Mengevaluasi
SNM PTN
Budi Santosa ; Guru
Besar Teknik Industri dan
Anggota Senat Akademik ITS
Surabaya
|
JAWA POS, 07 Desember
2016
SALAH satu penentu
mutu sebuah universitas adalah bahan dasarnya, yaitu mahasiswa. Dari situ
mutu lulusan berawal. Pembelajaran jelas berpengaruh, tapi bahan dasar adalah
kunci. Penerimaan yang tepat akan mempertinggi peluang menghasilkan lulusan
yang bermutu. Tulisan ini akan membahas masalah dalam penerimaan mahasiswa
baru di PTN, terutama yang masuk lewat jalur undangan atau SNM PTN.
Di PTN secara
garis besar berlaku tiga prosedur cara masuk mahasiswa baru: melewati
undangan atau seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN),
melalui tes atau seleksi bersama masuk PTN (SBM PTN), dan seleksi mandiri
oleh tiap PTN. Sejak beberapa tahun terakhir, porsi alokasi masuk universitas
(negeri) melalui SNM PTN terus berubah. Pada 2013, porsinya masih 50 persen.
Sebelumnya sempat sampai 60 persen dari keseluruhan mahasiswa yang diterima.
Pada 2016, angka itu mulai turun menjadi 40 persen. Setelah beberapa tahun
SNM PTN dijalankan, perlu kita lihat hasil pelaksanaannya.
Awalnya memang
baik, SNM PTN digunakan agar siswa-siswa yang berprestasi secara stabil dan
menunjukkan tren membaik di SMA mendapat penghargaan bisa diterima lewat
jalur SNM PTN. Selain itu, dengan
sistem SNM PTN, sebuah PTN bisa mengatur distribusi asal siswa yang akan
diterima masuk. Pemerataan bisa dicapai lewat jalur itu. Dengan begitu, PTN
tidak didominasi orang-orang dari daerah tertentu.
Tanpa mengurangi
apresiasi kepada mereka yang berkualitas, dari temuan di lapangan, kualitas
mahasiswa yang masuk lewat SNM PTN rata-rata kalah bila dibandingan dengan
mereka yang masuk lewat SBM PTN. Pada 2016, porsi yang diterima PTN lewat
jalur SBM PTN sebesar 30 persen. Rata-rata kualitas yang kalah itu sudah
menjadi kecenderungan beberapa tahun terakhir. Bahkan, pada level tertentu,
mutu mereka yang masuk lewat undangan kurang memadai. Padahal, mereka dipilih
dari lulusan terbaik SMA-SMA di tanah air.
Undangan telah
menjadi target siswa-siswa untuk mendapatkan tiket masuk PTN pilihan tanpa
melalui tes seleksi. Para kepala sekolah pun berlomba memasukkan
sebanyak-banyaknya siswa di sekolahnya lewat jalur itu. Untuk mendapatkan
porsi besar bagi siswanya masuk lewat undangan, sekolah-sekolah disinyalir
telah merekayasa nilai.
Yang menjadi
masalah, yang melakukan itu adalah para insan pendidikan yang mestinya
memberikan teladan perilaku yang baik kepada masyarakat ataupun siswa.
Perilaku mengatrol nilai itu telah ”merusak” iklim pendidikan kita.
Di sisi lain, mutu
antarsekolah tidak memiliki standar. Nilai-nilai siswa tidak punya titik
referensi yang sama. Nilai 7 di suatu sekolah di Jakarta sangat berbeda
dengan nilai yang sama di sekolah lain atau provinsi lain, begitu juga
sebaliknya.
Jika tujuan SNM
PTN adalah pemerataan, harus dipikirkan distribusinya dan porsinya. Jangan
sampai porsi yang melewati SNM PTN itu lebih tinggi daripada mereka yang
mengikuti tes. Selain itu, jangan lagi kota atau daerah dengan tingkat
diterima lewat SBM PTN yang sudah tinggi masih diberi porsi undangan yang
tinggi. Jika demikian, tujuan pemerataan akan gagal.
Temuan lain yang
juga penting adalah masalah dominasi gender. Itu barangkali cukup
mengagetkan. Yang diterima lewat jalur SNM PTN ternyata didominasi siswa
perempuan. Itu terjadi di banyak PTN, juga di banyak departemen (program
studi). Dengan perbandingan yang bisa dikatakan sangat kontras. Hampir 80
persen yang masuk lewat undangan adalah perempuan. Sementara itu, di antara
mereka yang masuk lewat SBM PTN, tidak ada kecenderungan seperti itu. Dalam
SBM PTN, siswa pria sedikit lebih unggul dalam hal angka yang diterima masuk
di PTN, namun cenderung lebih berimbang. Artinya, secara statistik,
penerimaan melalui SBM PTN menghasilkan distribusi yang lebih adil dari sisi
gender.
Padahal, untuk
departemen atau program studi tertentu, mahasiswa perempuan kurang pas secara
fisik sebagai perempuan. Itu sesuai dengan tuntutan fisik pekerjaan. Ada
pekerjaan yang menuntut ke lapangan, di malam hari, ke medan-medan sulit. Itu
dialami, misalnya, program studi seperti teknik sipil, geologi, atau
geomatika. Namun sekarang justru diisi dengan mahasiswa-mahasiswa perempuan
yang masuk melalui jalur SNM PTN. Itu melahirkan kekhawatiran para dosen yang
punya interes terhadap pemenuhan syarat tersebut atau juga pihak industri
sebagai pengguna lulusan.
Namun, memang
perlu didiskusikan lebih jauh semata-mata karena alasan objektif berhubungan
dengan masa depan pekerja di sektor tertentu. Porsi SNM PTN yang besar (40
persen) dalam penerimaan mahasiswa baru masih berpengaruh besar pada
distribusi mahasiswa laki-laki dan perempuan pada jurusan-jurusan tertentu.
Memang siswa
perempuan biasanya mempunyai tingkat kerajinan dan ketelatenan yang lebih
tinggi dalam belajar. Tidak heran, nilai rapor mereka biasanya lebih unggul
daripada siswa laki-laki. Karena itu, yang masuk PTN lewat jalur SNM PTN
memang akhirnya didominasi siswa perempuan. Dalam pemilihan jurusan ketika
mendaftar di PTN, tidak jarang para siswa atau kepala sekolah tidak
memperhatikan nature pekerjaan yang akan dihadapi nanti gara-gara memilih
jurusan tertentu.
Pertimbangannya
lebih ditekankan pada peluang bisa diterima di PTN pilihan. Sebab, bagi sekolah, itu juga merupakan
catatan sejarah yang baik untuk penerimaan lewat SNM PTN pada tahun
berikutnya.
Untuk mengatasi
persoalan itu, pemerintah perlu mengevaluasi SNM PTN. Perubahan perlu
dilakukan pada rasio jumlah mahasiswa yang diterima untuk tiap-tiap jalur
masuk PTN. Kembalikan ke kebijakan era dulu, kala masuk PTN benar-benar lewat
tes seleksi. Sebaiknya sebagian besar, hingga 80 persen, berikan kesempatan
masuk PTN lewat jalur tes (SBM PTN).
Kalaupun masih
akan ada porsi undangan dan saringan mandiri dengan alasan pemerataan serta
penggalian dana untuk PTN, porsi keduanya harus dibuat kecil. Tidak perlu
langkah perlahan atau pelan-pelan untuk mengurangi. Kemenristek Dikti bisa
mengambil langkah drastis mulai tahun depan. Sebab, itu akan menentukan
secara signifikan kualitas lulusan PTN beberapa tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar