Jumat, 10 Februari 2017

Arus Balik Reformasi Birokrasi

Arus Balik Reformasi Birokrasi
Robert Endi Jaweng ;  Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
                                                     KOMPAS, 09 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak disahkan awal Januari 2014, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menemui jalan tak mudah untuk dilaksanakan. Hasil keputusan politik DPR bersama pemerintah tersebut justru dihadang di lapangan oleh mereka sendiri. Resistensi dan praktik penyimpangan terjadi, baik di pusat maupun daerah.

 Energi perubahan yang menjadi DNA pembentuk ciri lahiriah UU ini memang bisa "mengganggu" kenikmatan banyak pihak. Bagi pegawai negeri sipil (PNS), sekian lama berada dalam zona nyaman (comfort zone) kini didorong membuktikan kualitas diri dalam zona yang kompetitif (competitive zone) berbasis sistem merit dan proses terbuka (lelang jabatan). Sementara para politisi makin tak leluasa lagi menitip orang atau berdagang pengaruh saat penetapan formasi hingga rotasi pegawai lantaran ada mata yang mengawasi secara berlapis.

Puncak arus balik sebagai wujud penolakan atas perubahan itu terjadi pada 24 Januari lalu: disetujuinya revisi UU No 5/2014 sebagai RUU inisiatif DPR.

Kerugian publik

Sekilas menengok ke belakang, resistensi sebagian elemen pemerintah/pemerintah daerah (pemda) terasa kencang saat naskah disusun. Tidak kurang 84 rapat digelar dan koordinasi kementerian/lembaga bolak-balik dilakukan sejak 2011 hingga akhirnya, tahun 2013, DPR mengambil alih menjadikannya sebagai usul inisiatif. Naasnya, disahkannya UU tersebut tetap tak menghentikan manuver para kepala daerah mendekati Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)/DPR untuk meminta revisi. Pada sisi lain, penundaan berkepanjangan di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) yang hingga hari ini belum berhasil menyusun satu pun regulasi turunan (PP) membuat implementasi UU tersebut kian tak menentu.  

Dalam konteks itu, dua isu utama dari 15 poin revisi yang diusung DPR saat ini bisa dibaca sebagai kulminasi dari rangkaian proses politik dan ketidaksiapan teknis selama dua tahun belakangan. Isu pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), misalnya, menunjukkan langkah pamungkas untuk menghilangkan pranata nonstruktural dalam pengawasan sistem merit dan prinsip netralitas ASN.

Praktik jual beli jabatan, sebagaimana terjadi di Klaten, Jawa Tengah, dan banyak daerah lain dengan nilai "transaksi" mencapai Rp 35 triliun hendak dilanggengkan. Setali tiga uang, terseretnya birokrasi dalam kontestasi politik dan keberpihakan ASN kepada kandidat tertentu saat pilkada bisa kian marak terjadi tanpa kontrol institusi independen. Berbungkus alasan tak berdasar bahwa KASN belum efektif, semua praktik tersebut sulit mewujud jika alarm bahaya masih bisa dibunyikan KASN (termasuk pengungkapan kasus ke KPK).

Praktik komersialisasi dan politisasi di atas jelas berimplikasi pada kerugian publik. Komersialisasi niscaya mereproduksi korupsi baru lantaran pejabat yang membeli jabatannya lewat suap pasti akan mencari balik modal. Entah memeras anak buah saat promosi jabatan atau berupa korupsi perizinan, anggaran, pengadaan barang/jasa, dan segala celah yang memang sudah diplot untuk jadi ladang perburuan rente. Politisasi akan melahirkan birokrat kelas medioker: meraih posisi strategis bukan sebagai buah jerih payah membangun rekam jejak kompetensi dan integritas unggul, melainkan hasil balas budi dari kepala daerah terpilih. Hilirnya, masyarakat merugi lantaran inefisiensi dan korupsi anggaran berkelindan dengan buruknya mutu layanan publik yang lahir dari birokrasi rusak.

Pasangan isu lain yang berdaya rusak tinggi adalah pengangkatan otomatis tenaga honorer menjadi calon PNS. Pada titik berangkat masalah, saya berada dalam pembacaan serupa DPR: terlalu lama negara "menggantungkan" nasib pegawai honorer; kini saatnya mesti bersikap dan memberi pengakuan kepada mereka yang bertahun-tahun bekerja dalam institusi pemerintahan di seantero negeri. Keputusan negara juga penting untuk menjawab penetapan status ASN dalam UU No 5/2014 yang tidak mengenal kategori selain PNS dan PPPK (pengadaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja).

Kritiknya kemudian adalah pada pilihan respons atas situasi bermasalah tersebut. Bagaimana negara mesti bersikap? Apa yang dimaksud dengan pengakuan? Alih-alih mencari exit strategy guna mengakhiri perjanjian kontrak, DPR justru mendorong konversi otomatis dari honorer menjadi PNS. Suatu rute bebas hambatan hanya dilakukan verifikasi dan validasi administrasi. Opsi janggal ini melahirkan masalah pelik berlapis-lapis, sementara motif DPR lebih banyak dibaca publik sebagai siasat menangguk keuntungan politik ketimbang secara otentik memperjuangkan nasib honorer secara elegan dan adil dalam kerangka kemaslahatan umum.

Pertama, opsi tersebut sama sekali tidak diletakkan dalam paradigma reformasi birokrasi dan mencederai misi UU No 5/2014 yang berikhtiar membangun manajemen publik kelas dunia. Pahit dikatakan, tetapi faktanya tenaga honorer saat ini (kategori 2) adalah sisa dari mereka yang tidak lulus tes yang sudah dilakukan sebelumnya. Bahkan, dari 1.163.883 tenaga honorer yang lulus (hingga tes terakhir 2014), sekitar 75 persen adalah lulusan sekolah dasar/menengah. Dengan profil kualifikasi elementer seperti itu, privilese sejatinya sudah diberikan, bahkan mengalahkan jumlah pengangkatan dari jalur umum yang hanya 775.000 orang.

Dengan segala hormat terhadap pengabdian mereka selama ini, muskil berikhtiar membangun birokrasi kelas dunia berbasis input bermasalah. Kerugian publik serius dan nyata, baik finansial (pajak di APBN/APBD) maupun mutu layanan, jika mesin produksi diisi standar input tak bermutu. Niat untuk memberi keadilan bagi mereka yang sudah mengabdi lama dan menjadikan negara sebagai lapangan kerja tidak boleh mengorbankan prinsip mendasar dalam tata kelola sektor publik modern. Bahkan, perspektif keadilan yang acap menjadi justifikasi DPR perlu juga disandingkan dengan keadilan bagi para pelamar umum yang berkali-kali gagal tes dan tidak meminta privilese sejenis.

Kedua, selain hari ini Indonesia sudah berkelebihan ASN (isu utama adalah redistribusi, bukan rekrutmen), masuknya 439.956 tenaga honorer jelas membebani keuangan. Dengan skenario moderat, yakni menempatkan mereka pada gaji golongan II A plus tunjangan umum dan kinerja, negara harus mengalokasikan sekurangnya Rp 23,8 triliun. Namun, angka minimal itu merupakan basis perhitungan tahun nol (basis perhitungan tahun awal), bisa meroket hingga Rp 40 triliun dalam hitungan dua tahun selanjutnya.

Padahal, sekitar 260 kabupaten/kota hari ini membelanjakan 50 persen-75 persen APBD mereka untuk belanja birokrasi. Masihkah Presiden Joko Widodo memiliki kecukupan ruang fiskal untuk membiayai program prioritas? Apakah pemda memiliki kapasitas fiskal untuk belanja gaji tanpa menempuh satu-satunya jalan tersisa: menguras lebih dalam lagi ceruk belanja publik yang sangat minim itu? 

Catatan akhir

Dalam kasus honorer, kita dan DPR sama-sama berangkat dari fakta dan masalah yang sama, tetapi keluar melewati pintu solusi yang diametral. Pengakuan negara dan kejelasan status honorer mesti dikembalikan kepada perjanjian kerja, fakta terkait standar kompetensi, dan motif pengangkatan mereka yang tak lepas dari balas budi politik kepada tim sukses, sopir, pembantu, titipan pejabat, dan seterusnya. Pengakuan negara juga tidak boleh terjebak siasat menangguk keuntungan politik elektoral bagi para politisi yang, pada sisi lain, otomatis akan membawa kerugian publik.

Pada titik ini, simulasi mencari skema exit-strategy penting dilakukan. Meski terasa mencederai hak banyak orang, pilihan untuk menawarkan golden shake hand berupa pengakhiran (terminasi) kontrak dan uang penghargaan masa kerja patut dipikirkan. Opsi ini memang memberi efek kejut bagi kesehatan fiskal pemda, tetapi akan lebih aman ketimbang terus terbeban dalam puluhan tahun ke depan tanpa didukung kinerja memadai. Opsi lain adalah membawa kembali honorer ke ruang ujian: dilakukan tes PNS bagi yang berusia di bawah 35 tahun, dan tes masuk PPPK bagi mereka yang berusia di atas ambang batas tersebut.

Apa pun pilihannya kisruh jual beli jabatan dan momentum revisi UU No 5/2014 harus membulatkan tekad (keputusan) pemerintah untuk tahun ini juga memberikan kepastian atas status honorer sekaligus jeda sementara (moratorium) penerimaan calon PNS dan menutup celah sekecil apa pun terhadap jalur janggal tenaga honorer. Agar semua tekad itu tegak dijalankan, pengawasan dari pranata independen (KASN) menjadi prasyarat mutlak untuk tetap ada, bahkan dengan penguatan otoritas dan kapasitas untuk, ke depan, bisa mengawasi 693 instansi pemerintahan di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar