Memudarnya
Keadaban Publik
Abd A’la ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Ampel, Surabaya
|
KOMPAS, 07 Februari 2017
Akhir-akhir
ini, hujatan, hinaan, makian—bahkan ancaman—demikian mudah ditemui di
sembarang tempat pada ranah publik di sejumlah wilayah negeri tercinta ini.
Di media sosial, banyak orang—bahkan sebagian di antara mereka dari kalangan
yang mengenyam pendidikan tinggi—mengunggah foto, karikatur, ungkapan, atau
lainnya yang merepresentasikan atau dapat memicu kebencian dan
ketersinggungan.
Di
jalanan pun nyaris setali tiga uang. Tidak sedikit pengendara (entah mobil
atau motor) yang seenaknya sendiri menjalankan kendaraannya tanpa
memperhatikan keselamatan dan kenyamanan pengendara lain atau—dan
terutama—pejalan kaki. Pada saat yang sama, kekerasan dan kejahatan di ruang
publik juga menguat dan meningkat dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Semua
itu memperlihatkan betapa keadaban publik di masyarakat kita sudah mengalami
pemudaran yang cukup parah. Sebagian dari kita atau kelompok tertentu bukan
hanya sudah tidak menghormati orang dan kelompok lain, tetapi justru
menganggap rendah, menghina, dan mengancam orang dan kelompok lain sebagai
sesuatu yang biasa. Memang tidak semua anggota masyarakat kita sudah
kehilangan sikap dan perilaku yang mencerminkan keadaban. Akan tetapi,
ironisnya, mereka terkadang memilih bersikap diam dalam menyikapi fenomena
menyedihkan itu.
Suatu kemestian
Pembiaran
terhadap ketidaksopanan (incivility) dipastikan akan berdampak jauh bagi
Indonesia. Pengabaian terhadap fenomena ini bukan mustahil akan berdampak
jauh bagi kehidupan bangsa dan negara di masa depan.
Sampai
kapan pun, keadaban publik sejatinya selalu menjadi hajat-kebutuhan intrinsik
dalam kehidupan. Memodifikasi ungkapan Faclav Havel (Politics, Morality,
Civility), jika kita tidak berhasil membumikan keadaban publik, hal itu akan
berdampak sangat buruk bagi Ibu Pertiwi, dan bahkan bangsa. Bukan tidak
mungkin, negara tinggal menunggu kehancurannya, dan bangsa ini akan menggali
kuburan mereka sendiri.
Manakala
keadaban di ranah sosial memudar, maka yang akan terjadi bukan sekadar
hilangnya nilai dan sikap saling menghormati, pudarnya saling menghargai, dan
sejenisnya. Demikian pula bukan sekadar pengabaian hingga pelecehan orang
lain akan menjadi realitas hidup keseharian. Namun, lebih dari itu, rasa
egoisme dan lunturnya kepekaan sosial akan mengental di setiap individu yang
pada gilirannya dapat berkembang menjadi sikap menghalalkan tindakan apa pun
yang dilakukan.
Persoalan
akan memorakperandakan kita, bangsa ini, manakala hilangnya keadaban terus
berkelanjutan dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa serta berkembang
menjadi fenomena kelompok, organisasi, dan partai politik. Pada saat itu,
demi meraih kepentingan sempit, demi memperoleh kekuasaan sesaat, mereka tak
segan-segan menyebarkan fitnah, melakukan pembunuhan karakter, bahkan
melakukan kekerasan terhadap kelompok lain dan sejenisnya tanpa perasaan
berdosa sedikit pun.
Titik
kritis persoalan akan mencapai puncaknya saat penyebaran fitnah dan tindak
kekerasan yang dilakukan, mereka menggunakan simbol dan bahasa agama atau
juga simbol dan lambang-lambang negara. Merekamembiaskan semua itu untuk
mendukung kepentingan sempit dan sesaat mereka. Agama sebagai sumber moral
dipangkas menjadi justifikasi tindakan mereka. Simbol negara sebagai
pemersatu dijadikan tempat berlindung untuk gerakan yang rentan memecah belah
bangsa.
Penyelesaian holistik
Kondisi
semacam itu nyaris tidak menyisakan lagi nilai kehidupan yang luhur. Bukan
hanya keadaban publik yang lenyap, melainkan kedamaian telah menjadi serpihan
dan remah kecil yang demikian rapuh, mudah terempas, dan lenyap saat ada
terpaan angin gejolak sosial, sekecil apa pun embusannya. Hidup bukan lagi
untuk dinikmati dan disyukuri bersama, tetapi dijadikan ajang kalah dan
menang.
Indonesia
saat ini memang tidak berada pada puncak titik kritis sebagaimana yang
digambarkan sebelum ini. Namun, probabilitas ke arah sana sangat berpeluang
untuk terjadi jika kita menganggap remeh fenomena yang berkembang saat ini.
Dalam ungkapan lain, jika kita tidak ingin negara ambruk dan bangsa hancur,
kita urgen untuk segera mengurai permasalahannya, dan merumuskan strategi
holistik yang kemudian dibarengi dengan tindakan konkret.
Senyatanya,
krisis keadaban ini berpulang pada masalah yang relatif kompleks, dari
kehidupan sosial ekonomi yang tidak kondusif, kehidupan budaya yang
komersial, hingga penegakan hukum setengah hati. Simpul-simpul persoalan itu
yang perlu diurai satu per satu, kemudian digali akar persoalannya. Setelah
itu dicarikan strategi menyeluruh yang dapat memangkas akar semuanya
tersebut. Misalnya, fenomena kehidupan sosial ekonomi yang cenderung
meminggirkan kelompok masyarakat yang tidak berpunya.
Hal
ini tidak bisa dilepaskan dari—meminjam ungkapan Herry Priyono (Basis,
Mei-Juni 2004)—cara liberalisasi progresif yang diusung neoliberalisme. Model
ini membuat orang yang tidak bisa membeli tidak berhak mendapatkan kebutuhan
yang mendasar sekalipun, yang mengakibatkan kelompok-kelompok miskin semakin
tersingkir. Keterbelengguan mereka untuk meraih kehidupan yang layak
menjadikan mereka berusaha untuk dapat hidup dengan cara apa pun.
Kehidupan
budaya juga perlu didekati dengan pola semacam itu. Fenomena yang berkembang
menunjukkan betapa kearifan lokal yang salah satunya direpresentasikan dalam
tradisi masyarakat cenderung dikembangkan sebagai komoditas semata. Keluhuran
nilai yang ada di balik tradisi kemudian hanya berwujud sebagai sandiwara
yang tidak berlabuh dalam kehidupan konkret. Penegakan hukum yang berkembang
tampaknya tidak jauh berbeda dengan aspek-aspek kehidupan yang lain. Pada
satu waktu, ada pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi
di masyarakat, dan pada lain waktu, ada penegakan yang tampak kuat hangat-hangat
tahi ayam, atau jual beli hukum dan sejenisnya. Hal ini tentu berdampak pada
sulitnya pembumian kesadaran hukum di kalangan masyarakat. Aspek-aspek
kehidupan lain tampaknya juga berada dalam posisi seperti itu.
Dari
semua akarpersoalan itu lalu dirumuskan kebijakan strategis yang menyeluruh.
Di sini tentu diperlukan dasar pijakan yang benar-benar kuat dan mampu
merangkaikan derivasi kebijakan itu secara utuh dan menyatu. Untuk itu,
nasionalisme yang berjati diri Indonesia yang religius dan multikultural
tampaknya merupakan satu-satunya pilihan yang harus ditoleh. Melalui
pengembangan kebijakan di atas nasionalisme ini, kearifan lokal yang sarat
dengan nilai-nilai luhur dan nilai-nilai agung yang lain akan membumi kokoh
di bumi pertiwi.
Menyoal pendidikan
Berbicara
tentang memudarnya keadaban publik, satu hal yang sama sekali tidak bisa
diabaikan adalah pendidikan. Dalam ungkapan lain, incivility yang kian
menguat saat ini selain merujuk pada aspek-aspek kehidupan sebagaimana
diangkat di atas, juga terkait dengan dunia pendidikan dalam beberapa
dasawarsa terakhir yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan kita, dan
tujuan pendidikan itu sendiri. Realitas menunjukkan, tidak sedikit anak dan
pemuda hasil dunia pendidikan kita yang menampakkan diri, sampai batas
tertentu, sebagai generasi yang kurang memiliki kecerdasan moral yang
memadai.
Akibatnya,
persoalan-persoalan yang menghadang mereka memojokkan mereka ke dalam
kegamangan yang membuat mereka tidak tahan banting, mudah terombang-ambing,
dan mudah bersikap pragmatis. Bahkan, kehidupan global yang menantang
terkadang melunturkan identitas dan jati mereka sebagai bangsa yang religius,
ramah, mandiri, dan sejenisnya.
Hal
itu, sekali lagi, mendesak kita untuk meletakkan nasionalisme religius kita
sebagai dasar kebijakan dalam perumusan, pengembangan, dan penguatan agenda
bangsa ke depan. Dunia pendidikan seutuhnya harus berada dalam bingkai kokoh
ini. Semua ini menuntut kesungguhan kita untuk segera melangkah. Kehidupan
tidak pernah berhenti, atau bangsa ini akan mati suri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar