Perusahaan
Induk Migas dan Ketahanan Energi
Rhenald Kasali ; Guru
Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 09 Desember
2016
Dunia energi telah
berubah. Kita lihat fakta-fakta ini: pada era 1960-an, industri minyak dunia
dikuasai oleh The Seven Sisters,
perusahaan raksasa global yang kini kita kenal sebagai International Oil Company (IOC).
Mereka adalah Mobil Oil, Chevron, Shell, BP, Exxon, Gulf Oil, dan
Texaco. Mereka menguasai lebih dari 85 persen cadangan minyak dunia. Hanya 1
persen yang dikelola perusahaan negara atau BUMN (national oil company/NOC). Selebihnya dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan minyak milik eks Uni Soviet. Kini, kondisi itu
berbalik. Porsi IOC tinggal 7 persen. Lebih dari 85 persen migas dunia kini
dikuasai NOC dan sisanya Rusia.
Mengapa peran NOC
di dunia migas meningkat? Sederhananya begini. Migas adalah sumber daya alam
yang tak dapat diperbarui. Dengan ledakan penduduk, permintaannya melonjak
terus, sementara cadangan migas dunia juga turun dan menakutkan banyak
bangsa. Ini menimbulkan kesadaran, pengelolaan sumber daya migas tak bisa
terlalu banyak diserahkan kepada asing, terutama IOC, karena membahayakan
ketahanan energi.
Maka, wajar jika
banyak negara kemudian mengalihkan pengelolaan sumber daya migas ke NOC-nya.
Itu yang membuat peran NOC kini menjadi lebih besar. Ini berbeda dengan
kondisi 1990-an saat dunia sedang kelebihan cadangan minyak dan negara pasar
seperti Indonesia tengah kalah menghadapi kehendak negara adikuasa pemilik
IOC. Bahkan, saat itu ada gagasan dari lembaga keuangan dunia untuk memecah
Pertamina menjadi 2-3 perusahaan dengan alasan "ia sudah terlalu besar
dan kuat".
Pukulan harga
Beruntung hal itu
tidak terjadi. Namun, upaya itu tak pernah berhenti. Padahal, Pertamina
justru harus diperbesar untuk menjalankan peran lebih berat di masa depan.
Lalu, dalam kondisi demikian, di mana posisi Pertamina hari ini dan perannya
dalam menjamin ketahanan energi kita?
Sebelum masuk ke
sana, saya ajak Anda melihat kondisi industri migas di dalam negeri dan luar
negeri. Di dalam negeri, ladang-ladang minyak kita saat ini sudah dalam
kondisi mature. Maksudnya, produksinya sudah melampaui titik tertinggi dan
sedang bergerak menurun meski untuk gas, saya lihat, masih ada peluang untuk
meningkat.
Sayangnya,
penurunan produksi minyak ini tak diimbangi upaya-upaya untuk menemukan
cadangan-cadangan baru atau kerap disebut recovery
rate (RR). Idealnya tingkat RR industri ini 100 persen. Artinya, kalau
kita mengambil 1 barrel minyak mentah dari perut bumi, mesti diimbangi dengan
upaya menemukan cadangan dalam volume sama. Kenyataannya RR kita bahkan
kurang dari 40 persen.
Masalah lainnya,
infrastruktur buruk. Kita terakhir kali membangun kilang lebih dari 20 tahun
silam. Lalu, biaya paling murah untuk mengirimkan minyak dari ladang-ladang
minyak ke kilang, atau dari kilang ke depo-depo penimbunan, juga dari depo ke
stasiun pengisian bahan bakar untuk umum adalah lewat pipa.
Kenyataannya
panjang pipa yang sudah kita bangun selama ini jauh dari mencukupi. Misalnya,
panjang pipa BBM di Jawa baru mencapai 1.283 kilometer. Padahal, kebutuhannya
mencapai 2.239 kilometer. Maka, jadilah minyak mesti kita angkut dengan
truk-truk tangki yang lebih rawan kecelakaan dan rawan macet.
Problem berikutnya
adalah stok minyak mentah atau hasil olahannya. Saat ini stok BBM kita baru
untuk 20 hari. Itu pun sebetulnya stok BBM yang ada di kilang dan depo. Bukan
"murni" stok. Kita sama sekali tidak punya tangki timbun untuk BBM.
Begitu pula untuk minyak mentah, kita tak punya tangki timbunnya. Jadi, kita
tak punya stok minyak mentah. Posisi semacam ini, jika dilihat dari sisi
ketahanan energi, jelas kurang menguntungkan.
Itu dari sisi
dalam negeri. Sementara, di luar sana industri minyak dunia tengah terpukul
seiring turunnya harga minyak menjadi kurang dari 50 dollar AS per barrel.
Rendahnya harga ini memukul IOC dan NOC yang biaya produksinya bisa mencapai
60 dollar AS per barrel.
Ini menyebabkan
banyak perusahaan minyak, termasuk di AS yang semula naik daun berkat shale
oil dan shale gas-nya, terjerembab dalam masalah. Sejumlah produsen shale oil
dan shale gas di AS bahkan sudah meminta perlindungan pengadilan (Chapter 11)
agar tak dipailitkan kreditornya. Hanya sampai berapa lama bisa bertahan,
sementara harga minyak mentah di pasar dunia tak kunjung naik.
Di luar itu, di
banyak belahan dunia, banyak ladang minyak yang tiba-tiba tidak laik secara
ekonomis akibat rendahnya harga. Padahal, dulu ladang ini layak untuk
dieksplorasi.
NOC ke NEC
Apa yang bisa kita
maknai dari fakta-fakta itu? Bagaimana pula dengan tugas utama NOC, termasuk
Pertamina, dalam menjamin ketahanan energi bagi negaranya? Sejumlah krisis
tersebut sejatinya adalah peluang. Apalagi Pertamina mempunyai biaya produksi
relatif rendah, berkisar 20 dollar AS per barrel. Maka, meski harga minyak
mentah dunia kurang dari 50 dollar AS per barrel, bagi Pertamina dampaknya
tak terlalu menyakitkan.
Malah sebaliknya
ini menjadi kesempatan bagi Pertamina untuk ekspansi, menguasai ladang-ladang
minyak dunia di celah waktu yang sempit dan mungkin tak terulang lagi ini.
Faktanya inilah saat pertumbuhan ekonomi dunia sedang berada dalam celah yang
dalam, sementara ledakan penduduk dunia tak dapat dihindari. Harga sedang
turun, sementara potensi rebutannya di masa depan tak terhindarkan. Jadi,
peluang terbesar untuk eksplorasi bukan pada ladang-ladang minyak di dalam
negeri, melainkan di luar negeri.
Hanya untuk bisa
bersaing di luar, Pertamina mesti terlihat lebih perkasa. Sekarang, kalau
bicara ukuran, Pertamina terbilang "mini" dibandingkan
perusahaan-perusahaan minyak lainnya. Lihat saja dalam daftar Fortune Global
500 edisi 2016, Pertamina masih menempati urutan ke-230 dengan pendapatan
41,76 miliar dollar AS. Bandingkan dengan raksasa-raksasa migas asal
Tiongkok, AS, dan Eropa. Dalam daftar tersebut, China National Petroleum ada
di peringkat ketiga dengan 299,3 miliar dollar AS dan Sinopec urutan keempat
(294,34 miliar dollar AS). Peringkat kelima ada Shell (272,16 miliar dollar
AS dan ExxonMobil keenam (246,2 miliar dollar AS).
Agar mampu
memanfaatkan peluang dari jatuhnya harga minyak dan sekaligus menjamin
ketahanan energi nasional, Pertamina harus menjadi besar dan berotot. Besar
di sini adalah dari sisi aset. Bagaimana caranya? Pertama, menjadikan
Pertamina perusahaan induk (holding
company) untuk seluruh bisnis migas di Tanah Air. Saat ini memang masih
ada pro dan kontra terkait gagasan pembentukan perusahaan induk di sektor
migas ini dengan argumen pendukung masing-masing.
Namun, dari sisi
ini, kita mungkin bisa belajar dari perusahaan-perusahaan swasta terbesar
Indonesia yang manajemennya solid. Sebut saja PT Astra International Tbk.
Sebagai holding company, meski
besar, Astra tetap mampu secara efektif mengendalikan bisnis ratusan anak
usahanya dan beroperasi secara efisien. Dalam hal ini harusnya isu holding jangan dijadikan batu
sandungan. Ia adalah peluang untuk me-leverage
kemampuan kita dalam mengamankan kebutuhan energi di masa depan.
Kedua, para Bapak
Pendiri Bangsa kita sebetulnya sudah berpikiran jauh ke depan ketika
menggagas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 44
Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi atau UU No 8/1971 tentang
Pertamina. Semangat dari perppu dan UU tersebut sama, yakni memberikan
kekuasaan kepada negara untuk mengelola kekayaan migasnya dan menyerahkan
pelaksanaannya kepada perusahaan negara.
Sayang, akibat
tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) semasa krisis 1998, kita mengubah UU
No 8/1971 dengan UU No 22/ 2001. UU ini bukan hanya memperlakukan Pertamina
sama dengan perusahaan lain di bisnis migas, melainkan juga mencabut jiwa dan
semangat Pasal 33 UUD 1945. UU ini betul-betul menyerahkan urusan bisnis
migas pada mekanisme pasar.
Kalau kita mau
ketahanan energi di masa depan aman, kita harus punya BUMN minyak kelas
global yang kuat. Jangan malu putar arah dengan kembali ke semangat UU yang
lama. Biarkan Pertamina menjadi besar sehingga mampu melakukan langkah-langkah
besar.
Lalu, Pertamina
yang berotot tecermin dari kemampuannya menggalang dana, baik dari dalam
maupun luar negeri. Bagaimana caranya? Langkah membuat Pertamina menjadi
besar tadi ibarat pepatah "sekali mendayung dua-tiga pulau
terlampaui". Maksudnya, upaya menjadikan Pertamina perusahaan raksasa
sekaligus membuat BUMN itu bakal mampu menggalang dana dalam jumlah besar.
Kalau ia kuat dan
besar, jangan terlalu lama menjadi NOC. Mereka harus segera bertransformasi
menjadi national energy company
(NEC). Ini sesuai tugas utamanya, yakni menjamin ketersediaan energi, bukan
ketersediaan minyak dan gas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar