Arus
Balik Reformasi Birokrasi
Robert Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS, 09 Februari 2017
Sejak
disahkan awal Januari 2014, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara menemui jalan tak mudah untuk dilaksanakan. Hasil keputusan politik
DPR bersama pemerintah tersebut justru dihadang di lapangan oleh mereka
sendiri. Resistensi dan praktik penyimpangan terjadi, baik di pusat maupun
daerah.
Energi perubahan yang menjadi DNA pembentuk
ciri lahiriah UU ini memang bisa "mengganggu" kenikmatan banyak
pihak. Bagi pegawai negeri sipil (PNS), sekian lama berada dalam zona nyaman
(comfort zone) kini didorong membuktikan kualitas diri dalam zona yang
kompetitif (competitive zone) berbasis sistem merit dan proses terbuka (lelang
jabatan). Sementara para politisi makin tak leluasa lagi menitip orang atau
berdagang pengaruh saat penetapan formasi hingga rotasi pegawai lantaran ada
mata yang mengawasi secara berlapis.
Puncak
arus balik sebagai wujud penolakan atas perubahan itu terjadi pada 24 Januari
lalu: disetujuinya revisi UU No 5/2014 sebagai RUU inisiatif DPR.
Kerugian publik
Sekilas
menengok ke belakang, resistensi sebagian elemen pemerintah/pemerintah daerah
(pemda) terasa kencang saat naskah disusun. Tidak kurang 84 rapat digelar dan
koordinasi kementerian/lembaga bolak-balik dilakukan sejak 2011 hingga
akhirnya, tahun 2013, DPR mengambil alih menjadikannya sebagai usul
inisiatif. Naasnya, disahkannya UU tersebut tetap tak menghentikan manuver
para kepala daerah mendekati Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)/DPR untuk
meminta revisi. Pada sisi lain, penundaan berkepanjangan di Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) yang
hingga hari ini belum berhasil menyusun satu pun regulasi turunan (PP)
membuat implementasi UU tersebut kian tak menentu.
Dalam
konteks itu, dua isu utama dari 15 poin revisi yang diusung DPR saat ini bisa
dibaca sebagai kulminasi dari rangkaian proses politik dan ketidaksiapan
teknis selama dua tahun belakangan. Isu pembubaran Komisi Aparatur Sipil
Negara (KASN), misalnya, menunjukkan langkah pamungkas untuk menghilangkan
pranata nonstruktural dalam pengawasan sistem merit dan prinsip netralitas
ASN.
Praktik
jual beli jabatan, sebagaimana terjadi di Klaten, Jawa Tengah, dan banyak
daerah lain dengan nilai "transaksi" mencapai Rp 35 triliun hendak
dilanggengkan. Setali tiga uang, terseretnya birokrasi dalam kontestasi
politik dan keberpihakan ASN kepada kandidat tertentu saat pilkada bisa kian
marak terjadi tanpa kontrol institusi independen. Berbungkus alasan tak
berdasar bahwa KASN belum efektif, semua praktik tersebut sulit mewujud jika
alarm bahaya masih bisa dibunyikan KASN (termasuk pengungkapan kasus ke KPK).
Praktik
komersialisasi dan politisasi di atas jelas berimplikasi pada kerugian
publik. Komersialisasi niscaya mereproduksi korupsi baru lantaran pejabat
yang membeli jabatannya lewat suap pasti akan mencari balik modal. Entah
memeras anak buah saat promosi jabatan atau berupa korupsi perizinan, anggaran,
pengadaan barang/jasa, dan segala celah yang memang sudah diplot untuk jadi
ladang perburuan rente. Politisasi akan melahirkan birokrat kelas medioker:
meraih posisi strategis bukan sebagai buah jerih payah membangun rekam jejak
kompetensi dan integritas unggul, melainkan hasil balas budi dari kepala
daerah terpilih. Hilirnya, masyarakat merugi lantaran inefisiensi dan korupsi
anggaran berkelindan dengan buruknya mutu layanan publik yang lahir dari
birokrasi rusak.
Pasangan
isu lain yang berdaya rusak tinggi adalah pengangkatan otomatis tenaga
honorer menjadi calon PNS. Pada titik berangkat masalah, saya berada dalam
pembacaan serupa DPR: terlalu lama negara "menggantungkan" nasib
pegawai honorer; kini saatnya mesti bersikap dan memberi pengakuan kepada
mereka yang bertahun-tahun bekerja dalam institusi pemerintahan di seantero
negeri. Keputusan negara juga penting untuk menjawab penetapan status ASN
dalam UU No 5/2014 yang tidak mengenal kategori selain PNS dan PPPK
(pengadaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja).
Kritiknya
kemudian adalah pada pilihan respons atas situasi bermasalah tersebut.
Bagaimana negara mesti bersikap? Apa yang dimaksud dengan pengakuan?
Alih-alih mencari exit strategy guna mengakhiri perjanjian kontrak, DPR
justru mendorong konversi otomatis dari honorer menjadi PNS. Suatu rute bebas
hambatan hanya dilakukan verifikasi dan validasi administrasi. Opsi janggal
ini melahirkan masalah pelik berlapis-lapis, sementara motif DPR lebih banyak
dibaca publik sebagai siasat menangguk keuntungan politik ketimbang secara
otentik memperjuangkan nasib honorer secara elegan dan adil dalam kerangka
kemaslahatan umum.
Pertama,
opsi tersebut sama sekali tidak diletakkan dalam paradigma reformasi
birokrasi dan mencederai misi UU No 5/2014 yang berikhtiar membangun
manajemen publik kelas dunia. Pahit dikatakan, tetapi faktanya tenaga honorer
saat ini (kategori 2) adalah sisa dari mereka yang tidak lulus tes yang sudah
dilakukan sebelumnya. Bahkan, dari 1.163.883 tenaga honorer yang lulus (hingga
tes terakhir 2014), sekitar 75 persen adalah lulusan sekolah dasar/menengah.
Dengan profil kualifikasi elementer seperti itu, privilese sejatinya sudah
diberikan, bahkan mengalahkan jumlah pengangkatan dari jalur umum yang hanya
775.000 orang.
Dengan
segala hormat terhadap pengabdian mereka selama ini, muskil berikhtiar
membangun birokrasi kelas dunia berbasis input bermasalah. Kerugian publik
serius dan nyata, baik finansial (pajak di APBN/APBD) maupun mutu layanan,
jika mesin produksi diisi standar input tak bermutu. Niat untuk memberi
keadilan bagi mereka yang sudah mengabdi lama dan menjadikan negara sebagai
lapangan kerja tidak boleh mengorbankan prinsip mendasar dalam tata kelola
sektor publik modern. Bahkan, perspektif keadilan yang acap menjadi
justifikasi DPR perlu juga disandingkan dengan keadilan bagi para pelamar
umum yang berkali-kali gagal tes dan tidak meminta privilese sejenis.
Kedua,
selain hari ini Indonesia sudah berkelebihan ASN (isu utama adalah
redistribusi, bukan rekrutmen), masuknya 439.956 tenaga honorer jelas
membebani keuangan. Dengan skenario moderat, yakni menempatkan mereka pada
gaji golongan II A plus tunjangan umum dan kinerja, negara harus
mengalokasikan sekurangnya Rp 23,8 triliun. Namun, angka minimal itu merupakan
basis perhitungan tahun nol (basis perhitungan tahun awal), bisa meroket
hingga Rp 40 triliun dalam hitungan dua tahun selanjutnya.
Padahal,
sekitar 260 kabupaten/kota hari ini membelanjakan 50 persen-75 persen APBD
mereka untuk belanja birokrasi. Masihkah Presiden Joko Widodo memiliki
kecukupan ruang fiskal untuk membiayai program prioritas? Apakah pemda
memiliki kapasitas fiskal untuk belanja gaji tanpa menempuh satu-satunya
jalan tersisa: menguras lebih dalam lagi ceruk belanja publik yang sangat minim
itu?
Catatan akhir
Dalam
kasus honorer, kita dan DPR sama-sama berangkat dari fakta dan masalah yang
sama, tetapi keluar melewati pintu solusi yang diametral. Pengakuan negara
dan kejelasan status honorer mesti dikembalikan kepada perjanjian kerja, fakta
terkait standar kompetensi, dan motif pengangkatan mereka yang tak lepas dari
balas budi politik kepada tim sukses, sopir, pembantu, titipan pejabat, dan
seterusnya. Pengakuan negara juga tidak boleh terjebak siasat menangguk
keuntungan politik elektoral bagi para politisi yang, pada sisi lain,
otomatis akan membawa kerugian publik.
Pada
titik ini, simulasi mencari skema exit-strategy penting dilakukan. Meski
terasa mencederai hak banyak orang, pilihan untuk menawarkan golden shake
hand berupa pengakhiran (terminasi) kontrak dan uang penghargaan masa kerja
patut dipikirkan. Opsi ini memang memberi efek kejut bagi kesehatan fiskal
pemda, tetapi akan lebih aman ketimbang terus terbeban dalam puluhan tahun ke
depan tanpa didukung kinerja memadai. Opsi lain adalah membawa kembali
honorer ke ruang ujian: dilakukan tes PNS bagi yang berusia di bawah 35
tahun, dan tes masuk PPPK bagi mereka yang berusia di atas ambang batas
tersebut.
Apa
pun pilihannya kisruh jual beli jabatan dan momentum revisi UU No 5/2014 harus
membulatkan tekad (keputusan) pemerintah untuk tahun ini juga memberikan
kepastian atas status honorer sekaligus jeda sementara (moratorium)
penerimaan calon PNS dan menutup celah sekecil apa pun terhadap jalur janggal
tenaga honorer. Agar semua tekad itu tegak dijalankan, pengawasan dari
pranata independen (KASN) menjadi prasyarat mutlak untuk tetap ada, bahkan
dengan penguatan otoritas dan kapasitas untuk, ke depan, bisa mengawasi 693
instansi pemerintahan di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar