Buku
adalah Senjata
Nirwan Ahmad Arsuka ;
Pendiri Pustaka Bergerak
|
KOMPAS, 16 Februari 2017
Jika bangsa
adalah sebuah tubuh, maka pengetahuan-dalam pengertiannya yang paling
luas-adalah oksigen yang menentukan kesehatan dan keutuhan bangsa tersebut.
Buku-buku yang
beredar, dan musik yang menjalar (dan itu bukan hanya musik Bob Dylan yang
tahun lalu mendapat Hadiah Nobel untuk Sastra), mungkin bisa dilihat sebagai
hemoglobin yang mengikat oksigen pengetahuan itu. Pustaka yang bergerak
memburu pembaca bisa dilihat sebagai sel-sel darah merah yang mencoba
mengedarkan oksigen itu ke bagian-bagian tubuh, termasuk yang paling jauh
dari jantung.
Menyamakan
antara relawan pustaka dan sel darah merah ini mungkin terlalu menyederhanakan
banyak hal, dan karena itu bisa menyesatkan. Maklum, analogi ini dibuat oleh
mahasiswa kedokteran yang gagal meneruskan kuliah karena terdeteksi mengidap
lemah warna merah dan buta warna hijau. Tapi, mereka yang buta warna pun,
bahkan buta total seperti Helen Keller, bisa melihat jelas betapa pengetahuan
baru itu bisa benar-benar hadir bagai oksigen yang memungkinkan produksi
energi yang sangat penting bagi kehidupan.
Memburu pembaca
Sekitar 2.000
meter dari markas Noken Pustaka Papua di Pasirputih, Manokwari, ada satu
kampung yang diisi para pendatang dari satu sub-suku Gunung Arfak. Ketika
saya tiba di Manokwari, kampung itu masih disebut Kampung Vietnam. Permukiman
dan penduduk kampung ini memang tampak lebih asing dan tertinggal
dibandingkan tetangganya yang hanya berjarak hampir 1.000 meter.
Sekalipun ada
sekolah gratis di wilayah itu, anak-anak perempuan di Kampung Vietnam
dilarang bersekolah. Relawan Noken Pustaka berupaya mendatangi kampung itu
membawa bacaan gratis dengan harapan buku-buku tersebut akan membantu
anak-anak perempuan itu membangun kemampuan baca tulis. Anak-anak itu pun
makin banyak yang bersemangat belajar karena mereka tahu, sekali mereka bisa
membaca, mereka akan dapat membujuk bahkan mendesak orangtua mereka agar
mereka diperbolehkan bersekolah. Di tangan anak-anak perempuan itu, buku
menjadi senjata untuk membebaskan diri dari kurungan keluarga.
Beberapa puluh
kilometer dari Kampung Vietnam, ada seorang kepala sekolah dari keluarga
kepala suku yang agak kesal ketika rombongan Pustaka Bergerak Papua Barat
datang mendadak tanpa pemberitahuan. Ia menyesali tak dapat menyuguhkan yang
terbaik kepada rombongan, yang terdiri dari "Si Belang Kuda
Pustaka", Agus Mandowen si pemanggul noken, dan Anand Yunanto si
pengendara "Motor 3 Roda Noken". Seandainya pak kepala sekolah
diberi tahu lebih awal, ia akan dengan senang hati mengajak warganya berburu
rusa dan lobster untuk menjamu rombongan pustaka bergerak itu.
Memang yang
dibawa bukanlah buku baru semua, tapi buat pak kepala sekolah, buku-buku itu
adalah barang amat langka yang bisa memperbaiki kehidupan warganya. Pak
kepala sekolah yang sempat mengenyam pendidikan formal itu bisa bercerita
panjang lebar bagaimana buku telah mengubah hidupnya, dan ia juga ingin
kehidupan warganya meningkat lebih baik.
Sementara bagi
Asnan Khaerul dan para relawan Kandayan Pustaka yang bergerak di perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia, buku-buku sumbangan adalah senjata untuk
melindungi dan memperbaiki kehidupan masyarakat asli dan para pendatang yang banyak
bekerja di perkebunan. Godaan untuk berpindah ke wilayah seberang perbatasan
dibentangkan setiap hari di depan mata. Tapi, para relawan itu, dan warga
yang mereka dampingi, rupanya masih punya ikatan emosional kuat dengan tanah
air bernama Indonesia. Dan, yang mereka harapkan agar bisa menangkal godaan
dan merawat ikatan emosional itu hanyalah sumbangan buku, hemoglobin yang
mengikat oksigen. Iswan Kinsank, relawan Kandayan Pustaka Kalimantan Utara,
menyeru: "Kirimlah buku agar NKRI tetap utuh."
Buat
orang-orang ini, pengetahuan yang diikat dalam teks, atau dalam nada, sungguh
mirip oksigen yang diikat dalam hemoglobin: sumber kekuatan untuk membakar
metabolisme, membangkitkan daya hidup mengolah dunia. Jika buku dan aneka
karya yang mengikat pengetahuan segar tak banyak beredar, maka sebuah bangsa
bisa tampak seperti tubuh yang mengidap anemia. Kelesuan metabolisme yang
kadang dirasakan dalam tubuh bangsa kita ini disebabkan bukan hanya oleh
belum banyaknya sel darah merah, juga oleh kurang bagusnya pembuluh nadi.
Banyak wilayah kita yang belum tertembus oleh jalan, dan para relawan jadi
seperti sel darah merah yang harus menumbuhkan kaki sendiri dan tak semata
mengandalkan dorongan dari jantung agar bisa bergerak mencapai pembaca yang
nyaris tak terjangkau.
Darah dan sumsum
Pengembangan
jaringan pembuluh nadi yang luas dan lancar adalah harapan besar yang juga
ditunggu oleh Pustaka Bergerak. Disebut harapan besar karena untuk saat ini
biaya pengiriman buku dari Jakarta ke Intan Jaya, Papua, misalnya, bisa
demikian tinggi sehingga nilainya lebih mahal daripada harga buku.
Selain
menyiasati sistem distribusi, membangun jalur, dan menerobos rintangan yang
menghalangi jaringan pembuluh nadi, kita juga punya tantangan dalam
memproduksi hemoglobin yang baik. Jika pustaka bergerak dinilai dari
mobilitasnya memburu pembaca, pustaka tak bergerak dinilai dari kemampuannya
membangun koleksi yang bagus dan unik. Jika relawan pustaka bergerak bisa
dilihat sebagai sel darah merah pengangkut hemoglobin, maka pekerja pustaka
tak bergerak yang secara sadar membangun koleksi yang segar dan kaya,
menghimpun serpihan pengetahuan yang nyaris hilang ke dalam kliping, seperti
yang dilakukan HB Jassin, Pramoedya, atau kawan-kawan di Indonesia Buku
(I-Boekoe), misalnya, bisa dilihat sebagai sel sumsum yang memproduksi
hemoglobin.
Pustaka tak
bergerak yang ada di kampus-kampus dan lembaga-lembaga pengetahuan tentu
harus ditakar prestasinya bukan hanya pada kemampuannya mengoleksi buku, juga
pada kesuburannya memproduksi buku bagus, menghasilkan hemoglobin pengikat
oksigen segar yang bisa diedarkan oleh sel darah merah ke seluruh tubuh.
Oksigen yang
segar, pengetahuan yang unggul, selalu mengandung paradigma yang juga unggul,
yang paling bisa menjelaskan dan menyatukan banyak hal. Sayang sekali bahwa
masih banyak buku kita yang hanya mereproduksi paradigma lama yang sudah
kehilangan kekuatan. Buku-buku seperti ini tak cukup banyak mengandung
oksigen segar dan lebih banyak menyimpan karbon dioksida, sisa-sisa
metabolisme, produk pandangan dunia lama, yang jika menumpuk dalam jumlah
besar akan merusak kesehatan tubuh.
Oksigen paling
segar, pengetahuan paling ampuh, yang membentuk kenyataan dunia saat ini,
datang dari nalar kritis yang telah meledakkan revolusi ilmu dan teknologi.
Memang, ada yang tampak mencemaskan dari revolusi ilmu dan teknologi saat
ini. Nalar kritis yang habis-habisan meneliti dirinya dan semesta ini tampak
seperti mempereteli segala yang dulu mulia yang disematkan pada dirinya, dan
menemukan bahwa nalar kritis itu tak lain dari algoritme saja.
Tarian semesta
Saya juga
pernah, lebih 10 tahun yang lalu, menganggap bahwa alam semesta seisinya ini
adalah sejenis algoritme, sebuah "Labirin Berujung Tunggal" yang
tujuannya adalah pengekalan dan penyempurnaan diri sistem. Anggapan ini masih
bertahan sampai sekarang, tapi ketimbang melihat seluruh kenyataan ini
sebagai algoritme semesta data yang dingin, ada unsur "api" yang
membuat seluruh kenyataan semesta jadi semacam maha-sastra yang terus
berproses, karya setengah jadi yang merindukan mitra pencipta untuk melampaui
diri.
Dibantu
perangkat deteksi nuklir, ilmu-ilmu kehidupan mutakhir telah mengubah seluruh
tubuh organisme, termasuk manusia, menjadi draf teks sastra yang kaya dan
menantang. Kalimat-kalimat yang kurang bagus dalam teks gen yang diwarisi
dari leluhur bisa digunting dan dibuang. Kalimat-kalimat yang lebih bagus
bisa saja dimasukkan ke dalam draf teks tersebut.
Ilmu-ilmu alam
seperti kosmologi dan fisika nuklir yang dibimbing oleh matematika pelan-pelan
juga bekerja dan bermimpi meringkas semesta raya ini menjadi sebaris rumus,
selarik puisi. Puisi semesta raya ini mungkin saja juga perlu disunting,
mungkin juga tidak. Tapi, cukup jelas bahwa puisi semesta itu menunggu
sekaligus memberikan jalan bagi penciptaan puisi semesta lainnya.
Pemahaman
tentang penyastraan semesta ini tentu juga mencakup pemahaman tentang hakikat
sastra yang bertaut sangat erat dengan musik, tentang sejarah puisi yang
berasal dari nyanyian, tentang lirik yang berasal dari lyre. Pemahaman
seperti ini bukan hanya mengubah seluruh rasa cemas menjadi takjub, ia juga
mengundang kita untuk ikut menari bersama dalam tarian semesta raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar