Jumat, 17 Februari 2017

Mempercepat Reforma Agraria

Mempercepat Reforma Agraria
Iwan Nurdin  ;   Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mengawali 2017, Presiden Joko Widodo dalam rapat paripurna Kabinet Kerja menyatakan bahwa tahun ini pemerintah akan memfokuskan kerja untuk mewujudkan pemerataan ekonomi melalui reforma agraria.  Ini ketiga kalinya Presiden mengemukakan reforma agraria dalam rapat kabinet. Tahun lalu, bahkan diselenggarakan rapat kabinet terbatas khusus membahas reforma agraria.

Lalu, mengapa reforma agraria jalan di tempat? Sampai saat ini, menurut catatan penulis, redistribusi tanah baru mencapai 1 persen dari target Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan 13.000 ha dengan skema pengakuan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pemerintah sendiri melaporkan telah melakukan redistribusi tanah sekitar 4,2 persen dari target.  Lambatnya proses pelaksanaan akibat ketiadaan visi reforma agraria dan lemahnya inisiatif Kementerian ATR/BPN memimpin, mengoordinasikan kementerian lain, dan kelompok masyarakat sipil rencana pelaksanaan reforma agraria.

Ini menyebabkan kerangka regulasi operasional reforma agraria yang hendak dijalankan pemerintah belum juga diselesaikan. Draf perpres tentang reforma agraria sampai kini belum ada kabar akan disahkan.

Lokasi prioritas

Sampai sekarang, ada kesenjangan pemahaman terkait dengan reforma agraria yang disebut oleh pemerintah dan kalangan masyarakat sipil. Pemerintah membagi reforma agraria menjadi dua komponen besar, yaitu redistribusi tanah seluas 4,5 juta ha dan sertifikasi tanah seluas 4,5 juta ha. Semuanya harus dalam kategori clear and clean dari tumpang tindih izin dan konflik alias fresh land.

Sementara kalangan masyarakat sipil, khususnya kalangan gerakan reforma agraria, mendorong agar redistribusi dilakukan pada wilayah di mana terjadi ketimpangan agraria yang mencolok danterjadi konflik agraria. Pandangan ini didasarkan pada tujuan utama reforma agraria, yakni menurunkan ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria, meningkatkan kesejahteraan, dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Karena itu, area-area perkebunan dan kehutanan yang selama ini jadi titik ledak konflik agraria karena tumpang tindih izin, penyuapan, atau akrobat hukum lain adalah lokasi prioritas pelaksanaan reforma agraria.

Salah satu sumber keraguan pemerintah melakukan reforma agraria pada lokasi semacam ini adalah risiko langkah ini dipandang sebagai penyulut iklim buruk investasi, instabilitas, kepastian hukum, dan pertumbuhan ekonomi. Bukankah pada akhirnya langkah ini akan mengancam kesejahteraan umum yang lebih luas? Akan tetapi, keengganan melakukan reforma agraria di wilayah semacam ini juga membuat ketakstabilan politik dan kerugian sosial ekonomi cukup besar.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, pada 2016 terjadi sedikitnya 450 konflik agraria pada wilayah seluas 1,2 juta ha dan melibatkan 86.745 kepala keluarga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Meningkat dari 252 konflik pada 2015. Jika di rata-rata, setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 ha lahan terlibat dalam konflik.

Maraknya konflik agraria, perampasan tanah, dan perusakan lingkungan telah membuat daya saing produk industri perkebunan dan kehutanan Indonesia mudah diboikot oleh organisasi konsumen global dan dibebani aneka beban nontarif dalam perdagangan internasional karena memenuhi standar global terkait lingkungan hidup dan HAM.

Beban semacam ini kemudian kembali lagi kepada masyarakat melalui pembelian harga produk petani swadaya secara murah oleh industriawan bahkan berakibat pada hubungan industrial buruk seperti upah buruh murah, pelibatan buruh anak, dan perusakan lingkungan hidup. Masalah yang terus berputar-putar.

Mengingat kompleksitas dan saling berkelindannya masalah karena tak berjalannya reforma agraria, bahkan jika dijalankannya secara salah, perlu langkah berani dan bijak oleh pemerintah.  Beberapa langkah yang harus segera dilakukan, pertama, pada tataran politis presiden sebaiknya memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria yang paralel dengan penyelesaian konflik agraria struktural yang ada.

Kedua, pada tataran  regulasi, pemerintah segera mengesahkan Perpres Reforma Agraria. Ketiga, pada sisi implementasi membuka partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mendaftarkan lokasi, mengorganisasikan penerima manfaat dan model pembangunan berkelanjutan pada lokasi pelaksanaan reforma agraria.

Pada akhirnya, reforma agraria adalah perkara komitmen politik yang dibarengi dengan mencapai visi agraria konstitusi. Sejak awal kemerdekaan, ketika pemerintah menjalankan reforma agraria terbatas dengan menghapus tanah partikelir dan desa perdikan, atau hingga era reformasi dengan Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, reforma agraria adalah perkara komitmen politik kuat penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar