Medsos
dan Media Demokrasi
Budiarto Danujaya ; Pengajar
Filsafat Politik dan Diskursus Ideologi
pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 09 Desember
2016
Keriuhan di media
sosial kita belakangan ini mendesakkan kesadaran baru akan keniscayaan
komunikasi. Komunikasi pada galibnya mengidap benih paradoks.
Komunikasi, di
satu sisi, adalah sarana deliberasi. Sarana untuk senantiasa bertukar-timbang
agar para pihak bisa lebih saling memahami. Ini jelas perkara yang sangat
menentukan bagi kehidupan sosial manusia. Apalagi dalam ranah politik ketika
perbedaan bukan saja selalu mewarnai, melainkan juga rawan tergoda
bereskalasi menjadi konflik. Sebab, mau tidak mau, kebijakan publik sebagai
perwujudan kesepakatan dari keragaman perbedaan tersebut haruslah senantiasa
diambil.
Sementara itu,
dari sisi lain, apabila salah sikap apalagi salah garap, komunikasi
sebaliknya justru akan bisa menjauhkan dari-meminjam istilah Jurgen Habermas
(1984)-"situasi perbincangan ideal" tersebut. Kalau salah garap,
bisa-bisa, capaiannya bukanlah peningkatan kesalingpahaman, melainkan justru
kesalingtakpahaman. Semakin memperbanyak komunikasi, jika tak saksama, bukan
tak mungkin justru bisa semakin memperuyak kesalingcurigaan.
Kiranya, inilah
sengkarut di balik keriuhan sehubungan dengan Pilkada DKI Jakarta belakangan
ini. Dimulai dari pernyataan calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok), yang memang sering kehilangan ayakan kalau berbicara di hadapan
publik, lalu pengunggahan video pernyataannya yang dinilai melakukan
penistaan agama, lantas baku-celoteh, baku-caci, dan baku-lawak merebak masif
di media sosial (medsos).
Isu yang terunggah
menjalar tak terkendali sehingga terkadang sulit terlacak kausalitas
rasionalnya. Mulai dari cacian SARA, celoteh pemakzulan presiden, galau
keterulangan kerusuhan rasial, lelucon makar, sampai tak jelas ajakan atau
cuma lawakan akan penarikan uang karena khawatir eskalasi keriuhan ini bisa
menjadi krisis ekonomi jilid berikutnya.
Ironi demokrasi
agora
Tentu saja tak
semua ngawur atau manipulatif. Namun, kiranya, juga tak semua sungguh
menyuarakan keberangan, kecemasan, atau keprihatinan yang tulen. Bahkan,
banyak pula yang hanya mencari tepuk tangan, waton suloyo (yang penting beda, biar eksis katanya), atau cuma
cengengesan. Misalnya, ketika pemerintah sungguh khawatir akan makar, malah
ada yang memelesetkan lagu dangdut: ...makar(n) makar(n) sendiri, cuci baju
sendiri.... Jadi, jangan bayangkan medsos-laiknya bayangan Habermas dalam The Structural Transformation of the
Public Sphere (1989) atas kemunculan koran (media massa)-sebagai
perluasan ranah publik. Kemunculan medsos kita masih terlalu samar dalam
memperlihatkan gejala akan berkembang menjadi jawaban atas perluasan
kebutuhan kritis publik untuk bertukar-timbang seperti itu.
Apa boleh buat,
medsos kita masih telanjur cuma jadi sekadar media demokratis buat
"ngosos", media bebas buat ngomong bersosialisasi semau sendiri,
apa saja boleh, anything goes.... Barangkali, keprihatinannya lalu adalah:
apakah kita juga harus cemas, gusar, apalagi lalu menangkapi orang-orang di
pasar? Tidakkah celetukan, cemoohan, makian, lawakan, dan pelbagai artikulasi
ngawur lainnya, yang terkadang juga melampaui batas ke-SARA-an, fitnah dan
pencemaran nama baik, bahkan hasutan, sangat sehari-hari kita dengar bukan
hanya di medsos?
Dalam hal ini,
barangkali kita perlu sedikit mengenang kembali (anamnesis) alasan di balik
keraguan lama dari para pemikir besar Yunani akan demokrasi sehingga kurang
mengunggulkannya. Aristoteles, misalnya, meragukannya lantaran pendapat orang
banyak hanyalah pistis, yang lebih diwarnai struktur keyakinan yang sekadar
memadai secara kognitif dan belum dikerangkai struktur rasionalitas memadai
laiknya episteme.
Tentu saja
anamnesis ini bukan dimaksudkan untuk menampik demokrasi. Betapapun,
demokrasi telah lebih teruji ketimbang sistem politik lainnya, setidaknya
dalam arti sebagai sistem terbaik di antara semua sistem lainnya yang lebih
banyak mengidap cacat sistemik.
Anamnesis ini kita
perlukan sekadar untuk lebih menjejaki kesadaran bajik di balik keraguan itu.
Seperti sekarang kita sadari dari kemarakan baku-celoteh dalam medsos,
peningkatan demokratisasi dalam kesempatan partisipatif langsung, tak selalu
sejalan dengan peningkatan kualitas etikopolitis dari keluaran informatifnya.
Kiranya, inilah
ironi dari bayangan "surgawi" akan demokrasi agora (pasar).
Idolatry kelewat muluk akan demokrasi langsung Athena Kuno ini beranggapan
kadar artikulasi partisipatifnya akan jauh lebih baik. Alasannya, partisipasi
demokrasi semakin langsung akan semakin terhindar dari penyunatan
representatif, atau gamblangnya, pemelencengan aspirasi oleh para wakil
rakyat.
Bahkan sampai
paruh akhir abad XX, pemikir politik laik Norberto Bobbio (1987) masih meratapi
semakin menjauhnya praksis demokrasi langsung ini karena semakin tak
dimungkinkan peningkatan skala penduduk. Seturut itulah, ketika teknologi
komputerisasi dan internet mulai berkecambah beberapa dasawarsa lalu, banyak
pemikir membayangkan akan datangnya demokrasi digital yang akan mengembalikan
kejayaan demokrasi langsung, dalam arti dari sekadar representasi kembali ke
partisipasi langsung.
Dengan begitu,
ironi ini setidaknya membantu mengembalikan realisme kesadaran kita betapa
satu-satunya etikopolitik dari demokrasi adalah isonomia. Doktrin kesetaraan
kedaulatan politik individu-one man,
one vote-ini hanya berbuntut artikulatif sampai pada pengakuan akan
perbedaan dan keragaman semata. Oleh karena itulah, dalam artikulasi
historisnya, praksis demokrasi selalu punya berbagai nama diri berbeda,
katakanlah demokrasi Pancasila, demokrasi liberal, atau demokrasi sosial. Hal
itu karena justru pada imbuhan nama diri itulah terletak konvergensi
ideologisnya; terletak diferensiasi perjuangan etikopolitisnya.
Distansi
"kerempongan"
Benih paradoks
dalam komunikasi ini mengingatkan kita akan renungan Peter Sloterdijk
sehubungan dengan kentalnya endapan kegusaran di balik merebaknya berbagai
kekerasan berbasis fundamentalisme agama dalam dasawarsa-dasawarsa belakangan
ini. "Komunikasi lebih banyak pertama-tama dan di atas segalanya berarti
konflik lebih banyak," ujar profesor filsafat dan teori media terkemuka
dari Universitas Seni dan Desain Karlsruhe ini (Zizek: 2008).
Maksudnya,
berbicara soal silang-sengkarut antara intoleransi dan kekerasan, berarti
kita sebetulnya berbicara mengenai para pihak berbeda yang dalam kerangka
ruang-waktu terjerembab untuk hidup bersama. Gampangnya, kita berbicara
tentang tetangga. Tetangga seperti diutarakan Sigmund Freud adalah
"penyelusup yang traumatik" lantaran "memiliki jalan hidup
berbeda yang mengusik kita" dan bisa "mengguncang keselarasan jalan
hidup kita keluar dari jalur".
Oleh karena
itulah, dalam memaknai komunikasi Zizek mengatakan, "Apabila terlalu
dekat, ini (justru) akan juga bisa menimbulkan sebentuk reaksi agresif guna
menyingkirkan penyelusup ini." Seturut itulah, Sloterdijk menandaskan
bahwa komunikasi lebih intensif sebagai bagian sikap untuk "saling
memahami", laiknya pada upaya-upaya toleransi, haruslah dilengkapi
dengan sikap "saling menyingkir dari jalan masing-masing". Maksud
filsuf Jerman ini adalah para pihak masing-masing haruslah menyadari akan
juga pentingnya "menjaga jarak yang tepat".
Dalam pengertian
inilah, perbaikan etikopolitis dalam politik toleransi harus menerapkan kode
diskresi baru; kode keleluasaan sekaligus kebijaksanaan dan kehati-hatian
baru. Dalam bahasa gaul, kode etik baru ini barangkali bisa kita sebut
distansi "kerempongan"; dalam arti: batas "jarak ikut-campur"
terhadap jalan hidup orang lain. Gamblangnya, jagalah batas
"kerempongan"; saling menyingkirlah dari mengusik jalan hidup orang
lain.
Sebetulnya,
kebajikan semacam ini tak perlu kita impor dari Jerman. Dalam khazanah
kebudayaan kita sendiri juga terdapat ungkapan bermuatan etis serupa. Dalam
kebudayaan Jawa, misalnya, terdapat ungkapan, "Ojo dibedo bojone, ojo
dijiwit anake, ojo dicacat kerise" (jangan diganggu istrinya, jangan
dicubit anaknya, jangan dicela kerisnya). Jadi, jangan campuri sengkarut
identitas orang lain, termasuk jalan hidupnya. Dalam konteks kita sekarang,
terkait identitas dan jalan hidup tersebut, mungkin ungkapan ini semestinya
memuncak pada "ojo diotak-atik piandele" (jangan diutak-atik
keyakinannya). Barangkali inilah moral peristiwa dari kasus ini, baik
sehubungan dengan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama maupun keriuhrendahan
baku-cerca di medsos yang mengikutinya. Jadi, jangan kelewat rempong, please! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar