Seni
Mengolah Perasaan
Damhuri Muhammad ; Sastrawan;
Pengajar Filsafat di Universitas
Darma Persada, Jakarta
|
KOMPAS, 09 Februari 2017
Selamat istirahat, akal
sehat. Damai-tentramlah dalam perasaan!
Demikian
bunyi kalimat singkat saya di laman akun media sosial pribadi, sekadar
berkomentar perihal makin mengentalnya warna politik sektarian dalam keriuhan
kontestasi antarkandidat menjelang pilkada serentak, 15 Februari 2017.
Tak
berselang lama, sejawat sesama tamatan madrasah, menulis kalimat panjang di
lini masa akunnya yang saya pastikan ditujukan ke muka saya. Meski demikian,
dia tidak berani mengungkapkan keberatan secara terang-terangan-entah karena
sungkan atau keliru memahami maksud saya.
Inti
dari kekesalannya adalah karena, menurut dia, saya telah melecehkan
partisipasi politik berbasis keyakinan. Padahal, saya yang jelas-jelas
jebolan sekolah agama seyogianya menghormati dan membela pilihan politik
semacam itu. Tak tanggung-tanggung, dia menggunakan analogi; kalau saudara berdekatan
dengan pedagang parfum, saudara akan kecipratan wanginya. Tapi, bila saudara
suka bermain di dekat jamban, sepanjang hari tubuh saudara akan bergelimang
bau kotoran.
Saya
tidak beritikad menanggapi, apalagi menangkis sindiran itu. Sebab, tangkisan
saya hanya akan mengembangbiakkan umpat-cela yang jauh lebih gawat. Di
panggung pemilihan kepala daerah (pilkada) yang disusupi oleh hasrat
sektarian, rasionalitas sebagai syarat utama bagi subyek politik bernama
demos, alih-alih diafirmasi, justru disingkirkan ke tepi-tepi.
Apa
saja yang berangkat dari pikiran jernih dan logika yang terukur dapat
dinobatkan sebagai lawan dan akan berhadapan dengan letupan emosi yang
meluap-meluap. Siapa pun rela berkerumun jika salah satu fondasi keyakinannya
dihina, apa pun risiko, dan berapa pun biayanya.
Inilah
yang kemudian membuat sektarianisme begitu menggiurkan, apalagi dalam suasana
kontestasi politik di mana setiap kandidat mesti berupaya keras mendulang
suara guna meraih kemenangan. Strategi kampanye yang bermain di seputar
isu-isu sektarian memang ampuh dan lekas menghimpun dukungan.
Propaganda
yang tersiar secara masif dengan bumbu-bumbu sektarianisme terdengar lebih
menggairahkan ketimbang penjelasan rinci tentang program kerja lima tahun ke
depan. Akibatnya, cuaca politik menjelang pilkada penuh sesak oleh idiom-idiom
kedengkian atas nama etnis dan agama, yang jika tak segera dibendung dapat
menimbulkan keretakan yang sukar diselamatkan.
Modus sektarian
Tak
dapat dimungkiri, sentimen agama sangat jitu dalam mengelola perasaan orang
banyak. Betapapun payahnya penghidupan, kalau sudah perkara agama, hukum yang
berlaku: tiada kayu, jenjang dikeping.
Itu
sebabnya, selama tiga dekade, rezim Orde Baru menganggapnya sebagai ancaman.
Maka, berbagai sayap sektarian pun disatukan dalam sebuah wadah agar mudah
dikendalikan. Pihak-pihak yang terlalu keras diberi stempel ekstrem kiri atau
ekstrem kanan, lalu dibabat tiada ampun. Sementara kelompok moderat cukup
dibius dengan mekanisme ideologis yang halus.
Di
sisi lain, sebagaimana dicatat oleh Donny Gahral Adian (2006), sektarianisme
dapat pula memfasilitasi lahirnya totaliterisme. Di bawah naungan demokrasi,
diam-diam Hitler menjalankan modus sektarian. Atas nama kebebasan
berpendapat, dia berpidato membangkitkan sentimen antisemitisme di hadapan
masyarakat Jerman meski maklumatnya tak dapat dikatakan sebagai dusta karena
kenyataannya perekonomian Jerman masa itu memang dikuasai kelompok Yahudi.
Selain itu, Hitler juga melakukan self-fulfilled
prophecy, sebuah ramalan tentang lenyapnya orang-orang Yahudi di tanah
Jerman dan ia sendiri yang mengeksekusinya. Modus sektarian itu kemudian
memberinya keuntungan politis sedemikian besar.
Namun,
hasrat sektarian yang berangkat dari ruang privat tidak dapat menjadi pijakan
moralitas politik. Bagi filsuf Roussseau (1712-1728), misalnya, politik
adalah seni mewujudkan kehendak umum dalam sebuah tatanan hidup bersama.
Kehendak umum adalah "diri sejati yang rasional" dalam personalitas
setiap orang. Namun, rasionalitas itu kerap terhasut oleh hasrat jangka
pendek yang destruktif.
Sebagai
contoh, atas nama kebebasan, setiap orang berhak menarik uangnya di bank di
masa krisis. Namun, ketika semua orang semata-mata mengikuti hasrat jangka
pendeknya yang terjadi adalah bank tersebut kolaps dan nasabah gagal menarik uang mereka. Para nasabah
yang mengikuti hasrat jangka pendeknya tidak bertindak berdasarkan kehendak
umum, tetapi atas dasar kepentingan pribadi. Politik bukan tempat bagi yang
pribadi, jangka pendek, dan irasional.
Nalar publik
Untuk
membuhul berbagai proposal kepentingan dari macam-macam kelompok dalam
masyarakat majemuk hingga mewujud sebagai kehendak umum, filsuf John Rawls
(1974) dalam Theory of Justice
menawarkan sebuah alat uji yang disebut nalar publik (public reason). Artinya, setiap kehendak yang berasal dari basis
agama, etnis, atau ideologi tertentu harus dapat diterima oleh akal sehat
sebanyak-banyaknya orang. Setiap gagasan, meski berasal dari dalil agama,
jika diterima oleh semua pihak berdasarkan akal sehat, tidaklah akan menyulut
persoalan.
Fondasi
dari perwujudan kehendak umum itu adalah rasionalitas. Tanpa nalar publik,
demokrasi tak dapat menjamin keberlangsungan masyarakat yang plural. Atas
nama kebebasan berserikat, satu kelompok bisa menabrak hak kelompok lain.
Tanpa akal sehat, demokrasi hanya akan menjadi dalih guna melangsungkan
modus-modus sektarian.
Memberdayakan
sentimen agama di tengah-tengah kemajemukan sangat berbahaya. Seperti
menyemprotkan minyak ke dalam kobaran api (sabbu az-zait ala an-nar),
demikian pemikir Muslim, Muhammad Arkoun (1928-2010), pernah
menggambarkannya. Di panggung politik masa kini, kekhawatiran itu tampaknya
tidaklah menakutkan. Buktinya, klaim kebenaran atas nama agama masih menjadi
komoditas. Nalar publik sekadar topik perbincangan metateoretik belum menjadi
bagian pokok dari budaya demokrasi kita.
Pikiran
yang absen dalam sikap politik setiap konstituen dipandang sebagai peluang
untuk merengkuh dukungan. Budaya politik kita masih sebatas seni mengolah
perasaan, ketimbang keterampilan mengelola pikiran, demi kemaslahatan
bersama.
Jika
ada kawan yang menyumpahi saya, ada pesan sederhana yang hendak saya
sampaikan. Sebagai warga negara dan subyek politik yang waras, saya tidak
akan berpaling dari pikiran guna memperkokoh sikap politik saya. Oleh karena
saudara sudah merasa benar dengan keyakinan saudara dan telah menutup pintu
bagi setiap kemungkinan yang datang dari pikiran, lebih baik saudara
beristirahat, lalu tidur panjang dalam kelambu kejumudan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar