik lewat workshop, pelatihan, atau mengundang kuliah tamu dari industri adalah hal-hal awal yang bisa dilakukan lembaga pendidikan agar bisa dekat dengan industri.

Beberapa kendala

Pendidikan vokasi juga perlu dukungan pemerintah daerah. Pemda perlu mendorong berkembangnya pendidikan vokasi sesuai potensi daerah. Namun, sayang dalam aturan perundangan sekarang belum diperbolehkan pemda menggunakan dananya untuk mendukung pendidikan vokasi. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemda tak bisa membiayai PT. Inilah hal lain yang harus diubah dari sisi aturan.

Di sisi lain, masyarakat masih memandang pendidikan vokasi sebagai pendidikan level dua setelah universitas. Mereka memandang yang bersekolah di vokasi tak akan mampu menduduki jabatan penting di industri. Bahkan, banyak yang menempuh pendidikan vokasi lalu melanjutkan ke jenjang akademik. Ini tentu perlu dapat perhatian bahwa pendidikan vokasi bukan pendidikan kelas dua. Mereka yang berkarier di industri lebih tepat masuk pendidikan vokasi. Banyak diperlukan tenaga pelaksana dan sedikit untuk mengisi pemikir atau yang menjadi pimpinan.

Sesuai visi ekonomi pemerintah yang menekankan program hilirisasi di mana diharapkan bisa tercipta produk-produk bernilai tambah yang siap pakai, maka diperlukan banyak tenaga terampil. Pendidikan vokasi dengan dukungan industi menjadi penting. Orientasi pendidikan tinggi memang saatnya berubah untuk memperkuat pendidikan vokasi ini. Tenaga-tenaga pendidiknya perlu mendapatkan pengalaman industri baik melalui magang atau training sehingga materi ajar akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan mengikuti perkembangan industri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar